Sabtu, 30 Juni 2012

FARAREFIA part 14 (cerbung rify)


14

                Rio membuka matanya dengan perasaan aneh. Dia menoleh ke kanan dan kirinya dengan bingung, sama sekali tidak mengenali tempat di mana dia berada sekarang.
                Tempat itu dipenuhi tebing-tebing tinggi dan jurang yang tidak terlihat dasarnya karena tertutup asap, atau kabut ? entahlah, Rio tidak tahu apa itu.
                Rio berdiri di tepi jurang tersebut dengan bingung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan, hingga sebuah getaran seperti gempa bumi membuatnya harus berpegangan pada salah satu pohon agar tidak terjatuh.
                Perlahan getaran itu berhenti, digantikan dengan deru aneh dari jurang yang tidak terlihat dasarnya itu.
                Rio melangkah ragu mendekati jurang itu dan melihat ke dalamnya. Deru itu tidak berhenti, justru bertambah keras, tapi membuat Rio semakin menajamkan pandangannya pada jurang itu.
                Tiba-tiba saja sesuatu yang panjang keluar dari dalam jurang itu. Sesuatu itu sangat besar, bersisik, dan berwarna merah. Terkejut, Rio terjungkal ke belakang dan saat itulah, sesuatu itu telah keluar sepenuhnya dari jurang.
                Sesuatu itu menatap Rio dengan pandangan mengerikan. Rio ternganga saat menyadari bahwa sesuatu itu adalah naga. Naga merah, besar, bersisik, dan sepertinya tidak suka pada dirinya.
                Perasaan Rio bahwa naga itu tidak menyukainya langsung dibuktikan dengan sebuah semburan api dari mulutnya.
                Rio terketjut, merangkak mundur tepat pada waktunya, namun naga itu tidak menyerah, kembali sebuah semburan api dia tujukan pada Rio.
                Untunglah Rio sudah lebih siap, dia mengendalikan api itu dan menghalaunya. Entah bagaimana caranya, Rio bias tahu kalau sekarang sang naga tampak terkejut, dan seketika pandangan marahnya hilang, digantikan pandangan bersahabat.
                Naga itu mulai terbang lebih tinggi dan berputar-putar di langit sambil sesekali mengeluarkan semburan apinya. Rio mengawasinya dengan takjub, dan menjadi lebih takjub saat naga itu berhenti terbang berputar-putar dan tiba-tiba saja turun dan membuat tubuhnya sejajar dengan tepi jurang tempat Rio berdiri.
                “Eh… ehm…” gumam Rio. “Maksudnya gimana ?” tanyanya, pertanyaan yang sedetik kemudian dia maki dalam hati. Mana mungkin si naga mengerti apa yang dia katakan.
                “Naiklah.” Terdengar sebuah suara dari naga itu.
                Seketika Rio terlonjak, “lo… ehm… kamu… bisa ngomong ?” tanyanya masih merasa seperti orang bodoh bicara pada seekor hewan.
                “Aku ? bicara ? dengan manusia ? tentu saja tidak.” Jawabnya dengan sedikit nada geli dalam suaranya, “tapi denganmu, ya, kita sedang bicara kan ?” tambahnya.
                “Ehm… kenapa ?” Tanya Rio, mulai mendekati sang naga.
                “Tentu saja karena kau ini pengendali api, pengendara naga. Bagaimana bisa kau berharap mengendalikan seekor naga tanpa bisa mengontrol apinya dan mengerti jalan pikirannya.” Seru si naga, masih dalam posisinya yang sejajar dengan tepi jurang.
                “Ehm… maaf, tapi… gu… ehm… saya... ehm… aku... disuruh naik ke naga yang baru aja menyemburkan apinya dan sepertinya berniat membunuhku ?” Tanya Rio terbata dalam usahanya memilih kata yang tepat. “itu ga bijaksana kan ?” tambahnya.
                “Maafkan aku… tapi aku harus mengetesmu, kau bisa saja bukan pengendali api. Kau bisa saja hanya seseorang yang memiliki kekuatan besar dan ingin menghancurkanku dari dalam.” Jawab si naga.
                “Menghancurkanmu dari dalam ?” Tanya Rio bingung.
                Naga itu mendesah kesal, Rio tidak tahu apakah naga sebenarnya bisa mendesah, tapi dia mendengarnya seperti itu.
                “Naiklah…” katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih memerintah.
