CERITA
TENTANG HUJAN
Sore itu sore yang dingin, angin
berhembus sepoi-sepoi, member kabar pada burung untuk kembali ke sarangnya
karena hujan sebentar lagi akan datang. Di sebuah teras rumah terlihat seorang
wanita sedang duduk sendiri. Sibuk menghembuskan nafasnya pada secangkir teh
yang masih mengepul di tangannya. Setelah menyesap tehnya beberapa kali,
perhatiannya teralihkan oleh rintik-rintik air yang mulai turun.
Pikirannya yang semula tenang
berubah menjadi cemas, rupanya yang ia tunggu tak kunjung tiba. Sebuah getaran
pada saku celana wanita itu membuatnya menaruh cangkir teh yang sejak tadi ada
dalam genggamannya pada sebuah meja kecil. Dengan segera tangannya merogoh saku
celananya dan mengambil hp yang menjadi sumber getaran yang ia rasakan tadi.
‘aku segera pulang, Ify. Tunggulah
sebentar, susah sekali membujuk Acha.’
Wanita itu tersenyum, menyadari
pesan singkat itu dikirim oleh orang yang sedang ditunggunya, pikirannya
kembali menjadi tenang. Sekarang ia bisa memulai kembali hobinya. Hobi yang
mungkin kedengaran aneh bagi sebagian orang, namun hobi yang begitu ia sukai.
Kebahagian kecil yang diajarkan seseorang, yah, melihat hujan, mungkin bukan
melihat tapi lebih tepatnya menjadi penikmat hujan, itulah hobinya.
Ify menatap hujan yang semakin
deras, sebuah senyum indah terkembang di wajahnya. Sementara otaknya sibuk
memutar kenangan lama. Sangat lama. Namun begitu berbekas hingga Ify masih bisa
mengingat setiap detailnya dengan mudah.
>>>flashback<<<
Sore itu keadaannya persis sama
seperti sekarang. Jalan di depan rumahnya lengan, takterlihat lalu lalang orang
yang biasanya ramai, hanya sesekali terdengar deru motor yang lewat membelah
rintik-rintik air yang mulai turun. Sementara awan hitam masih berkumpul pekat
dilangit, siap menumpahkan lebih banyak air ke kota itu.
Ify ingat, bagaimana ia duduk di
teras rumahnya kala itu, memperhatikan semua pemandangan itu, seperti saat ini,
tapi mungkin yang berbeda hanya perasaannya. Jika dulu ia benci hujan, kini
justru ia sangat menyukai hujan. Kala itu Ify juga sedang menunggu kedatangan
orang tua dan kakaknya, seperti sekarang ia sedang menunggu.
Ify yang saat itu berusia 7 tahun
menopang dagu dengan kedua tangannya. Matanya menatap bosan pada ratusan rintik
air yang mulai menderas. Tiba-tiba pandangannya jatuh pada seseosok anak
laki-laki seumuran dengannya sedang berdiri di tengah jalan, terlihat agak
kebingungan dengan sekelilingnya.
Melihat hal tersebuh, Ify bergegas
mengambil payun yang ada di sudut teras rumahnya dan menggunakannya untuk
menghampiri anak itu.
“Kamu lagi ngapain ?” Tanya Ify
begitu sudah cukup dekat dengan anak itu.
Anak itu terlihat agak terkejut
dengan kedatangan Ify, namun seketika ia tersenyum “aku kesasar kayaknya.”
Jawabnya.
Ify memandang anak itu dengan
pandangan meremehkan, “emang rumah kamu dimana ?” tanyanya.
Anak itu menengok ke kanan dan
kirinya, terlihat seperti mencari, kemudian ia kembali menatap Ify dengan
pandangan putus asa, “aku lupa.” Ucapnya.
Ify mencibir, “payah.” Ejeknya.
Anak itu terlihat kesal karena
perkataan Ify, dia kembali berkata, “aku kan baru pindah.” Belanya.
Ify mengangguk-angguk sebentar,
sembari memberhatikan anak itu dengan pandangan menilai. Setelah beberapa saat
dan cukup yakin bahwa anak itu bukan orang jahat, Ify kembali berkata, “neduh
dirumah aku aja dulu. Nanti kalau udah reda ujannya, aku bantuin kamu nyari
rumah kamu.”
