Sabtu, 30 Juni 2012

CERITA TENTANG HUJA (cerpen rify)


CERITA TENTANG HUJAN 

Sore itu sore yang dingin, angin berhembus sepoi-sepoi, member kabar pada burung untuk kembali ke sarangnya karena hujan sebentar lagi akan datang. Di sebuah teras rumah terlihat seorang wanita sedang duduk sendiri. Sibuk menghembuskan nafasnya pada secangkir teh yang masih mengepul di tangannya. Setelah menyesap tehnya beberapa kali, perhatiannya teralihkan oleh rintik-rintik air yang mulai turun.
Pikirannya yang semula tenang berubah menjadi cemas, rupanya yang ia tunggu tak kunjung tiba. Sebuah getaran pada saku celana wanita itu membuatnya menaruh cangkir teh yang sejak tadi ada dalam genggamannya pada sebuah meja kecil. Dengan segera tangannya merogoh saku celananya dan mengambil hp yang menjadi sumber getaran yang ia rasakan tadi.
‘aku segera pulang, Ify. Tunggulah sebentar, susah sekali membujuk Acha.’
Wanita itu tersenyum, menyadari pesan singkat itu dikirim oleh orang yang sedang ditunggunya, pikirannya kembali menjadi tenang. Sekarang ia bisa memulai kembali hobinya. Hobi yang mungkin kedengaran aneh bagi sebagian orang, namun hobi yang begitu ia sukai. Kebahagian kecil yang diajarkan seseorang, yah, melihat hujan, mungkin bukan melihat tapi lebih tepatnya menjadi penikmat hujan, itulah hobinya.
Ify menatap hujan yang semakin deras, sebuah senyum indah terkembang di wajahnya. Sementara otaknya sibuk memutar kenangan lama. Sangat lama. Namun begitu berbekas hingga Ify masih bisa mengingat setiap detailnya dengan mudah.

>>>flashback<<<

Sore itu keadaannya persis sama seperti sekarang. Jalan di depan rumahnya lengan, takterlihat lalu lalang orang yang biasanya ramai, hanya sesekali terdengar deru motor yang lewat membelah rintik-rintik air yang mulai turun. Sementara awan hitam masih berkumpul pekat dilangit, siap menumpahkan lebih banyak air ke kota itu.
Ify ingat, bagaimana ia duduk di teras rumahnya kala itu, memperhatikan semua pemandangan itu, seperti saat ini, tapi mungkin yang berbeda hanya perasaannya. Jika dulu ia benci hujan, kini justru ia sangat menyukai hujan. Kala itu Ify juga sedang menunggu kedatangan orang tua dan kakaknya, seperti sekarang ia sedang menunggu.
Ify yang saat itu berusia 7 tahun menopang dagu dengan kedua tangannya. Matanya menatap bosan pada ratusan rintik air yang mulai menderas. Tiba-tiba pandangannya jatuh pada seseosok anak laki-laki seumuran dengannya sedang berdiri di tengah jalan, terlihat agak kebingungan dengan sekelilingnya.
Melihat hal tersebuh, Ify bergegas mengambil payun yang ada di sudut teras rumahnya dan menggunakannya untuk menghampiri anak itu.
“Kamu lagi ngapain ?” Tanya Ify begitu sudah cukup dekat dengan anak itu.
Anak itu terlihat agak terkejut dengan kedatangan Ify, namun seketika ia tersenyum “aku kesasar kayaknya.” Jawabnya.
Ify memandang anak itu dengan pandangan meremehkan, “emang rumah kamu dimana ?” tanyanya.
Anak itu menengok ke kanan dan kirinya, terlihat seperti mencari, kemudian ia kembali menatap Ify dengan pandangan putus asa, “aku lupa.” Ucapnya.
Ify mencibir, “payah.” Ejeknya.
Anak itu terlihat kesal karena perkataan Ify, dia kembali berkata, “aku kan baru pindah.” Belanya.
Ify mengangguk-angguk sebentar, sembari memberhatikan anak itu dengan pandangan menilai. Setelah beberapa saat dan cukup yakin bahwa anak itu bukan orang jahat, Ify kembali berkata, “neduh dirumah aku aja dulu. Nanti kalau udah reda ujannya, aku bantuin kamu nyari rumah kamu.”
Anak itu terlihat sangat senang, ia mengangguk semangat dan mengikuti Ify yang mulai melangkah menuju rumahnya.
“Kamu tunggu sini, jangan masuk dulu, nanti lantainya basah.” Ucap Ify sambil membersihkan kakinya pada keset di teras rumahnya.
Anak itu cuma mengangguk.
Ify segera berlari ke dalam rumah. Begitu keluar dia sudah membawa sebuah handuk, kaos, dan celana pendek miliknya. Dilihatnya anak itu sedang menadahkan tangannya pada air hujan, sebuah senyum terbentuk di wajahnya.
Katanya mau neduh. Tapi malah main air hujan.” Seru Ify.
Anak itu menoleh kearah Ify, “hehe abisnya aku suka hujan sih.” Katanya.
“Nih, kata bibi aku suruh kasih kamu ini. Sana ke kamar mandi.” Kata Ify lagi, menyodorkan barang yang Ify bawa padanya.
Anak itu mengambil handuk yang diberikan Ify. Tanpa banyak bicara dia mengikuti instruksi Ify.
Sementara itu Ify menunggu anak itu sambil meminta bibi untuk membuatkan teh hangat untuknya dan anak itu.
udah ?” Tanya Ify saat anak itu menemuinya di ruang TV.
“Udah.” Jawab anak itu.
“Ini, minum teh dulu.” Suruh Ify.
Anak itu mengambil salah satu gelas yang ada di meja, “mm… aku minum diluar boleh ?” tanyanya.
Ify mengerutkan keningnya, “buat apa ? diluar kan dingin.” Katanya.
“aku mau liat hujan.” Jawab anak itu. “kamu mau ikut ?” tanyanya.
Lagi-lagi Ify mengerutkan keningnya. Sejenak dia akan menolak ajakan anak itu, tapi dia juga tidak mau sendirian di ruang TV. Mama dan kakaknya sedang dirumah nenek, harusnya mereka sudah pulang tapi tidak bisa karena hujan ini. Sedang papanya masih di kantor. Maka Ify mengangguk dan mengikuti anak itu membawa tehnya ke teras rumah dan duduk di kursi teras.
Tuh kan dingin.” Seru Ify.
“Minum tehnya.” Suruh anak itu, setelah dia sendiri menyeruput teh miliknya.
Ify mengikuti anak itu menyeruput teh hangatnya. Hangat. Sangat hangat. Rasa hangat yang terasa lebih berarti saat udara dingin di sekelilingnya.
Ify berhenti meminum tehnya, dia menatap air berwarna merah yang ada dalam cangkirnya dengan agak bingung. Dia mengingat-ingat lagi bagaimana tadi Bi Inah membuat teh itu. Sepertinya tidak ada yang berbeda, tapi kenapa rasanya teh ini terasa jauh lebih enak.
“Enak ya minum teh kalau lagi dingin kayak gini. Tehnya jadi lebih enak.” Sebuah suara menyadarkan Ify.
Ify menoleh ke samping kanannya, dilihatnya anak itu tengah tersenyum dan menatapnya ramah, seolah dia sudah menunjukkan hal hebat pada Ify. Entah kenapa Ify ikut tersenyum begitu melihat senyum itu.
“Itu sebabnya aku suka hujan. Hujan itu bikin teh ini jadi lebih enak.” Katanya pada Ify, tapi matanya menatap lurus ke depan, kearah hujan yang kini mulai reda.
“Nama kamu siapa ?” Tanya Ify, menyuarakan pertanyaan yang sejak tadi sudah tak sabar ingin dikeluarkan dari pikirannya.
Anak itu mengalihkan perhatiannya pada Ify, sejenak meninggalkan keasyikannya menatap hujan. Dengan sebuah senyuman manis dia menjawab, menyebutkan nama yang tanpa Ify sadari akan menjadi nama yang menghiasi hidupnya kelak, “Rio.”