                Rio mulai merasa ada unsur paksaan dalam suara si naga sehingga dia merasa lebih aman untuk menaiki tubuh bersisik naga itu. Baru saja dia menemukan posisi yang cukup nyaman, naga itu sudah kembali terbang tinggi, membuat Rio terkejut dan harus berpegangan dengan susah payah pada tubuh naga itu.
                Rasanya baru sebentar saat Rio menyadari naga itu sudah berhenti terbang ke sana ke mari, dia kini hanya melayang di langit.
                “Pegangan !” perintah si naga.
                Belum sempat Rio memprotes tetang ‘berpegangan pada apa ?’ si naga itu sudah memulai aksinya, dia menyemburkan api yang sangat besar.
                Rio menutup matanya selama beberapa saat, walaupun dia pengendali api, tetap saja dia terkejut oleh hawa panas api yang sangat besar itu.
                “Buka matamu…” terdengar kembali suara si naga.
                Rio membuka matanya dengan takut-takut, dia menatap ke bawah, dan betapa terkejutnya dia saat melihat satu… dua… tiga… empat… lima… enam…, enam, ENAM naga lagi telah muncul dari jurang itu.
                Suara-suara lain, yang menurut Rio suara naga-naga itu mulai terdengar. Ada yang berseru senang, ada yang terkejut, ada yang tidak percaya, namun dari nadanya semua sangat antusias dan bahagia.
                “Rio… Yo… bangun, Yo…” Sebuah suara lain yang terdengar sangat jauh membuat bayangan naga-naga dan tebing-tebing itu hilang, digantikan dengan kegelapan bersamaan dengan semakin kerasnya suara yang menyuruhnya bangun.
                Rio menyibak kegelapan itu dengan membuka matanya, membuat kesadarannya mulai terkumpul, “hem ?”  tanyanya masih mengantuk.
                “Bangun, ini hari penyerangan, kita harus siap-siap.” Ujar suara itu lagi, yang Rio sadari adalah suara Cakka.
                Perkataan Cakka membuat kesadaran Rio terkumpul sepenuhnya, namun mempinya tadi tiba-tiba saja menyeruak dalam otaknya, membuat Rio tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, “Cak…” panggilnya.
                “Kenapa ? ada yang ga beres ?” Tanya Cakka khawatir.
                Rio menggeleng kuat-kuat, “nggak ada yang ga beres kok, cuma aja gue pengen nanya sesuatu.” Jawabnya.
                “Tanya ? Tanya apa ?” balas Cakka.
                “Hem… di sini ada naga ?” Tanya Rio, berhasil mengutarakan pertanyaan yang muncul akibat mimpinya itu.
                “Kenapa lo nanya itu ?” balas Cakka lagi.
                “Ehm… gapapa, tiba-tiba aja gue kepikiran, soal perjalanan kita pake elang dan lo yang secara alami bisa ngontrol elang, terus soal temen-temen Gabriel yang ngintai lewat tanah, sama ikan-ikan yang dikirim Alvin buat ngintai lewat sungai. Gue ngerasa kalian masing-masing bisa ngontrol hewan sesuai elemen kalian, dan harusnya gue juga kalau gitu, dan satu-satunya hewan elemen api yang kepikiran sama gue cuma naga.” Jelas Rio, mengeluarkan kata-kata yang sama sekali belum disusunnya namun begitu lancar dia keluarkan.
                Cakka terdiam dan tersenyum, bukan senyum senang, tapi lebih seperti senyum prihatin, “dulu… emang ada naga. Leluhur kita yang jadi raja terdahulu bahkan bisa ngendaliinnya, bahkan ga cuma naga, tapi semua hewan di semua elemen. Tapi naga makin lama makin sedikit, jujur aja gue ga tau banyak tentang naga, tapi yang gue denger dari Ray, mereka mulai saling bunuh sejak beberapa tahun lalu, sejak… yah… sejak lo menghilang… gue ga ngerti, tapi kata Ray mereka mulai gelisah, kayak ga punya pedoman, kata Ray juga, naga itu kayak api, kuat, tapi susah dikontrol, begitu pengontrol mereka, pengendali api, dalam kasus ini lo, hilang, mereka mulai lepas kontrol dan akhirnya saling bunuh. Populasi mereka jadi makin dikit, yang tersisa susah banget buat dicari.” Jelasnya.
                Rio terdiam, “jadi ? gara-gara gue ?” tanyanya dengan perasaan hampa dan kosong.
                Cakka menggeleng dan tersenyum menyemangati, “nggak, bukan gara-gara lo, tapi gara-gara Om Dayat.” Bantahnya.
                Rio merasakan sesuatu telah mengacaukan hatinya, kini, bertambah lagi satu alasan untuknya menyerang lembah tujuh naga itu. Orang itu harus membayar atas kekacauan yang telah dibuatnya.