Anak itu terlihat sangat senang, ia
mengangguk semangat dan mengikuti Ify yang mulai melangkah menuju rumahnya.
“Kamu tunggu sini, jangan masuk
dulu, nanti lantainya basah.” Ucap Ify sambil membersihkan kakinya pada keset
di teras rumahnya.
Anak itu cuma mengangguk.
Ify segera berlari ke dalam rumah.
Begitu keluar dia sudah membawa sebuah handuk, kaos, dan celana pendek
miliknya. Dilihatnya anak itu sedang menadahkan tangannya pada air hujan,
sebuah senyum terbentuk di wajahnya.
Katanya mau neduh. Tapi malah main
air hujan.” Seru Ify.
Anak itu menoleh kearah Ify, “hehe
abisnya aku suka hujan sih.” Katanya.
“Nih, kata bibi aku suruh kasih kamu
ini. Sana ke kamar mandi.” Kata Ify lagi, menyodorkan barang yang Ify bawa
padanya.
Anak itu mengambil handuk yang
diberikan Ify. Tanpa banyak bicara dia mengikuti instruksi Ify.
Sementara itu Ify menunggu anak itu
sambil meminta bibi untuk membuatkan teh hangat untuknya dan anak itu.
udah ?” Tanya Ify saat anak itu
menemuinya di ruang TV.
“Udah.” Jawab anak itu.
“Ini, minum teh dulu.” Suruh Ify.
Anak itu mengambil salah satu gelas
yang ada di meja, “mm… aku minum diluar boleh ?” tanyanya.
Ify mengerutkan keningnya, “buat apa
? diluar kan dingin.” Katanya.
“aku mau liat hujan.” Jawab anak
itu. “kamu mau ikut ?” tanyanya.
Lagi-lagi Ify mengerutkan keningnya.
Sejenak dia akan menolak ajakan anak itu, tapi dia juga tidak mau sendirian di
ruang TV. Mama dan kakaknya sedang dirumah nenek, harusnya mereka sudah pulang
tapi tidak bisa karena hujan ini. Sedang papanya masih di kantor. Maka Ify
mengangguk dan mengikuti anak itu membawa tehnya ke teras rumah dan duduk di
kursi teras.
Tuh kan dingin.” Seru Ify.
“Minum tehnya.” Suruh anak itu,
setelah dia sendiri menyeruput teh miliknya.
Ify mengikuti anak itu menyeruput
teh hangatnya. Hangat. Sangat hangat. Rasa hangat yang terasa lebih berarti
saat udara dingin di sekelilingnya.
Ify berhenti meminum tehnya, dia
menatap air berwarna merah yang ada dalam cangkirnya dengan agak bingung. Dia
mengingat-ingat lagi bagaimana tadi Bi Inah membuat teh itu. Sepertinya tidak
ada yang berbeda, tapi kenapa rasanya teh ini terasa jauh lebih enak.
“Enak ya minum teh kalau lagi dingin
kayak gini. Tehnya jadi lebih enak.” Sebuah suara menyadarkan Ify.
Ify menoleh ke samping kanannya,
dilihatnya anak itu tengah tersenyum dan menatapnya ramah, seolah dia sudah
menunjukkan hal hebat pada Ify. Entah kenapa Ify ikut tersenyum begitu melihat
senyum itu.
“Itu sebabnya aku suka hujan. Hujan
itu bikin teh ini jadi lebih enak.” Katanya pada Ify, tapi matanya menatap
lurus ke depan, kearah hujan yang kini mulai reda.
“Nama kamu siapa ?” Tanya Ify,
menyuarakan pertanyaan yang sejak tadi sudah tak sabar ingin dikeluarkan dari
pikirannya.
Anak itu mengalihkan perhatiannya
pada Ify, sejenak meninggalkan keasyikannya menatap hujan. Dengan sebuah
senyuman manis dia menjawab, menyebutkan nama yang tanpa Ify sadari akan
menjadi nama yang menghiasi hidupnya kelak, “Rio.”
***
***
Hari itu hari pertama Ify menjadi
siswi SMA, dia sedang menjalani masa MOPD layaknya seorang peserta didik baru.