***
 
Hari itu hari pertama Ify menjadi siswi SMA, dia sedang menjalani masa MOPD layaknya seorang peserta didik baru. Berbagai macam atribut sudah ia kenakan dari rumah. Niatnya dia akan berangkat bersama dengan Gabriel, kakaknya, tapi rupanya Gabriel harus berangkat lebih pagi dari pada Ify karena ia merupakan salah satu anggota OSIS. Sementara Ify diantar oleh papanya.
100 meter sebelum sekolah Ify sudah turun dari mobil papanya dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ya, seperti kebanyakan MOPD, MOPD SMA Ify mengharuskan pesertanya berjalan kaki 100 meter sebelum ke sekolah.
Pagi itu lagi-lagi langit mendung, Ify yang sudah memperhatikan langit sejak tadi tersenyum senang. Entah sejak kapan ia menjadi menyukai hujan, dan ia menikmati segala hal yang disebabkan oleh hujan.
Tiba-tiba rintik-rintik air mulai turun dan dengan cepat mulai membesar, Ify segera berlari mencari tempat berteduh di emperan toko yang masih ditutup pagi itu.
“Yah ujan… kok turunnya sekarang sih. Nanti aja dong kalau udah nyampe sekolah, ntar gue dihukum.” Keluh Ify, keluhan pertamanya setelah sekian lama ia tak lagi mengumpat hujan.
Ify melirik jam di tangan kirinya. Setengah tujuh. Yap, dia sudah telat. Ify menghembuskan nafas dan menatap hujan dengan pandangan lesu. Inilah kali pertama dia benar-benar merasa kesal karena hujan.
Suara langkah kaki dan cipratan air hujan menyadarkan Ify ada yang datang ke arahnya, Ify melihat orang itu, dan tersenyum begitu sadar siapa itu.
“Rio…” ucap Ify senang.
Orang yang baru datang dan sedang menutup payungnya itu menoleh kearah Ify dan ikut tersenyum, “ahhh Ify… baru kali ini gue seneng banget ngeliat lo.” Katanya.
Ify memajukan bibirnya, “maksudnya ?”
“Hehe. Ga ada maksud apa-apa. Gue seneng aja yang kejebak ujan ga Cuma gue doang.” Rio menjawab sambil menyimpan payungngnya di lantai emperan toko itu.
Ify memperhatikan penampilan Rio. Masih memakai seragam SMP dengan berbagai macam atribut MOPD seperti yang Ify kenakan, tapi mengingatRio menggunakan payung, Ify merasa penampilan Rio tak jauh berbeda dengannya yang sejak tadi tidak menggunakan payung, “lo kan pake payung yo, kok masih basah aja sih ?” Tanya Ify.
“Yahelah Fy. Ujan gede kayak gini, payung gue Cuma segini, ya ga cukuplah.” Jawab Rio.
Ify terdiam lalu mengangguk mengerti. Tiba-tiba ia ingat sesuatu, “eh yo. Inget ga pertama kali kita ketemu ?” seru Ify.
Rio menatap Ify dengan pandangan bertanya, “Inget lah. Gue masih inget dengan jelas gimana lo dengan sangat sombongnya ngajak gue neduh.” Kata Rio.
Ify tertawa kecil, ia memang merasa ia terlalu sombong waktu itu, “abisnya yang ada dipikiran gue waktu itu, lo payah banget, cowok gatau jalan ke rumahnya.” Cibir Ify.
Ganti Rio yang mencibir, tapi kemudian dia tersenym dan dengan pandangan menerawang ia kembali berkata, “udah lama banget ya fy, tapi kayak baru kemaren.”
Ify memandang Rio. Sahabat yang ditemuinya saat hujan, yang mengajarkannya untuk menjadi penikmat hujan, yang kini berdiri di sampingnya, dan yang kini membuat dadanya berdebar. Tunggu… berdebar ? Ify kaget sendiri dengan perkataan batinnya. Dia memegang dadanya, seolah takut debaran itu akan terdengar.
“Kenapa fy ?” Tanya Rio dengan nada khawatir.
“Eh ? gapapa kok yo.” Jawab Ify.
Rio masih menunjukkan wajah khawatirnya pada Ify, membuat Ify merasa salah tingkah diperhatikan seperti itu.
“Eh, ujannya udah kecil tuh yo. Ke sekolah yuk.” Ajak Ify dengan tujuan mengalihkan perhatian Rio.
Rio menatap hujan yang sudah berubah menjadi gerimis, “Yaudah yuk. Tapi lo gapapa kan ?” ucapnya.
Ify menjawab “gapapa Rio…”
Rio tersenyum dan membuka payungnya, “yuk.”
Ify melangkah dengan agak ragu. Dia akan sepayung berdua dengan Rio. Ya ampun, kenapa dia harus segugup ini. Bukankah dia sudah menghabiskan waktu sangat lama dengan Rio. Dan ini bukan kali pertamanya mereka sedekat ini.
Rio yang sudah dijalan membalikkan badannya dan memanggil Ify, “yuk fy.”
Ify segera sadar dari lamunannya dan berjalan menyamai langkahnya hingga sejajar dengan Rio.
Saat mereka sampai di sekolah. Percaya atau tidak, bukan hukuman yang menyambut mereka, tapi teriakan histeris dan khawatir dari Gabriel karena adiknya tak kunjung datang. Ternyata Gabriel dan mama Ify sudah mengkhawatirkannya sejak tadi, mereka tidak bisa menghubungi Ify karena memang dilarang membawa hp saat MOPD.
Yah. Mungkin keluhan Ify pada hujan tadi harus ia tarik kembali, nyatanya hujan ini tidak seburuk yang ia kira. Justru hujan ini membawa kebahagiaan untuknya. Yah walaupun harus membuat kakak dan mamanya khawatir. Setidaknya dia tidak mendapat hukuman karena terlambat dan yang terpenting yang ia sendiri juga tidak tau mengapa bisa merasa senang adalah sepayung berdua dengan Rio. Oh iya satu lagi, menit-menit yang ia habiskan di emperan toko tadi juga merupakan kebahagiaan untuknya. Mungkin yang kini harus ia ucapkan pada hujan hari itu adalah terima kasih.

***
 
Menjadi siswi SMA benar-benar terasa menyenangkan untuk Ify. Ia mendapatkan seorang sahabat lain, namanya Shilla, dan sepertinya Shilla ini menyimpan rasa pada kakaknya. Untuk itulah ia dan Rio berada di kelas Gabriel istirahat ini. Mereka ingin mengajak Gabriel untuk bergabung dengan mereka berdua, dan tentunya juga Shilla di kantin. Sementara Shilla sudah mereka tinggal di kantin dengan alasan mereka harus ke ruang guru karena dipanggil Bu Winda.
“Eh fy, itu kakak lo kan ?” Tanya Rio dengan nada memastikan.
Ify menatap orang yang dimaksud Rio, orangyang sedang bernyanyi dan menari di depan kelas itu memang kakaknya. Ify menggelengkan kepalanya, “Kak Iel, ga berubah sama sekali.” Keluhnya.
Rio Cuma terkikik mendengan ucapan Ify.
Pandangan Gabriel tiba-tiba menangkap kedatangan Ify dan Rio yang saat itu berada di depan pintu kelasnya.
“Duh guys, gue pergi dulu ya. Ada fans fanatic gue nih yang udah nyamperin.” Ucap Gabriel pada anak-anak di kelasnya.
“Yaaaaahhhhh……” koor anak-anak di kelas Gabriel.
Gabriel segera berlari menghampiri Ify dan Rio, “ada apa adik-adikku tercinta ?” tanyanya.
Rio tertawa kecil sementara Ify menunjukkan wajah jijik, “Ih, Kak Iel ga malu apa diliatin anak sekelas gitu.” Ucap Ify.
Gabriel Cuma tertawa renyah, dan bukannya menjawab, ia malah kembali bertanya, “ada apa cinta ?”
Ify yang tampak ingin memprotes cara bicara kakaknya itu keburu disela oleh Rio, “ke kantin yuk kak, ada yang mau ketemu tuh.” Ucap Rio.
Gabriel menunjukkan pandangan bertanya, “siapa ?”
“udah. Ntar juga tau.” Kata Rio, menarik tangan Gabriel untuk mengikutinya.
“Ielll…. Mau kemana ?” sebuah suara mengagetkan mereka bertiga.
Gabriel tampak mengenal dua cewek yang memanggilnya tadi sebagai salah satu teman sekelasnya, “ke kantin dong.” Jawabnya.
“kita ikut ya.” Ucap mereka.
Rio dan Ify belum juga menyuarakan ketidaksetujuan mereka, Gabriel sudah berkata, “Yaudah ikut aja.”
Dengan terpaksa mereka berjalan berlima menuju kantin, dimana Shilla sudah menunggu mereka.

*** 

Shilla sejak tadi terus menunduk dan menyantap makanannya dalam diam. Ify yang duduk disampingnya terus menatap dengan pandangan bersalah pada sahabatnya itu. Bagaimana tidak, usahanya untuk mendekatkan Shilla dengan Gabriel malah jadi seperti ini. Gabriel asik melawak dengan salah satu temannya. Dan yang membuat Ify menjadi sama kesalnya dengan Shilla adalah teman kakaknya yang lain, kelihatannya ia menyukai Rio, karena sejak tadi, dia sibuk bertanya macam-macam pada Rio.
“Fy, Yo, kakak-kakak, gue duluan ya. Ada PR yang belum selesai.” Pamit Shilla yang tiba-tiba berdiri, lalu tanpa menunggu balasan dari yang lain, langsung pergi.
Sejenak Ify ingin berdiri menyusul Shilla, tapi Rio menahannya dengan pandangan yang seolah mengatakan ‘nanti saja’. Ify pun mengurungkan niatnya dan duduk kembali menghabiskan makanannya, sesekali menatap pemandangan di depannya, terutama kakaknya, dengan agak sebal.
Semakin lama duduk disana membuat Ify semakin tidak tahan. Entah mengapa hatinya panas melihat Rio begitu dekat dengan kakak kelas itu.
“Kak Iel, Rio, kakak-kakak, gue duluan ya.” Pamit Ify dan langsung berlari.
“Ify.” Ada yang memanggilnya, dan Ify mengenali suara itu, suara yang pertama kali didengarnya saat hujan, suara Rio. Tapi Ify tidak memperdulikannya dan ia terus berlari, tanpa bisa ditahan buliran air keluar dari matanya.
“Ify.” Suara itu terdengar dekat seiring dengan terasanya genggaman pada tangan yang menahan langkah Ify untuk terus berlari. Ia tidak berani menengok ke belakang dan bertatapan dengan pemilik suara itu.
“Lo kenapa ?” Tanya Rio lembut.
“Gapapa. Cuma mau pergi aja dari sana. Takut ganggu.” Jawab Ify ketus.
“Kok gitu. Gue kan kicep disana sendirian ga ada temen.” Ucap Rio.
“Kan ada temennya Kak Iel, lo kayaknya udah kenal banget sama dia.” Jawab Ify lagi.
 Rio terdiam lalu tertawa kecil, “kenapa ? lo cemburu ya ?” godanya.
Ify tersentak, seakan pertanyaan itu menohoknya. Apa iya dia cemburu ? ya. Mungkin benar ia cemburu.
Menyadari tidak ada jawaban dari Ify, Rio membalikkan posisi Ify hingga menatapnya, dan kaget saat mendapati Ify menangis, “Fy, lo nangis ?”
Ify menatap Rio dan menjawab candaan Rio dengan nada serius, “Iya. Gue cemburu.”
Rio tampak kaget dengan jawaban Ify, dia membuka mulutnya, namun belum ada sepatah katapun yang keluar, dia menutupnya lagi, kemudian kembali membukanya, seolah bingung apa yang harus dia katakan.
Ify yang baru menyadari apa yang ia katakan menutup mulutnya dan berlari dari sana. Saat itu sebuah petir menyambar dan lagi-lagi hujan turun. Ify menatap langita yang hitam. Ini bukan hujan yang biasanya selalu ia nanti, hujan kali ini disertai petir yang menyambar-nyambar, tidak seperti hujan yang sangat Ify sukai, Ify sangat membenci petir. Menyadari hujan yang semakin deras, Ify melanjutkan berlari menuju kelasnya, ya, dia berlari ke kelas, karena hanya disana dia bisa aman dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan Rio lontarkan. Karena di kelas akan ada guru yang mencegah Rio untuk bertanya padanya. Dia belum siap. Dia masih mengutuki perkataannya tadi. Dan dia butuh waktu untuk mencari penjelasan jika Rio bertanya padanya nanti.

***
 
Ify menyembunyikan wajahnya pada bantal besar di kamarnya sepulang sekolah. Ia langsung keluar kelas begitu bel pulang berbunyi tadi, bahkan tanpa menghibur Shilla yang ia tahu sedan sedih sepertinya juga, dia segera pulang, bahkan pula tanpa menunggu Gabriel yang biasanya pulang bersamanya.
Ify terus merutuki kebodohannya karena perkataannya tadi. Ketukan halus di pintu kamar menyadarkan Ify.
“Masuk aja ga dikunci.” Ucap Ify.
Gabriel muncul dari balik pintu dan masuk ke kamar Ify, “kok tadi pulang duluan fy ?” tanyanya.
“Ify ke peminjeman buku dulu. Kak Iel kan suka ga mau nungguin Ify milih buku disana.” Jawab Ify berbohong.
“oh.” Ucap Gabriel tanpa rasa curiga. “gara-gara lo tadi pulang duluan, gue jadi ngobrol sama temen lo yang cewek itu, si Shilla. Abisnya lo sama Rio ga ada di kelas, yaudah gue Tanya dia aja.” Lanjut Gabriel lagi.
Ify tersentak, merasa semangatnya sedikit bangkit karena perkataan kakaknya tadi. Dia menatap kakaknya, memperhatikan ekspresi yang ada diwajah Gabriel saat membicarakan Shilla.
“Asik juga anaknya. Nyambung lagi. Gue ngobrol banyak sama dia.” Lanjut Gabriel.
“terus ?” pancing Ify.
Gabriel menggaruk belakang telinganya, “yah… gue mau minta tolong.”
“Setuju. Besok gue pulang sendiri lagi.” Seru Ify tanpa menunggu lanjutan kalimat Gabriel.
Gabriel tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum, “hehe. Thanks ya adikku cinta, ntar gue beliin lo yupi yang banyak.”
“ga usah deh, itung-itung bantuin lo aja gue. Tapi nanti PJnya gue paling banyak ya.” Jawab Ify.
“Hehe sip” ucap Gabriel. “eh tunggu deh fy. Ada yang aneh sama lo. Lo abis nangis ya ?” Tanya Gabriel.
Tanpa perlu diminta Ify kembali menangis keras.
Gabriel berseru khawatir dan panic karena tiba-tiba Ify menangis, “Fy lo kenapa ?”
Dan cerita dari mulut Ify pun mengalir.

***
 
Hari ini hari Minggu, dia sedang berada di taman dekat rumah Shilla, menurut rencana ia akan menemui Shilla dan mengajaknya untuk bertemu dengan Gabriel disini, tapi Shilla tak kunjung tiba, di telepon ke hpnya tidak pernah diangkat. Ify pun hanya bisa duduk di kursi taman itu.
Ify mengisi waktunya dengan memikirkan masalahnya dengan Rio. Sejak ia mengatakan hal itu kepada Rio, ia belum bicara lagi dengan sahabatnya itu. Telepon dan sms dari Rio tidak ia gubris, ia masih terlalu malu untuk bicara dengan Rio, dan ia belum menemukan penjelasan yang masuk akal jika Rio bertanya padanya tentang hal kemarin.
“Udah lama ya fy ?” sebuah suara mengagetkan Ify dan membuatnya berbalik. Tapi begitu melihat orang yang menyapanya buru-buru ia bergegas untuk pergi, tapi orang itu menahannya.
“Ify. Jangan pergi dulu. Jangan ngehindar terus.” Cegah Rio, ya, orang itu Rio.
Ify diam di tempatnya, tidak tahu harus bagaimana.
“duduk dulu yuk.” Ajak Rio, menuntun Ify kembali duduk di kursi taman.
Ify duduk di kursi taman dan sudah tidak bisa memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk menghindari Rio.
“Tentang yang kemaren, please jangan pergi dulu. Gue Cuma mau nyampein satu hal, terserah kalau abis itu lo masih mau kayak gini sama gue atau gimana.” Ucap Rio.
Dada Ify berdebar mendengar perkataan Rio, apalagi Rio berkata ini tentang yang kemarin.
“Gue… juga bakal cemburu kalau gue ada di posisi lo, dan lo yang di posisi gue.” Ucap Rio.
Seketika Ify tersentak dan menatap Rio kaget. Rio tersenyum manis dan balas menatap Ify.
“Gue suka sama lo fy. mau ga… boleh ga… gue jadi cowok lo ?” satu kalimat yang terucap dari mulut Rio dan mampu membuat Ify lagi-lagi tersentak kaget.
Tanpa pikir panjang Ify mengangguk dan tersenyum.
TIK TIK TIK ZASSSSS……………
Oh kalian dengar itu. Itu suara… yah mungkin kalian sudah bisa menebaknya, lagi-lagi itu suara hujan. Ya. Hujan, dan kali ini tanpa petir.

>>>>>>>>>>>>>flashback0ff<<<<<<<<<<<<<<
 
Sebuah rengekan dan tangis anak perempuan kecil menyadarkan Ify dari lamunannya. Dia tersenyum saat menyadari Acha, anak yang sedang merengek itu sudah ada di halaman rumahnya, bersama seorang laki-laki yang tadi mengirim pesan singkat padanya. Mereka datang dengan menggunakan payung, payung yang sudah laki-laki itu gunakan sejak memulai masa SMAnya.
“Achhaaa… nanti Acha sakit kalau main terus.” Ucap laki-laki itu.
“Ahhh papa…. Acha kan mau main sama Ray.” Balas Acha.
“Tapi lagi ujan Acha. Nanti Acha sakit.” Balas laki-laki itu.
Ify menghampiri mereka saat mereka sudah tiba di teras rumah, “udahlah yo… biarin aja main ujan sebentar. Bukannya kamu suka hujan ? wajar kalau Acha suka hujan juga.” Kata Ify.
Rio menatap istrinya, “Ify,,, tapi ini ujan..”
“sesekali gapapa lah.” Ucap Ify.
“Tuh kan pa. kata mama aja boleh.” Ucap Acha.
Rio menghela napas, “yaudah sana.” Ucap Rio.
“yeeee…” sorak Acha yang langsung berlari ke jalan.
Rio dan Ify memperhatikan Acha dengan wajah dihiasi senyuman. Tak berapa lama seorang anak laki-laki menghampiri Acha.
“kayaknya Acha suka hujan juga.” Ucap Rio.
“Dan dia juga punya temen yang sama-sama suka hujan.” Ucap Ify.
“Ray ? dia baru pindah kemarin. Kayaknya bisa jadi temen Acha.” Kata Rio.
Ify menatap Rio dengan agak kaget, lalu dia tersenyum senang, “ada-ada aja pikiranku.” Ucapnya.
Rio menatap Ify, “kenapa ?”
Ify menggeleng, “menurut kamu, mungkin ga sebuah kisah terulang ?” Tanya Ify.
Rio tampak berfikir, “mungkin, tapi ga akan sama persis.” Ucapnya.
Mereka kembali menatap Acha yang sedang bermain dengan Ray. Saat itu sebuah mobil datang dan dari dalam mobil itu keluar seorang anak perempuan yang tau-tau sudah bergabung dengan Acha dan Ray.
Sementara Gabriel tak lama kemudian keluar dari mobil yang sama dengan sebuah payung. Membukakan pintu sebelahnya, dan mengajak Shilla keluar dari sana.
“Rio… Ify…” sapa mereka, yang disambut dengan senyuman manis dari Rio dan Ify.