Berbagai macam atribut sudah ia kenakan dari rumah. Niatnya dia akan berangkat
bersama dengan Gabriel, kakaknya, tapi rupanya Gabriel harus berangkat lebih
pagi dari pada Ify karena ia merupakan salah satu anggota OSIS. Sementara Ify
diantar oleh papanya.
100 meter sebelum sekolah Ify sudah
turun dari mobil papanya dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ya,
seperti kebanyakan MOPD, MOPD SMA Ify mengharuskan pesertanya berjalan kaki 100
meter sebelum ke sekolah.
Pagi itu lagi-lagi langit mendung,
Ify yang sudah memperhatikan langit sejak tadi tersenyum senang. Entah sejak
kapan ia menjadi menyukai hujan, dan ia menikmati segala hal yang disebabkan
oleh hujan.
Tiba-tiba rintik-rintik air mulai
turun dan dengan cepat mulai membesar, Ify segera berlari mencari tempat
berteduh di emperan toko yang masih ditutup pagi itu.
“Yah ujan… kok turunnya sekarang
sih. Nanti aja dong kalau udah nyampe sekolah, ntar gue dihukum.” Keluh Ify,
keluhan pertamanya setelah sekian lama ia tak lagi mengumpat hujan.
Ify melirik jam di tangan kirinya.
Setengah tujuh. Yap, dia sudah telat. Ify menghembuskan nafas dan menatap hujan
dengan pandangan lesu. Inilah kali pertama dia benar-benar merasa kesal karena
hujan.
Suara langkah kaki dan cipratan air
hujan menyadarkan Ify ada yang datang ke arahnya, Ify melihat orang itu, dan
tersenyum begitu sadar siapa itu.
“Rio…” ucap Ify senang.
Orang yang baru datang dan sedang
menutup payungnya itu menoleh kearah Ify dan ikut tersenyum, “ahhh Ify… baru
kali ini gue seneng banget ngeliat lo.” Katanya.
Ify memajukan bibirnya, “maksudnya
?”
“Hehe. Ga ada maksud apa-apa. Gue
seneng aja yang kejebak ujan ga Cuma gue doang.” Rio menjawab sambil menyimpan
payungngnya di lantai emperan toko itu.
Ify memperhatikan penampilan Rio.
Masih memakai seragam SMP dengan berbagai macam atribut MOPD seperti yang Ify
kenakan, tapi mengingatRio menggunakan payung, Ify merasa penampilan Rio tak
jauh berbeda dengannya yang sejak tadi tidak menggunakan payung, “lo kan pake
payung yo, kok masih basah aja sih ?” Tanya Ify.
“Yahelah Fy. Ujan gede kayak gini,
payung gue Cuma segini, ya ga cukuplah.” Jawab Rio.
Ify terdiam lalu mengangguk
mengerti. Tiba-tiba ia ingat sesuatu, “eh yo. Inget ga pertama kali kita ketemu
?” seru Ify.
Rio menatap Ify dengan pandangan
bertanya, “Inget lah. Gue masih inget dengan jelas gimana lo dengan sangat
sombongnya ngajak gue neduh.” Kata Rio.
Ify tertawa kecil, ia memang merasa
ia terlalu sombong waktu itu, “abisnya yang ada dipikiran gue waktu itu, lo
payah banget, cowok gatau jalan ke rumahnya.” Cibir Ify.
Ganti Rio yang mencibir, tapi
kemudian dia tersenym dan dengan pandangan menerawang ia kembali berkata, “udah
lama banget ya fy, tapi kayak baru kemaren.”
Ify memandang Rio. Sahabat yang
ditemuinya saat hujan, yang mengajarkannya untuk menjadi penikmat hujan, yang
kini berdiri di sampingnya, dan yang kini membuat dadanya berdebar. Tunggu…
berdebar ? Ify kaget sendiri dengan perkataan batinnya. Dia memegang dadanya,
seolah takut debaran itu akan terdengar.
“Kenapa fy ?” Tanya Rio dengan nada
khawatir.
“Eh ? gapapa kok yo.” Jawab Ify.
Rio masih menunjukkan wajah
khawatirnya pada Ify, membuat Ify merasa salah tingkah diperhatikan seperti
itu.
“Eh, ujannya udah kecil tuh yo. Ke
sekolah yuk.” Ajak Ify dengan tujuan mengalihkan perhatian Rio.
Rio menatap hujan yang sudah berubah
menjadi gerimis, “Yaudah yuk. Tapi lo gapapa kan ?” ucapnya.
Ify menjawab “gapapa Rio…”
Rio tersenyum dan membuka payungnya,
“yuk.”
Ify melangkah dengan agak ragu. Dia
akan sepayung berdua dengan Rio. Ya ampun, kenapa dia harus segugup ini.
Bukankah dia sudah menghabiskan waktu sangat lama dengan Rio. Dan ini bukan
kali pertamanya mereka sedekat ini.
Rio yang sudah dijalan membalikkan
badannya dan memanggil Ify, “yuk fy.”
Ify segera sadar dari lamunannya dan
berjalan menyamai langkahnya hingga sejajar dengan Rio.
Saat mereka sampai di sekolah.
Percaya atau tidak, bukan hukuman yang menyambut mereka, tapi teriakan histeris
dan khawatir dari Gabriel karena adiknya tak kunjung datang. Ternyata Gabriel
dan mama Ify sudah mengkhawatirkannya sejak tadi, mereka tidak bisa menghubungi
Ify karena memang dilarang membawa hp saat MOPD.
Yah. Mungkin keluhan Ify pada hujan
tadi harus ia tarik kembali, nyatanya hujan ini tidak seburuk yang ia kira.
Justru hujan ini membawa kebahagiaan untuknya. Yah walaupun harus membuat kakak
dan mamanya khawatir. Setidaknya dia tidak mendapat hukuman karena terlambat
dan yang terpenting yang ia sendiri juga tidak tau mengapa bisa merasa senang
adalah sepayung berdua dengan Rio. Oh iya satu lagi, menit-menit yang ia
habiskan di emperan toko tadi juga merupakan kebahagiaan untuknya. Mungkin yang
kini harus ia ucapkan pada hujan hari itu adalah terima kasih.
***
***
Menjadi siswi SMA benar-benar terasa
menyenangkan untuk Ify. Ia mendapatkan seorang sahabat lain, namanya Shilla,
dan sepertinya Shilla ini menyimpan rasa pada kakaknya. Untuk itulah ia dan Rio
berada di kelas Gabriel istirahat ini. Mereka ingin mengajak Gabriel untuk
bergabung dengan mereka berdua, dan tentunya juga Shilla di kantin. Sementara
Shilla sudah mereka tinggal di kantin dengan alasan mereka harus ke ruang guru
karena dipanggil Bu Winda.
“Eh fy, itu kakak lo kan ?” Tanya
Rio dengan nada memastikan.
Ify menatap orang yang dimaksud Rio,
orangyang sedang bernyanyi dan menari di depan kelas itu memang kakaknya. Ify
menggelengkan kepalanya, “Kak Iel, ga berubah sama sekali.” Keluhnya.
Rio Cuma terkikik mendengan ucapan
Ify.
Pandangan Gabriel tiba-tiba
menangkap kedatangan Ify dan Rio yang saat itu berada di depan pintu kelasnya.
“Duh guys, gue pergi dulu ya. Ada
fans fanatic gue nih yang udah nyamperin.” Ucap Gabriel pada anak-anak di
kelasnya.
“Yaaaaahhhhh……” koor anak-anak di
kelas Gabriel.
Gabriel segera berlari menghampiri
Ify dan Rio, “ada apa adik-adikku tercinta ?” tanyanya.
Rio tertawa kecil sementara Ify
menunjukkan wajah jijik, “Ih, Kak Iel ga malu apa diliatin anak sekelas gitu.”
Ucap Ify.
Gabriel Cuma tertawa renyah, dan
bukannya menjawab, ia malah kembali bertanya, “ada apa cinta ?”
Ify yang tampak ingin memprotes cara
bicara kakaknya itu keburu disela oleh Rio, “ke kantin yuk kak, ada yang mau
ketemu tuh.” Ucap Rio.
Gabriel menunjukkan pandangan
bertanya, “siapa ?”