***


FARAREFIA part 14 (cerbung rify)


14

                Rio membuka matanya dengan perasaan aneh. Dia menoleh ke kanan dan kirinya dengan bingung, sama sekali tidak mengenali tempat di mana dia berada sekarang.
                Tempat itu dipenuhi tebing-tebing tinggi dan jurang yang tidak terlihat dasarnya karena tertutup asap, atau kabut ? entahlah, Rio tidak tahu apa itu.
                Rio berdiri di tepi jurang tersebut dengan bingung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan, hingga sebuah getaran seperti gempa bumi membuatnya harus berpegangan pada salah satu pohon agar tidak terjatuh.
                Perlahan getaran itu berhenti, digantikan dengan deru aneh dari jurang yang tidak terlihat dasarnya itu.
                Rio melangkah ragu mendekati jurang itu dan melihat ke dalamnya. Deru itu tidak berhenti, justru bertambah keras, tapi membuat Rio semakin menajamkan pandangannya pada jurang itu.
                Tiba-tiba saja sesuatu yang panjang keluar dari dalam jurang itu. Sesuatu itu sangat besar, bersisik, dan berwarna merah. Terkejut, Rio terjungkal ke belakang dan saat itulah, sesuatu itu telah keluar sepenuhnya dari jurang.
                Sesuatu itu menatap Rio dengan pandangan mengerikan. Rio ternganga saat menyadari bahwa sesuatu itu adalah naga. Naga merah, besar, bersisik, dan sepertinya tidak suka pada dirinya.
                Perasaan Rio bahwa naga itu tidak menyukainya langsung dibuktikan dengan sebuah semburan api dari mulutnya.
                Rio terketjut, merangkak mundur tepat pada waktunya, namun naga itu tidak menyerah, kembali sebuah semburan api dia tujukan pada Rio.
                Untunglah Rio sudah lebih siap, dia mengendalikan api itu dan menghalaunya. Entah bagaimana caranya, Rio bias tahu kalau sekarang sang naga tampak terkejut, dan seketika pandangan marahnya hilang, digantikan pandangan bersahabat.
                Naga itu mulai terbang lebih tinggi dan berputar-putar di langit sambil sesekali mengeluarkan semburan apinya. Rio mengawasinya dengan takjub, dan menjadi lebih takjub saat naga itu berhenti terbang berputar-putar dan tiba-tiba saja turun dan membuat tubuhnya sejajar dengan tepi jurang tempat Rio berdiri.
                “Eh… ehm…” gumam Rio. “Maksudnya gimana ?” tanyanya, pertanyaan yang sedetik kemudian dia maki dalam hati. Mana mungkin si naga mengerti apa yang dia katakan.
                “Naiklah.” Terdengar sebuah suara dari naga itu.
                Seketika Rio terlonjak, “lo… ehm… kamu… bisa ngomong ?” tanyanya masih merasa seperti orang bodoh bicara pada seekor hewan.
                “Aku ? bicara ? dengan manusia ? tentu saja tidak.” Jawabnya dengan sedikit nada geli dalam suaranya, “tapi denganmu, ya, kita sedang bicara kan ?” tambahnya.
                “Ehm… kenapa ?” Tanya Rio, mulai mendekati sang naga.
                “Tentu saja karena kau ini pengendali api, pengendara naga. Bagaimana bisa kau berharap mengendalikan seekor naga tanpa bisa mengontrol apinya dan mengerti jalan pikirannya.” Seru si naga, masih dalam posisinya yang sejajar dengan tepi jurang.
                “Ehm… maaf, tapi… gu… ehm… saya... ehm… aku... disuruh naik ke naga yang baru aja menyemburkan apinya dan sepertinya berniat membunuhku ?” Tanya Rio terbata dalam usahanya memilih kata yang tepat. “itu ga bijaksana kan ?” tambahnya.
                “Maafkan aku… tapi aku harus mengetesmu, kau bisa saja bukan pengendali api. Kau bisa saja hanya seseorang yang memiliki kekuatan besar dan ingin menghancurkanku dari dalam.” Jawab si naga.
                “Menghancurkanmu dari dalam ?” Tanya Rio bingung.
                Naga itu mendesah kesal, Rio tidak tahu apakah naga sebenarnya bisa mendesah, tapi dia mendengarnya seperti itu.
                “Naiklah…” katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih memerintah.
                Rio mulai merasa ada unsur paksaan dalam suara si naga sehingga dia merasa lebih aman untuk menaiki tubuh bersisik naga itu. Baru saja dia menemukan posisi yang cukup nyaman, naga itu sudah kembali terbang tinggi, membuat Rio terkejut dan harus berpegangan dengan susah payah pada tubuh naga itu.
                Rasanya baru sebentar saat Rio menyadari naga itu sudah berhenti terbang ke sana ke mari, dia kini hanya melayang di langit.
                “Pegangan !” perintah si naga.
                Belum sempat Rio memprotes tetang ‘berpegangan pada apa ?’ si naga itu sudah memulai aksinya, dia menyemburkan api yang sangat besar.
                Rio menutup matanya selama beberapa saat, walaupun dia pengendali api, tetap saja dia terkejut oleh hawa panas api yang sangat besar itu.
                “Buka matamu…” terdengar kembali suara si naga.
                Rio membuka matanya dengan takut-takut, dia menatap ke bawah, dan betapa terkejutnya dia saat melihat satu… dua… tiga… empat… lima… enam…, enam, ENAM naga lagi telah muncul dari jurang itu.
                Suara-suara lain, yang menurut Rio suara naga-naga itu mulai terdengar. Ada yang berseru senang, ada yang terkejut, ada yang tidak percaya, namun dari nadanya semua sangat antusias dan bahagia.
                “Rio… Yo… bangun, Yo…” Sebuah suara lain yang terdengar sangat jauh membuat bayangan naga-naga dan tebing-tebing itu hilang, digantikan dengan kegelapan bersamaan dengan semakin kerasnya suara yang menyuruhnya bangun.
                Rio menyibak kegelapan itu dengan membuka matanya, membuat kesadarannya mulai terkumpul, “hem ?”  tanyanya masih mengantuk.
                “Bangun, ini hari penyerangan, kita harus siap-siap.” Ujar suara itu lagi, yang Rio sadari adalah suara Cakka.
                Perkataan Cakka membuat kesadaran Rio terkumpul sepenuhnya, namun mempinya tadi tiba-tiba saja menyeruak dalam otaknya, membuat Rio tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, “Cak…” panggilnya.
                “Kenapa ? ada yang ga beres ?” Tanya Cakka khawatir.
                Rio menggeleng kuat-kuat, “nggak ada yang ga beres kok, cuma aja gue pengen nanya sesuatu.” Jawabnya.
                “Tanya ? Tanya apa ?” balas Cakka.
                “Hem… di sini ada naga ?” Tanya Rio, berhasil mengutarakan pertanyaan yang muncul akibat mimpinya itu.
                “Kenapa lo nanya itu ?” balas Cakka lagi.
                “Ehm… gapapa, tiba-tiba aja gue kepikiran, soal perjalanan kita pake elang dan lo yang secara alami bisa ngontrol elang, terus soal temen-temen Gabriel yang ngintai lewat tanah, sama ikan-ikan yang dikirim Alvin buat ngintai lewat sungai. Gue ngerasa kalian masing-masing bisa ngontrol hewan sesuai elemen kalian, dan harusnya gue juga kalau gitu, dan satu-satunya hewan elemen api yang kepikiran sama gue cuma naga.” Jelas Rio, mengeluarkan kata-kata yang sama sekali belum disusunnya namun begitu lancar dia keluarkan.
                Cakka terdiam dan tersenyum, bukan senyum senang, tapi lebih seperti senyum prihatin, “dulu… emang ada naga. Leluhur kita yang jadi raja terdahulu bahkan bisa ngendaliinnya, bahkan ga cuma naga, tapi semua hewan di semua elemen. Tapi naga makin lama makin sedikit, jujur aja gue ga tau banyak tentang naga, tapi yang gue denger dari Ray, mereka mulai saling bunuh sejak beberapa tahun lalu, sejak… yah… sejak lo menghilang… gue ga ngerti, tapi kata Ray mereka mulai gelisah, kayak ga punya pedoman, kata Ray juga, naga itu kayak api, kuat, tapi susah dikontrol, begitu pengontrol mereka, pengendali api, dalam kasus ini lo, hilang, mereka mulai lepas kontrol dan akhirnya saling bunuh. Populasi mereka jadi makin dikit, yang tersisa susah banget buat dicari.” Jelasnya.
                Rio terdiam, “jadi ? gara-gara gue ?” tanyanya dengan perasaan hampa dan kosong.
                Cakka menggeleng dan tersenyum menyemangati, “nggak, bukan gara-gara lo, tapi gara-gara Om Dayat.” Bantahnya.
                Rio merasakan sesuatu telah mengacaukan hatinya, kini, bertambah lagi satu alasan untuknya menyerang lembah tujuh naga itu. Orang itu harus membayar atas kekacauan yang telah dibuatnya.

***

                Ify menatap langit-langit tempatnya ditahan selama… entah sudah berapa lama, Ify tidak dapat menerkanya. Tempat itu sepertinya berada di bawah tanah, karena Ify bisa mendengar suara-suara yang berasal dari atas.
                Tempat itu sangat besar, menurut Ify tempat itu seperti ruangan yang diciptakan oleh alam, seperti gua, namun tersusun seolah seseorang memang sudah merancangnya. Ya, merancangnya, merancangnya sebagai tempat tahanan, dan seperti tempat tahanan pada umumnya, tempat itupun mengintimidasi siapa saja yang ditahan di dalamnya, termasuk Ify.
                Entah bagaimana Ify mulai sadar perlahan tempat itu menyerap segala hal positif yang ada pada dirinya, mulai dari ingatannya tentang sekolah, Agni, Debo, dan Rio. Selain itu tempat ini juga menonjolkan kenangan-kenangan buruk dan ketakutannya yang terbesar. Ify sering mimpi buruk tentang hal-hal itu. Mimpi-mimpi itu semakin membuat Ify merasa terpuruk, membuat ketakutannya semakin terasa nyata. Bahkan suplai makanan yang terbilang cukup tiga kali sehari tidak mampu membuatnya merasa lebih baik.
                Memikirkan makanan, Ify melihat ke sudut, tempat empat porsi makanan telah muncul seperti biasa, belum tersentuh, karena tiga temannya yang lain masih tertidur dan Ify sama sekali tidak mempunyai selera untuk makan.
                Sebuah rintihan terdengar, membuat Ify menjatuhkan pandangannya pada Shilla, dari siapa suara itu berasal. Shilla terlihat mengernyit, namun lalu kembali tertidur tenang.
                Ify terdiam melihatnya, dia tahun Shilla pasti sedang mimpi buruk, seperti yang sering ia alami. Ify tiba-tiba ngeri sendiri saat ingat berapa lama Shilla ditahan di tempat ini, seberapa besar ketakutan yang sudah dia terima, tidak heran dia menjadi agak emosional saat bertemu Ify, Oik, dan Sivia.
                Oh ya, Sivia, gadis itu benar-benar unik, rasanya cuma dia yang tidak terpengaruh oleh sihir di tempat itu. Sivia satu-satunya yang masih sering bersenandung saat bosan, berkeliling tempat itu, dan menertawai batu-batu berbentuk aneh.
                Shilla paling kesal dengan Sivia, setiap kali Sivia mulai berisik dia akan mulai berkata kesal, “bisa diam ga sih ? keadaan sekarang udah cukup bikin gue bête tanpa lo tambah sama ocehan ga penting lo itu.”
                Dan kemudian Sivia akan membalas, “terus gue harus ngapain ? diem aja gitu ? bosen tau.”
                Shilla akan kembali membalas, “lo itu hyperactive dan ga tau situasi tau ga ?”
                Dan Sivia akan membalasnya dengan kalimat sejenis, “lo kesel sama gue cuma karena Alvin suka sama gue, bukan sama lo.” Sambil memutar bola matanya.
                Shilla akan menghentakkan kakinya kesal dan berkata, “itu salah satu alesan, tapi sekalipun Alvin ga suka sama lo, gue tetep nganggep lo sebagai orang yang ngeselin. Lo itu juga kekanakan dan ga nunjukkin sikap seperti cewek dewasa.”
                Sivia akan mulai menggerak-gerakkan mulutnya kesal dan berkata, “gue ga mau jadi cewek sok lemah lembut yang sok anggun dan bisanya cuma diem aja sepanjang waktu.”
                Dan perdebatan itu diakhiri dengan Shilla yang pura-pura tidak mendengar dan menggerutu sendiri.
                Ify tersenyum sendiri  saat mengingat rutinitas yang biasa mereka berempat lakukan di sana. Jujur saja, baginya baik Sivia maupun Shilla sebenarnya tidak ada yang bersikap wajar, satu-satunya yang sikapnya masih wajar adalah Oik.
                Oiklah yang selama ini menengahi pertengkaran Sivia dan Silla, Oik juga yang selalu menemani Sivia berkeliling tempat itu dan menanggapi celotehannya, namun Oik juga yang selalu paling memaklumi  sifat emosional Shilla dan selalu mendengaran cerita Shilla, dan Oik jugalah yang selalu menghibur Ify saat Ify merasa terpuruk dan sedih.
                Ify meringis, mengingat teman-temannya itu memiliki kekuatan sendiri untuk menguatkan satu sama lain. Oik yang sabar, Sivia yang selalu berusaha ceria, Shilla yang walaupun sering marah, namun tetap menghidupkan suasana. Rasanya hanya Ify yang terpuruk dengan keadaan dan tidak melakukan apapun.
                Tiba-tiba saja Ify teringat pada Rio, teringat bagaimana Rio telah berusaha menyelamatkannya dengan pukulan apinya itu. Rio pasti ingin Ify baik-baik saja, baik secara fisik maupun batin.
                Ify kembali meringis melihat kondisinya, sama sekali tidak baik, dia mulai merasa bersalah. Dia merasa telah menyia-nyiakan usaha Rio untuk melindunginya. Dia menghela nafas sedih, tapi kemudian tersenyum kecil, dia harus kuat, demi Rio.
                “Apa-apaan ini ? jadi hanya kau yang bangun ?” sebuah suara membuat Ify tersentak, ada seseorang lagi di tempat itu, seseorang yang tidak dia harapkan kehadirannya.
                Ify berdiri, menanti kedatangan seseorang itu dari kegelapan sudut ruangan.
                Begitu orang itu telah terlihat jelas, Ify hampir saja terlonjak, orang itu tampan, namun menyeramkan, dia menggunakan pakaian yang sepertinya siap tempur, pakaian yang bagus dan megah namun dengan kesan yang menakutkan.
                Orang itu mengalihkan pandangannya dari Ify dan melihat Shilla, Sivia, dan Oik yang tengah tertidur. Dia mengibaskan tangannya dengan kasar di udara dan berkata, “bangun ! bangun, pemalas !”
                Entah bagaimana caranya, kibasan tangan lelaki itu yang berjaran lima meter, memberi efek sangat dekat hingga membangunkan Shilla, Sivia, dan Oik.
                Tiga wanita itu terbangun, dan langsung berdiri kaget saat menyadari adanya laki-laki itu.
                “Dayat, mau apa kau ke sini ?” Tanya Shilla dengan nada sangat mencela.
                “Sopan sekali kau, peramal.” Balas Dayat sinis. “ini tempatkku, aku tidak perlu persetujuanmu untuk ke sini.” Tambahnya.
                “jadi itu yang namanya Dayat ?” Tanya Oik pada Ify.
                Ify hanya mengangguk kecil.
                “Kenapa kamu nyulik kita ?” Tanya Sivia, tidak ada nada takut dalam suaranya.
                Dayat terlihat sedikit kaget saat mendengar Sivia, “berani sekali kau wanita muda, ah ya… kau Sivia kan ?” katanya. Dia berpaling pada Shilla dan berkata, “bagaimana tanggapanmu tentangnya, Shilla ? dialah yang ternyata bisa merebut hati Alvin.” Tambahnya.
                Shilla tersentak dan menatap marah Dayat, “kau ingin memecah belah kami.” Katanya.
                “Aku baru tahu kalian pernah bersatu.” Balas Dayat ringan, “bukannya kalian hanya empat orang tak saling kenal yang kebetulan bertemu di sini ? bertemu dan mengalami nasib buruk karena nasib baik ?” katanya lagi, diakhiri dengan senyum sinis.
                Ify dan yang lain terdiam.
                “Bagaimana, Ify ? bukankan ruangan ini cukup menyiksamu ?” tanyanya dengan senyuman licik pada Ify.
                “Nggak, nggak lagi.” Jawab Ify berani.
                Lagi-lagi Dayat terkejut, “kalian belum mengerti posisi kalian rupanya.” Katanya. “Shilla, ramalkan aku tentang para pangeran.” Tambahnya memerintah.
                Shilla menatap Dayat bingun, “apa lagi yang perlu kau ketahui ?” tanyanya.
                “Lakukan saja perintahku.” Ulang Dayat.
                Shilla menelan ludahnya sebelum memejamkan matanya, selama beberapa detik seperti tidak ada yang terjadi, tapi kemudian mata Shilla membuka dan memancarkan sinar, Shilla bicara solah orang lain telah bicara melalui dirinya, “empat akan terbang ke lembah tujuh naga… mereka akan menembus rintangan dan berhasil menemui tujuan… namun musuh akan melancarkan strategi lama dan mereka akan terjebak… dan satu akan terjun ke lembah tujuh naga dan menemui apa yang harus dia temui…”
                Ify, Sivia, dan Oik menahan nafasnya, ngeri mendengar suara yang keluar dari mulut Shilla, sama sekali bukan suara yang mereka kenal.
                Setelah selesai mengucapkan beberapa kalimat itu Shilla kembali menutup matanya, sedetik kemudian dia membuka matanya dan kembali normal.
                Dayat tampak berpikir selama beberapa saat, tapi lalu tertawa senang, “begitu rupanya… strategi lama… para pangeran memang tidak pernah berubah… loyalitsa dan cinta adalah kelemahan mereka yang paling bodoh.”
                “Apa maksudmu ?” Tanya Ify dengan nada khawatir.
                Nada itu sempat ditangkap Dayat, sehingga dia kembali tertawa, “kau mengkhawatirkan Rio, Ify ? atau  kau mengkhawatirkan dirimu sendiri ?” katanya.
                “Jelasin aja, Om Dayat.” Sivia yang membalas.
                “Kau memang berani, Sivia… tapi keberanianmu akan segera hilang begitu tahu arti dari ramalan itu.” Balas Dayat mulai emosi.
                Sivia tetap memandang Dayat berani, menunggu penjelasan.
                Dayat tersenyum sinis sebelum berkata, “empat akan terbang ke lembah tujuh naga… Mereka akan ke sini lewat udara, akan aku permudah mereka memasuki lembah ini... mereka akan menembus rintangan dan berhasil menemui tujuan… tentu tentu, akan aku kendorkan penjagaan, toh tujuanku memang untuk menemui mereka… namun musuh akan melancarkan strategi lama dan mereka akan terjebak… puncaknya, oh, aku suka bagian ini, bukankah tadi sudah kubilang loyalitas dan cinta adalah kelemahan mereka yang paling bodoh… dan satu akan terjun ke lembah tujuh naga dan menemui apa yang harus dia temui… bagian akhir yang menyenangkan, dengan ini aku sudah tahu aka nada setidaknya satu orang yang mati.”
                Ify dan yang lain tersentak, “apa maksudnya ?” Tanya mereka bersamaan.
                “Kalian akan lihat nanti, sementara itu bersenang-senanglah.” Katanya sebelum berbalik dan pergi.
                Ify dan yang lain saling pandang, merasakan perasaan khawatir dan cemas yang sama.