“udah. Ntar juga tau.” Kata Rio,
menarik tangan Gabriel untuk mengikutinya.
“Ielll…. Mau kemana ?” sebuah suara
mengagetkan mereka bertiga.
Gabriel tampak mengenal dua cewek
yang memanggilnya tadi sebagai salah satu teman sekelasnya, “ke kantin dong.”
Jawabnya.
“kita ikut ya.” Ucap mereka.
Rio dan Ify belum juga menyuarakan
ketidaksetujuan mereka, Gabriel sudah berkata, “Yaudah ikut aja.”
Dengan terpaksa mereka berjalan
berlima menuju kantin, dimana Shilla sudah menunggu mereka.
***
Shilla sejak tadi terus menunduk dan
menyantap makanannya dalam diam. Ify yang duduk disampingnya terus menatap
dengan pandangan bersalah pada sahabatnya itu. Bagaimana tidak, usahanya untuk
mendekatkan Shilla dengan Gabriel malah jadi seperti ini. Gabriel asik melawak
dengan salah satu temannya. Dan yang membuat Ify menjadi sama kesalnya dengan
Shilla adalah teman kakaknya yang lain, kelihatannya ia menyukai Rio, karena
sejak tadi, dia sibuk bertanya macam-macam pada Rio.
“Fy, Yo, kakak-kakak, gue duluan ya.
Ada PR yang belum selesai.” Pamit Shilla yang tiba-tiba berdiri, lalu tanpa
menunggu balasan dari yang lain, langsung pergi.
Sejenak Ify ingin berdiri menyusul
Shilla, tapi Rio menahannya dengan pandangan yang seolah mengatakan ‘nanti
saja’. Ify pun mengurungkan niatnya dan duduk kembali menghabiskan makanannya,
sesekali menatap pemandangan di depannya, terutama kakaknya, dengan agak sebal.
Semakin lama duduk disana membuat
Ify semakin tidak tahan. Entah mengapa hatinya panas melihat Rio begitu dekat
dengan kakak kelas itu.
“Kak Iel, Rio, kakak-kakak, gue
duluan ya.” Pamit Ify dan langsung berlari.
“Ify.” Ada yang memanggilnya, dan
Ify mengenali suara itu, suara yang pertama kali didengarnya saat hujan, suara
Rio. Tapi Ify tidak memperdulikannya dan ia terus berlari, tanpa bisa ditahan
buliran air keluar dari matanya.
“Ify.” Suara itu terdengar dekat
seiring dengan terasanya genggaman pada tangan yang menahan langkah Ify untuk
terus berlari. Ia tidak berani menengok ke belakang dan bertatapan dengan
pemilik suara itu.
“Lo kenapa ?” Tanya Rio lembut.
“Gapapa. Cuma mau pergi aja dari
sana. Takut ganggu.” Jawab Ify ketus.
“Kok gitu. Gue kan kicep disana
sendirian ga ada temen.” Ucap Rio.
“Kan ada temennya Kak Iel, lo
kayaknya udah kenal banget sama dia.” Jawab Ify lagi.
Rio terdiam lalu tertawa kecil, “kenapa ? lo
cemburu ya ?” godanya.
Ify tersentak, seakan pertanyaan itu
menohoknya. Apa iya dia cemburu ? ya. Mungkin benar ia cemburu.
Menyadari tidak ada jawaban dari
Ify, Rio membalikkan posisi Ify hingga menatapnya, dan kaget saat mendapati Ify
menangis, “Fy, lo nangis ?”
Ify menatap Rio dan menjawab candaan
Rio dengan nada serius, “Iya. Gue cemburu.”
Rio tampak kaget dengan jawaban Ify,
dia membuka mulutnya, namun belum ada sepatah katapun yang keluar, dia menutupnya
lagi, kemudian kembali membukanya, seolah bingung apa yang harus dia katakan.
Ify yang baru menyadari apa yang ia
katakan menutup mulutnya dan berlari dari sana. Saat itu sebuah petir menyambar
dan lagi-lagi hujan turun. Ify menatap langita yang hitam. Ini bukan hujan yang
biasanya selalu ia nanti, hujan kali ini disertai petir yang menyambar-nyambar,
tidak seperti hujan yang sangat Ify sukai, Ify sangat membenci petir. Menyadari
hujan yang semakin deras, Ify melanjutkan berlari menuju kelasnya, ya, dia
berlari ke kelas, karena hanya disana dia bisa aman dari pertanyaan-pertanyaan
yang mungkin akan Rio lontarkan. Karena di kelas akan ada guru yang mencegah
Rio untuk bertanya padanya. Dia belum siap. Dia masih mengutuki perkataannya
tadi. Dan dia butuh waktu untuk mencari penjelasan jika Rio bertanya padanya
nanti.
***
***
Ify menyembunyikan wajahnya pada
bantal besar di kamarnya sepulang sekolah. Ia langsung keluar kelas begitu bel
pulang berbunyi tadi, bahkan tanpa menghibur Shilla yang ia tahu sedan sedih
sepertinya juga, dia segera pulang, bahkan pula tanpa menunggu Gabriel yang
biasanya pulang bersamanya.
Ify terus merutuki kebodohannya
karena perkataannya tadi. Ketukan halus di pintu kamar menyadarkan Ify.
“Masuk aja ga dikunci.” Ucap Ify.
Gabriel muncul dari balik pintu dan
masuk ke kamar Ify, “kok tadi pulang duluan fy ?” tanyanya.
“Ify ke peminjeman buku dulu. Kak
Iel kan suka ga mau nungguin Ify milih buku disana.” Jawab Ify berbohong.
“oh.” Ucap Gabriel tanpa rasa
curiga. “gara-gara lo tadi pulang duluan, gue jadi ngobrol sama temen lo yang
cewek itu, si Shilla. Abisnya lo sama Rio ga ada di kelas, yaudah gue Tanya dia
aja.” Lanjut Gabriel lagi.
Ify tersentak, merasa semangatnya
sedikit bangkit karena perkataan kakaknya tadi. Dia menatap kakaknya,
memperhatikan ekspresi yang ada diwajah Gabriel saat membicarakan Shilla.
“Asik juga anaknya. Nyambung lagi.
Gue ngobrol banyak sama dia.” Lanjut Gabriel.
“terus ?” pancing Ify.
Gabriel menggaruk belakang
telinganya, “yah… gue mau minta tolong.”
“Setuju. Besok gue pulang sendiri
lagi.” Seru Ify tanpa menunggu lanjutan kalimat Gabriel.
Gabriel tampak terkejut, tapi
kemudian tersenyum, “hehe. Thanks ya adikku cinta, ntar gue beliin lo yupi yang
banyak.”
“ga usah deh, itung-itung bantuin lo
aja gue. Tapi nanti PJnya gue paling banyak ya.” Jawab Ify.
“Hehe sip” ucap Gabriel. “eh tunggu
deh fy. Ada yang aneh sama lo. Lo abis nangis ya ?” Tanya Gabriel.
Tanpa perlu diminta Ify kembali
menangis keras.
Gabriel berseru khawatir dan panic
karena tiba-tiba Ify menangis, “Fy lo kenapa ?”
Dan cerita dari mulut Ify pun
mengalir.
***
***
Hari ini hari Minggu, dia sedang
berada di taman dekat rumah Shilla, menurut rencana ia akan menemui Shilla dan
mengajaknya untuk bertemu dengan Gabriel disini, tapi Shilla tak kunjung tiba,
di telepon ke hpnya tidak pernah diangkat. Ify pun hanya bisa duduk di kursi
taman itu.
Ify mengisi waktunya dengan
memikirkan masalahnya dengan Rio. Sejak ia mengatakan hal itu kepada Rio, ia
belum bicara lagi dengan sahabatnya itu. Telepon dan sms dari Rio tidak ia
gubris, ia masih terlalu malu untuk bicara dengan Rio, dan ia belum menemukan
penjelasan yang masuk akal jika Rio bertanya padanya tentang hal kemarin.
“Udah lama ya fy ?” sebuah suara
mengagetkan Ify dan membuatnya berbalik. Tapi begitu melihat orang yang
menyapanya buru-buru ia bergegas untuk pergi, tapi orang itu menahannya.
“Ify. Jangan pergi dulu. Jangan
ngehindar terus.” Cegah Rio, ya, orang itu Rio.