***


FARAREFIA part 12


12

                “Jadi gitu ceritanya…” gumam Oik sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
                Sivia yang beberapa detik lalu masih terlihat shock, melempar pandang heran pada Oik, “lo ga kaget apa, Ik ?” tanyanya.
                “Kaget, sih, tapi… masa mau bengong terus, udah lama tau kita bengong.” Jawab Oik.
                Shilla yang sejak tadi juga bengong, segera sadar oleh perkataan Oik dan menatap Ify yang sejak tadi masih diam, tapi dilihatnya gadis itu mengeluarkan air dari matanya, “lho ? Ify ? lo kenapa ?” tanyanya kaget.
                Mendengar pertanyaan Shilla, Sivia dan Oik segera melihat kakak kelas mereka itu, dan ikut terkejut.
                “Gapapa, nggak, maksud gue… bukan… uhm… yah… udah ga usah dibahas.” Kata Ify menyunggingkan sebuah senyum terpaksa yang tidak bisa mengalahkan raut menangisnya.
                “Kak Ify… cerita dong sama kita, kita harus saling bantu.” Bujuk Oik, mengusap punggung Ify.
                Ify sempat diam sebentar sebelum akhirnya dia berkata, “bukan hal penting. Gue cuma khawatir sama Rio, dia sempet bilang mau pergi, dia bilang mau ngelakuin hal penting buat orang banyak, terus gue rasa ya hal yang dia maksud itu ngalahin Dayat, tapi setelah denger ceritanya, gue jadi khawatir, gue takut dia kenapa-kenapa.” Ungkap Ify, tampak hampir menangis lagi di ujung kalimatnya.
                Mendengar ucapan Ify, Sivia tersentak kaget, “kalau gitu Kak Gabriel juga dong…” bisiknya.
                “Tunggu… tunggu…” sela Shilla dengan nada seolah mendapat pencerahan, membuat yang lain menatapnya dengan pandangan ingin tahu.
                Shilla kembali membuka mulutnya dan berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Ify, Oik, maupun Sivia.
                Shilla yang melihat raut kebingungan tiga orang di depannya segera paham dan mengeluarkan sebuat botol kecil dari kantung rok panjangnya. Lalu menyodorkan botol itu pada Ify, Oik, dan Sivia.
                “Kita… minum… ?” Tanya Oik, memeragakan gerakan minum.
                Shilla mengangguk-angguk senang.
                Setelah saling berpandangan, Sivia, Oik, dan Ify pun meminum masing-masing sedikit cairan dari botol itu.
                “Ini apaan, sih ?” Tanya Oik entah pada siapa.
                “Itu ramuan buatan gue sama Ray, kita bikin itu udah lama banget, ramuan itu udah sempurna waktu gue diculik.” Tiba-tiba saja perkataan Shilla sudah bisa dimengerti oleh Ify, Oik, dan Sivia.
                “Jadi ramuan ini buat apa ?” Tanya Sivia.
                “Supaya kalian bisa ngerti bahasa di Fararefia.” Jawab Shilla.
                Sivia memilih mengabaikan pertanyaan lain tentang ramuan, dia segera berkata, “tadi lo mau ngomong apa ?”
                Shilla seperti ingat sesuatu, dia berkata, “Oh iya, untung inget… gue mau tanya, kalian ada hubungan apa sama 4 pangeran itu ?” tanyanya.
                Ify menjawab dengan suara kecil, “yah… masih pdkt, sih.”
                Oik berfikir sebentar, “ga ada, gue ga begitu kenal, paling cuma kadang ngobrol sama Kak Cakka kalau pas ketemu.”
                Sivia juga berfikir sebentar sebelum menjawab lesu, “gue naksir sama Kak Gabriel, tapi belum pernah ngobrol sama dia.” Dia segera menambahkan, “malah sama Kak Alvin yang lebih sering ketemu.”
                “Apa ? lo deket sama Alvin ?” tanya Shilla kaget.
                Sivia tak kalah kaget dengan tanggapan Shilla atas ucapannya, tapi segera menjawab, “yah… ga deket banget, gue cuma minta tolong dia supaya bisa deket sama Kak Gabriel.”
                Shilla terdiam.
                “Terus jadinya lo tadi mau ngomong apa ?” tanya Oik.
                “Oh iya, mungkin nih ya, mungkin… Dayat nyulik kalian karena para pangeran itu suka sama kalian.” Jawab Shilla.
                Entah untuk yang keberapa kalinya, Ify, Oik, dan Sivia terkaget-kaget.
                “Jadi, Dayat berpikir mungkin pangeran itu bakal nyelametin kalian.” Tambah Shilla.
                “Tunggu…” sela Sivia. “Yang suka sama Kak Ify jelas Kak Rio, tapi siapa yang suka sama gue dan Oik ?” tanyanya.
                “Kalau Oik, mungkin Cakka, karena tadi dia bilang dia sering ngobrol sama Cakka.” Jawab Shilla menyuarakan pendapatnya dan memandang Sivia dengan pandangan yang berbeda dari yang tadi.
                Oik kembali terkaget, “apa ? Kak Cakka ?” gumamnya.
                “Jadi… ada kemungkinan Kak Gabriel yang suka sama gue ?” tanya Sivia senang.
                Sekarang jelas maksud pandangan Shilla pada Sivia, dia berkata, “lo tuh ga sabaran ya.”
                Sivia mengabaikan komentar Shilla dan menatap Shilla meminta jawabannya.
                “Ga mungkin Gabriel suka sama lo…” jawab Shilla menggantung, “karena dia suka sama gue…” tambahnya.
                Jawaban Shilla membuat Sivia seperti habis dihantam buldoser, “tapi… tapi… berarti…”
                Tapi rupanya kalimat Shilla belum selesai, dia melanjutkan, “tapi gue ga suka sama dia, gue suka sama Alvin….” Dan dia kembali berkata, sambil mengalihkan pandangannya dari Sivia, “tapi kalau gitu, berarti Alvin yang suka sama lo.”
                Sivia menganga, dia menatap Oik dan Ify dengan pandangan tidak percaya.
                “Shill…” panggil Ify, setelah beberapa saat Shilla diam.
                Shilla tetap diam.
                “Lo ga marah, kan ?” tanya Ify lagi.
                “Lo tanya gue ga marah ?” ucap Shilla datar dengan sedikit emosi di sana.
                “Jadi lo marah ?” sela Sivia, menatap Shilla tajam.
                Shilla diam saja, tidak menjawab atau melakukan isyarat apapun untuk menanggapi pertanyaan Sivia.
                “Lebay lo. Jelas-jelas gue juga di posisi yang sama kayak lo.” Balas Sivia tenang.
                Shilla tetap memandang Sivia kesal.
                “Gini deh ya, buka salah gue kalau Kak Alvin suka sama gue, dan bukan salah lo Kak Gabriel suka sama lo, dan ga penting ngomongin hal kayak gini waktu kita lagi diculik.” Ujar Sivia.
                Shilla terlihat melunak sedikit, dan akhirnya dia berkata, “maaf…”
                “Santai aja.” Balas Sivia, tersenyum, walau ada sedikit sedih di matanya.
                “Fyuuuhhh… gue kira kalian bakalan berantem.” Kata Ify.
                “Eh iya, denger kata lo, Siv, gue jadi baru inget kita lagi diculik, orang dari tadi kita ngegosip.” Kata Oik.
                “Iya ya, ngomongin cowok lagi.” Tambah Ify.
                “Eh iya dari pada ga ngapa-ngapain, mending kita liat-liat tempat ini yuk.” Usul Sivia, sambil mengedarkan pandangannya di ruangan seperti gua bawah tanah berpenerangan redup itu.
                “Ah, males gue, lo mah emang ga bias diem.” kata Oik malas.
                “Ah… ayo dong Oik… kan siapa tau kita nemuin sesuatu yang lucu.” Paksa Sivia.
                “Ogah ah.” Balas Oik lagi.
Shilla terdiam memperhatikan Sivia dan Oik yang masih terus berdebat soal berkeliling tempat itu.
                “Kenapa, Shill ?” tanya Ify yang menyadari Shilla yang diam saja.
                “Gapapa, orang bumi itu hebat ya.” Katanya pelan.