Ify diam di tempatnya, tidak tahu
harus bagaimana.
“duduk dulu yuk.” Ajak Rio, menuntun
Ify kembali duduk di kursi taman.
Ify duduk di kursi taman dan sudah
tidak bisa memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk menghindari Rio.
“Tentang yang kemaren, please jangan
pergi dulu. Gue Cuma mau nyampein satu hal, terserah kalau abis itu lo masih
mau kayak gini sama gue atau gimana.” Ucap Rio.
Dada Ify berdebar mendengar
perkataan Rio, apalagi Rio berkata ini tentang yang kemarin.
“Gue… juga bakal cemburu kalau gue
ada di posisi lo, dan lo yang di posisi gue.” Ucap Rio.
Seketika Ify tersentak dan menatap
Rio kaget. Rio tersenyum manis dan balas menatap Ify.
“Gue suka sama lo fy. mau ga… boleh
ga… gue jadi cowok lo ?” satu kalimat yang terucap dari mulut Rio dan mampu
membuat Ify lagi-lagi tersentak kaget.
Tanpa pikir panjang Ify mengangguk
dan tersenyum.
TIK TIK TIK ZASSSSS……………
Oh kalian dengar itu. Itu suara… yah
mungkin kalian sudah bisa menebaknya, lagi-lagi itu suara hujan. Ya. Hujan, dan
kali ini tanpa petir.
>>>>>>>>>>>>>flashback0ff<<<<<<<<<<<<<<
Sebuah rengekan dan tangis anak
perempuan kecil menyadarkan Ify dari lamunannya. Dia tersenyum saat menyadari
Acha, anak yang sedang merengek itu sudah ada di halaman rumahnya, bersama
seorang laki-laki yang tadi mengirim pesan singkat padanya. Mereka datang
dengan menggunakan payung, payung yang sudah laki-laki itu gunakan sejak
memulai masa SMAnya.
“Achhaaa… nanti Acha sakit kalau
main terus.” Ucap laki-laki itu.
“Ahhh papa…. Acha kan mau main sama
Ray.” Balas Acha.
“Tapi lagi ujan Acha. Nanti Acha
sakit.” Balas laki-laki itu.
Ify menghampiri mereka saat mereka
sudah tiba di teras rumah, “udahlah yo… biarin aja main ujan sebentar. Bukannya
kamu suka hujan ? wajar kalau Acha suka hujan juga.” Kata Ify.
Rio menatap istrinya, “Ify,,, tapi
ini ujan..”
“sesekali gapapa lah.” Ucap Ify.
“Tuh kan pa. kata mama aja boleh.”
Ucap Acha.
Rio menghela napas, “yaudah sana.”
Ucap Rio.
“yeeee…” sorak Acha yang langsung
berlari ke jalan.
Rio dan Ify memperhatikan Acha
dengan wajah dihiasi senyuman. Tak berapa lama seorang anak laki-laki
menghampiri Acha.
“kayaknya Acha suka hujan juga.”
Ucap Rio.
“Dan dia juga punya temen yang
sama-sama suka hujan.” Ucap Ify.
“Ray ? dia baru pindah kemarin.
Kayaknya bisa jadi temen Acha.” Kata Rio.
Ify menatap Rio dengan agak kaget,
lalu dia tersenyum senang, “ada-ada aja pikiranku.” Ucapnya.
Rio menatap Ify, “kenapa ?”
Ify menggeleng, “menurut kamu,
mungkin ga sebuah kisah terulang ?” Tanya Ify.
Rio tampak berfikir, “mungkin, tapi
ga akan sama persis.” Ucapnya.
Mereka kembali menatap Acha yang
sedang bermain dengan Ray. Saat itu sebuah mobil datang dan dari dalam mobil
itu keluar seorang anak perempuan yang tau-tau sudah bergabung dengan Acha dan
Ray.
Sementara Gabriel tak lama kemudian
keluar dari mobil yang sama dengan sebuah payung. Membukakan pintu sebelahnya,
dan mengajak Shilla keluar dari sana.
“Rio… Ify…” sapa mereka, yang
disambut dengan senyuman manis dari Rio dan Ify.
***