***

                “Itu…” gumam Rio saat rombongan itu memasuki sebuah ruangan dan dia melihat seorang wanita cantik tengah berdiri dengan raut yang menunjukkan keterkejutan yang besar.
                “Itu bunda…” Cakka menjawab pertanyaan yang masih ada dalam pikiran Rio.
                “Zahra… lihat siapa yang datang….” Sion berjalan lebih dulu menghampiri wanita yang dipanggilnya dengan nama Zahra.
                Zahra hanya menanggapi ucapan Sion dengan pandangan kagetnya dan senyum kecil, setelah itu dia berpaling kearah rombongan dan berlari menujunya, “jadi kamu…” ucapnya saat tiba di hadapan Rio.
                Rio menatap wanita cantik di hadapannya dengan sangat canggung. Dia benar-benar belum mempersiapkan kata-kata atau apa yang harus dia lakukan jika saat bertemu bundanya tiba, dia baru saja membuka mulutnya untuk mengatakan hai, ketika Zahra sudah mendekapnya erat.
                Rio sempat kaget dengan pelukan dari Zahra, awalnya dia bingung harus bersikap bagaimana, namun perlahan, dia merasakan sesuatu di dadanya yang mendorongnya untuk membalas pelukan Zahra.
                “Kamu sudah besar… benar-benar sudah besar… bunda senang sekali kamu selamat…” bisikan Zahra terdengar di telinga Rio.
                Rio masih diam, terus diam, tidak menemukan kata-kata untuk membalas perkataan Zahra, dia hanya berusaha menyampaikan apa yang dia rasa lewat pelukannya.
                Zahra melepas pelukannya dan ganti memandang wajah Rio dengan seksama, “mirip sekali dengan ayahmu.” Katanya dengan sebuah senyum perih.
                “Um… bun… bunda orang ketiga yang bilang gitu.” Balas Rio, yang sedetik kemudian menyumpah dalam hati tentang betapa tidak pentingnya kalimat itu.
                Zahra terlihat seperti ingin tertawa dan kembali berkata, “bahkan sifat kalian mirip.” Setelah itu dia diam, kembali memandang wajah Rio, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam, seolah ingin menghafal setiap detail wajah itu, “bunda sudah melewatkan semua perkembangan kamu. Kamu sudah jauh berubah dari apa yang bunda ingat, beritahu bunda, bagaimana bunda bisa mengganti waktu-waktu itu ?” tambahnya lagi.
                “Yang jelas, akan ada banyak waktu untuk mengenal Rio nanti, Zah.” Sion tiba-tiba berbicara, membuat Zahra berpaling dari Rio dengan sangat enggan.
                “Jadi namanya Rio.” Kata Zahra.
                “Maaf saya lancang memberi nama, saya hanya ingin memberinya nama yang mirip dengan ayahnya.” Bu Ira tiba-tiba berseru.
                Zahra berganti memandang Bu Ira, wajahnya berubah senang dipenuhi air mata, dan dia memeluk Bu Ira, “Ibu… kenapa seperti itu… ibu itu sudah Zahra anggap sebagai ibu Zahra sendiri… tentu ibu tidak perlu minta maaf karena memberi nama Rio.” Katanya.
                “Terima kasih sekali, Zahra… kamu tidak berubah sedikitpun dari yang ibu ingat.” balas Bu Ira dalam pelukannya dengan Zahra.
                Zahra melepas pelukannya dari Bu Ira dan berkata, “begitu juga ibu.”
                “Zahra… ada berita penting yang dibawa anak-anakmu.” Sela Sion.
                Zahra kembali memandang Sion dengan enggan, “berita apa ? bukannya semua berjalan sesuai rencana ? mereka membawa Rio dan akan segera mulai menyusun rencana untuk menyerang Dayat ? sejauh yang kulihat semua itu berhasil.” Katanya.
                “Ah… mereka memang belum bilang apapun juga padaku, tapi coba lihat wajah mereka, kau pasti bisa melihatnya.” Kata Sion lagi.
                Zahra kembali memandang wajah Rio, lalu beralih ke Gabriel, Alvin, dan Cakka, “katakan, ada apa ?” tanyanya.
                “Dayat menculik teman-teman kami.” Jawab Gabriel datar.
                Zahra menghela nafasnya pelan, “lalu ?” tanyanya.
                Rio tersentak saat mendengar balasan Zahra. Dia merasa ada nada tidak peduli dalam kalimat itu. Dari dalam pikirannya, tidak bukan hanya pikirannya, tapi juga hatinya, dia bisa merasakan kesedihan yang dialami tiga saudaranya.
                “Lalu ?” akhirnya karena tidak ada juga yang menyuarakan kegelisahan mereka, Rio mengungkapkannya.
                Semua yang ada di ruangan itu tersentak melihat Rio.
                “Ya jelas kita harus nyelametin mereka.” Tambah Rio, heran melihat semua yang memandangnya keheranan.
                Zahra membulatkan matanya menatap Rio, “kamu ga ngerti. Ada tugas lain yang harus kamu lakukan, kamu harus mempersiapkan penyerangan terhadap Dayat.” Katanya.
                “Yaudah, kenapa ga sekalian nyelametin mereka sekarang.” Kata Rio lagi, tidak habis pikir.
                “Masalahnya adalah Dayat sengaja menculik orang-orang yang kalian sayangi, agar kalian terpancing supaya buru-buru ke sana, menggunakan orang-orang itu untuk membuat kalian tidak bisa melawan.” Kata Zahra, matanya menyipit.
                “Kalaupun memang begitu, kenapa ? bunda ga bermaksud bilang mereka lebih baik dibiarkan aja kan ?” kata Rio lagi.
                “Bunda ga bilang begitu, maksud bunda, biarkan semua berjalan sesuai rencana, ga usah buru-buru. Kalau saat itu…”
                “Kalau saat itu mereka udah meninggal ?” potong Rio.
                “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka bukan siapa-siapa untuk Fararefia.” Kata Zahra dingin.
                “Bukan siapa-siapa untuk Fararefia ? tapi mereka adalah orang yang penting untukku.” Kata Rio hampir emosi.
                “Kamu ga ngerti.” Potong Zahra keras. “Inilah cara Dayat. Dia akan memancing kalian ke tempatnya, menggunakan mereka untuk membuat kalian tidak bisa melawannya, lalu… lalu… lalu kalian akan dibunuhnya… seperti yang dia lakukan pada ayah kalian.” Tambahnya histeris.
                Rio kembali tersentak, hening lagi selama beberapa saat. Di tengah keheningan itu dari dalam pikirannya terdengar suara Cakka, ‘bunda memang begitu, dia trauma sejak saat itu.’
                Ruangan itu masih hening, tidak ada yang berani mengeluarkan satu suku katapun. Hingga akhirnya Rio membuka kembali mulutnya dan berkata, “maaf soal itu, Rio ga tau.”
                “Pikirkan baik-baik, mulailah susun rencana.” Kata Zahra dengan nada suara yang sudah lebih baik, setelah itu, dia memandang Rio dengan pandangan memohon, lalu berjalan keluar ruangan.

***

                Rio duduk di salah satu kursi empuk yang mengitari meja itu, di mana kursi-kursi yang lain sudah terisi oleh Sion, Ray, Gabriel, Alvin, dan Cakka.
                “Jadi, bagaimana tanggapan kamu Rio ?” Tanya Sion, membuka rapat itu.
                “Ga tau. Yang jelas Rio tetep mau nyelametin mereka.” Jawab Rio.
                Sion menghela nafasnya, “dengar Rio. Jangan berfikir Zahra adalah orang yang jahat, dia orang baik, sangat baik.” Katanya.
                “Aku baru tau kalau ada orang baik yang bisa ga peduli sama nyawa orang lain.” Kata Rio dingin.
                Lagi-lagi Sion menghela nafas, “kamu juga harus mengerti posisi Zahra, dia hanya tidak mau kehilangan orang lain, dia sudah terlalu sakit kehilangan ayah kalian.” Katanya lagi.
                “Ceritakan tentang kejadian sebenarnya, om, kita juga belum pernah denger, cuma tahu sedikit.” Kata Gabriel.
                “Ini terjadi sudah lama sekali, ketika kalian masih kecil, kira-kira 1 tahun, saat itu adalah saat paling membahagiakan untuk Fararefia, tidak ada masalah. Sampai ketika Zahra menghilang, dia diculik oleh Dayat, Dayat meninggalkan pesan agar ayah kalian ke tempatnya untuk menyelamatkan bunda kalian.” Kata Sion mulai bercerita.
                “Riko yang sangat mencintai Zahra, tanpa berpikir panjang, segera pergi ke tempat Dayat, ditemani om tentunya, tapi setibanya kami di sana, Dayat memulai aksinya, dia meminta ayah kalian menyerahkan tahta, dia memaksa dengan menjadikan nyawa Zahra sebagai taruhannya. Saat itu benar-benar buruk, namuan ayah kalian tetap tidak ingin menyerahkan tahta, karena dia tahu Dayat akan menggunakannya untuk hal buruk. Dia akhirnya menantang Dayat untuk bertarung satu lawan satu, selama beberapa saat ayah kalian hampir menang, tapi Dayat berbuat curang, dia mendorong ibu kalian ke jurang, Riko menyelamatkannya dan meninggalkan pertarungan, Zahra selamat, tapi Riko…” perkataan Sion terputus, dia tahu orang-orang di ruangan itu sudah tahu kelanjutannya.
                “Dayat mengira kekuatan Riko akan berpindah padanya, sehingga dia membiarkan aku dan Zahra pergi dari tempat itu, tapi ternyata kalianlah yang mendapatkan kekuatan itu. Aku dan Zahra menyusun rencana untuk menyelamatkan kalian dari kejaran Dayat, waktu itu empat dayang yang paling dekat dan setia bersedia pergi ke bumi yang berbahaya bagi mereka untuk menyelamatkan kalian, salah satunya adalah Bu Ira, orang yang sudah Zahra anggap sebagai ibunya sendiri. Kisah selanjutnya, tentunya kalian sudah tahu.” Sambung Sion.
                “Hanya saja, sejak saat itu, Zahra menjadi sangat trauma terhadap Dayat dan terornya, dia tidak pernah membiarkan putra-putranya menghadapi Dayat sebelum mereka siap, itulah sebabnya…”
                “Itulah sebabnya kenapa aku tidak boleh menyelamatkan Shilla.” Potong Gabriel dengan nada sedih.
                Semua yang ada di ruangan itu menatap Gabriel dengan nafas terhenti, baru kali ini Gabriel menyebutkan nama itu.
                “Maaf, tapi Shilla siapa ?” Tanya Rio, tidak sanggup lagi membendung rasa ingin tahunya.
                Ray sudah membuka mulutnya saat Gabriel memberi isyarat untuk diam, “biar gue yang ngomong.” Katanya.
                “Shilla itu gadis yang sangat istimewa. Dia cantik, pintar, lugu, dan dia punya kemampuan meramal yang handal.” Kata Gabriel. “Dia awalnya tinggal di perkampungan biasa, hingga suatu ketika Alvin menemukannya dan melihat bakatnya, Shilla akhirnya direkrut untuk bekerja di istana. Bersama dengan Ray, yang juga ga kalah pintar, mereka membuat macam-macam penemuan, seperti ramuan untuk bertahan hidup di bumi dan mengerti berbagai bahasa. Mereka juga membuat rencana penyerangan Dayat bersama-sama, bahkan Shilla juga meramalkan beberapa hal dan memberitahu hal apa yang harus kami lakukan untuk melawan Dayat, dialah yang menyuruh kami untuk mencarimu sesegera mungkin dan dia juga yang mengusahakannya.” Tambahnya.
                “Ehem…” Ray mengeluarkan suara batuk yang dibuat-buat.
                “Iya… Shilla dengan Ray.” Tambah Gabriel.
                “Pengen banget disebut lo.” Bisik Cakka pada Ray.
                “Gue cinta sama Shilla, sangat cinta, walaupun Shilla ga cinta sama gue dan lebih memilih cowok lain yang ternyata adik gue sendiri, orang yang pertama kali menemukan dia, menolongnya, dan membawanya ke istana.” Kata Gabriel lagi.
                Rio langsung melirik kearah Alvin yang raut wajahnya sudah tidak bisa ditebak, sangat jelas dialah yang dimaksud Gabriel.
                “Rupanya Dayat menyadari kalau gue cinta Shilla, dia pakai taktik lama, dia culik Shilla, berharap gue dateng dan nyelametin dia.” Lanjut Gabriel, “tapi bunda ga ngizinin gue. Gue ngerasa sangat bersalah sama Shilla, gara-gara gue dia jadi harus diculik dan ikut-ikutan ngerasain penderitaan.” Tambahnya dengan nada sedih seraya menundukkan kepalanya.
                “Tapi lo mau nyelametin dia kan, Gab ?” Tanya Rio setelah beberapa saat.
                Gabriel mendongak menatap Rio, “tentu mau, tapi gue sadar yang dibilang bunda ada benernya, gue ga bisa gegabah langsung ke sana tanpa punya rencana yang matang.” Katanya.
                “Yaudah ayo bikin rencananya.” Kata Rio simple.
                “Lo kira gampang bikin rencana. Kita harus tahu kekuatan-kekuatan Dayat dan kelemahannya, kita juga harus belajar dari pengalaman tentang orang-orang yang Dayat tahan. Kita ga boleh kalah, kalau waktu itu Om Riko meninggal, kekuatannya terbagi dalam diri kalian, kali ini, jika kalian yang meninggal, entah kekuatan itu akan menghilang atau bagaimana, maksudnya… kalian tentunya belum punya keturunan.” Kata Ray.
                Rio terdiam dan sibuk berfikir, “kenapa sih kalian ini, katanya bangsa yang berperasaan, atau mungkin saking berperasaannya kalian sampe ga berani ngambil resiko ? kalau mau nyerang Dayat, ya ayo lakukan, kalau butuh rencana ayo segera buat, lebih mudah mengerjakan dari pada cuma memikirkan.” Katanya.
                Lagi-lagi ruangan itu hening sejenak, semua menatap Rio dengan pandangan campur aduk.
                “Bener yang dibilang Rio, daripada cuma mikir kalau nyerang Dayat itu susah, mending kita langsung kerja sekarang. Kita buktiin kalau kita bisa siap dengan waktu sedikit, supaya bunda juga yakin kita bisa, dan temen-temen kita bisa selamet.” Kata Cakka.
                “Gue setuju.” Kata Alvin.
                “Gue juga.” Sahut Ray bersemangat.
                ‘Lo hebat, Yo.’ Terdengar suara Gabriel dari dalam pikiran Rio.
Sion cuma tersenyum menatap Rio dan berkata, “kamu mirip sekali dengan ayahmu. Baiklah ayo segera mulai. Kita cuma punya sedikit waktu buat ngalahin Dayat sekaligus nyelametin temen-temen kalian. Dan jangan kaget kalau rencana ini akan membuat kalian sedikit kelelahan.”

***

                Sudah kira-kira tiga hari ini Rio merasakan hidupnya sangat sibuk. Jauh lebih sibuk dari ketika persiapan UN SMPnya dulu, jauh lebih sibuk dari saat dia mendaftar ke SMAnya dulu. Dua hari ini dia sibuk dengan berbagai macam pelajaran yang diterimanya, dia harus belajar teori-teori dan hal-hal di Fararefia dan segala macamnya.
                “Ini kayak waktu kita belajar tentang hal-hal di bumi, kayak gedung dan bangunan di bumi.” Terang Cakka waktu Rio sedang mengenali berbagai jenis binatang dan tumbuhan di Fararefia.
                Rio sempat frustasi akan proses belajarnya ini, dia sempat bertanya pada Ray apakah tidak ada ramuan yang bisa membuatnya langsung mengerti segala hal di Fararefia, seperti ramuan yang membuat tiga saudaranya mengerti tentang twitter dan handphone di bumi. Sayangnya Ray belum membuat ramuan itu, katanya dia tidak menyangka akan ada orang bumi yang perlu belajar tentang Fararefia.
                Selain itu Rio juga mulai belajar tentang rencana penyadapan markas Dayat di lembah tiga naga. Dia sempat mendengar Alvin dan Gabriel bicara pada Sion kemarin.
                “Yah… menurut ikan-ikan itu di sana memang ada sungai, hanya saja kondisinya buruk, sungai di sana dibatasi oleh kekuatan sihir Dayat sehingga ikan-ikan tidak bisa masuk ke sana dan melihat keadaan di dalamnya, yang mereka bisa lihat, ada dua penjaga di dekat sungai itu.” Kata Alvin waktu itu.
                “Menurut pohon-pohon, mereka melihat dari ujung daun tertinggi, di sana memang terdapat sungai, ada pohon-pohon, tapi sedikit. Menurut hewan-hewan tanah, mereka biasanya bisa masuk ke sana lewat bawah tanah, hanya saja, pengawal ada di mana-mana, mereka belum menemukan tempat keluar dari tanah yang cocok tanpa ketahuan pengawal.” Kata Gabriel.
                “Hem… berarti tinggal tunggu pantauan Cakka dari anginnya.” Kata Sion kala itu.
                Rio juga harus belajar untuk mengendalikan kekuatan pengendalian apinya. Dia dilatih oleh Sion dan tiga saudaranya. Ini adalah pelajaran paling melelahkan untuknya sekaligus paling menyita waktunya. Seperti saat ini, dia sedang duduk di pinggir lapangan yang digunakan untuk berlatih. Dia baru saja disuruh beristirahat, sementara Sion mulai melatih Alvin.
                “Kalian sepertinya berusaha keras ya.” Tegur seseorang dari belakangnya.
                Rio menoleh dan tersenyum senang saat menyadari itu adalah Bu Ira, “mama… duduk ma.” Katanya.
                Bu Ira duduk di sebelah Rio dan menyodorkan segelas minuman, “jangan panggil mama, panggil Bu Ira aja.” Katanya.
                Rio yang sedang meneguk minumannya berhenti dan menatap Bu Ira heran, “kenapa mama bilang gitu ?” katanya.
                “Ibu ga enak, kan sekarang kamu sudah tau ibu kandung kamu, rasanya gap antes aja kamu manggil ibu mama.” Kata Bu Ira.
                Rio menatap Bu Ira lama, “jangan begitu.” Katanya sedih.
                Bu Ira terkejut mendengar nada suara Rio.
                “Mama satu-satunya orang yang paling deket sama Rio sekarang. Walaupun Rio udah ketemu sama bunda, tapi tetep aja yang selama ini ngabisin waktu sama Rio itu mama, dan fakta itu ga akan berubah.” Kata Rio.
                Bu Ira terdiam, dan perlahan matanya berkaca-kaca, sedetik kemudian dia sudah menarik Rio dalam dekapannya, “mama sayang kamu.” Bisiknya.
                “Rio juga.” Balas Rio.
                “Ehem…” suara batuk yang dibuat-buat mengharuskan acara peluk-pelukkan itu terhenti, membuat Rio dan Bu Ira mendongak.
                “Eh Zahra… maaf, tadi ibu mau nganterin minum doang ke Rio.” Kata Bu Ira seraya berdiri.
                “Ehm… gapapa kok, bu, Zahra juga setuju sama Rio, ibu tetep mamanya Rio.” Kata Zahra sambil tersenyum. “Cuma Zahra ada perlu sebentar sama Rio, bisa ibu biarin kita berdua ?” tambahnya.
                Bu Ira tersenyum senang dan berkata, “ya, tentu aja.” Sebelum pergi dari sana.
                Zahra duduk di sebelah Rio, menatap putranya itu dengan penuh kerinduan, “kamu bener-bener cinta sama gadis itu ya, sampai-sampai kata-kata bunda ga kamu denger.” Katanya.
                “Rio bukannya ga dengerin kata-kata bunda, Rio dengerin kok. Bunda ga ngelarang Rio nyerang Dayat kalau Rio belum siap kan ? dan itu Rio lakuin, Rio belum nyerang Dayat karena Rio belum siap, tapi Rio berusaha untuk siap secepatnya dan nyerang Dayat secepatnya.” Kata Rio.
                “Tapi kamu yakin bisa siap dengan waktu sedikit ? Dayat itu bukan orang biasa.” Kata Zahra memperingatkan.
                “Ga ada yang ga mungkin, Rio yakin Rio bisa, lagian Rio ga mau Ify kelamaan di tempat Dayat.” Kata Rio lagi.
                “Tapi apa kamu mau Ify merasakan kehilangan seperti yang bunda rasakan ?” Tanya Zahra.
                “Nggak mau lah, bun, tapi Rio juga ga mau nyesel ga ngelakuin sesuatu buat nyelametin dia.” Kata Rio.
                “Coba kamu mengerti posisi bunda…”
                “Bun…” potong Rio lembut, “Rio pasti selamet, begitu juga yang lain, kita semua sayang sama bunda, kita ga akan biarin bunda ngerasa kehilangan lagi, kita tau kok kita siap atau nggak, dan kalau kita belum siap, kita ga akan nyerang Dayat.” Ucapnya menjelaskan.
                “Coba bunda mengerti posisi ayah saat itu... gimana perasaan ayah kalau seandainya ayah ga pernah nyoba buat nyelametin bunda ?” kata Rio lagi.
                Zahra tersenyum, “kamu memang mirip ayahmu, selalu berhasil membujuk bunda. Dan gadis itu, siapa tadi namanya ? Ify ? dia beruntung sekali dicintai olehmu.”

***