***

                Ify menatap langit-langit tempatnya ditahan selama… entah sudah berapa lama, Ify tidak dapat menerkanya. Tempat itu sepertinya berada di bawah tanah, karena Ify bisa mendengar suara-suara yang berasal dari atas.
                Tempat itu sangat besar, menurut Ify tempat itu seperti ruangan yang diciptakan oleh alam, seperti gua, namun tersusun seolah seseorang memang sudah merancangnya. Ya, merancangnya, merancangnya sebagai tempat tahanan, dan seperti tempat tahanan pada umumnya, tempat itupun mengintimidasi siapa saja yang ditahan di dalamnya, termasuk Ify.
                Entah bagaimana Ify mulai sadar perlahan tempat itu menyerap segala hal positif yang ada pada dirinya, mulai dari ingatannya tentang sekolah, Agni, Debo, dan Rio. Selain itu tempat ini juga menonjolkan kenangan-kenangan buruk dan ketakutannya yang terbesar. Ify sering mimpi buruk tentang hal-hal itu. Mimpi-mimpi itu semakin membuat Ify merasa terpuruk, membuat ketakutannya semakin terasa nyata. Bahkan suplai makanan yang terbilang cukup tiga kali sehari tidak mampu membuatnya merasa lebih baik.
                Memikirkan makanan, Ify melihat ke sudut, tempat empat porsi makanan telah muncul seperti biasa, belum tersentuh, karena tiga temannya yang lain masih tertidur dan Ify sama sekali tidak mempunyai selera untuk makan.
                Sebuah rintihan terdengar, membuat Ify menjatuhkan pandangannya pada Shilla, dari siapa suara itu berasal. Shilla terlihat mengernyit, namun lalu kembali tertidur tenang.
                Ify terdiam melihatnya, dia tahun Shilla pasti sedang mimpi buruk, seperti yang sering ia alami. Ify tiba-tiba ngeri sendiri saat ingat berapa lama Shilla ditahan di tempat ini, seberapa besar ketakutan yang sudah dia terima, tidak heran dia menjadi agak emosional saat bertemu Ify, Oik, dan Sivia.
                Oh ya, Sivia, gadis itu benar-benar unik, rasanya cuma dia yang tidak terpengaruh oleh sihir di tempat itu. Sivia satu-satunya yang masih sering bersenandung saat bosan, berkeliling tempat itu, dan menertawai batu-batu berbentuk aneh.
                Shilla paling kesal dengan Sivia, setiap kali Sivia mulai berisik dia akan mulai berkata kesal, “bisa diam ga sih ? keadaan sekarang udah cukup bikin gue bête tanpa lo tambah sama ocehan ga penting lo itu.”
                Dan kemudian Sivia akan membalas, “terus gue harus ngapain ? diem aja gitu ? bosen tau.”
                Shilla akan kembali membalas, “lo itu hyperactive dan ga tau situasi tau ga ?”
                Dan Sivia akan membalasnya dengan kalimat sejenis, “lo kesel sama gue cuma karena Alvin suka sama gue, bukan sama lo.” Sambil memutar bola matanya.
                Shilla akan menghentakkan kakinya kesal dan berkata, “itu salah satu alesan, tapi sekalipun Alvin ga suka sama lo, gue tetep nganggep lo sebagai orang yang ngeselin. Lo itu juga kekanakan dan ga nunjukkin sikap seperti cewek dewasa.”
                Sivia akan mulai menggerak-gerakkan mulutnya kesal dan berkata, “gue ga mau jadi cewek sok lemah lembut yang sok anggun dan bisanya cuma diem aja sepanjang waktu.”
                Dan perdebatan itu diakhiri dengan Shilla yang pura-pura tidak mendengar dan menggerutu sendiri.
                Ify tersenyum sendiri  saat mengingat rutinitas yang biasa mereka berempat lakukan di sana. Jujur saja, baginya baik Sivia maupun Shilla sebenarnya tidak ada yang bersikap wajar, satu-satunya yang sikapnya masih wajar adalah Oik.
                Oiklah yang selama ini menengahi pertengkaran Sivia dan Silla, Oik juga yang selalu menemani Sivia berkeliling tempat itu dan menanggapi celotehannya, namun Oik juga yang selalu paling memaklumi  sifat emosional Shilla dan selalu mendengaran cerita Shilla, dan Oik jugalah yang selalu menghibur Ify saat Ify merasa terpuruk dan sedih.
                Ify meringis, mengingat teman-temannya itu memiliki kekuatan sendiri untuk menguatkan satu sama lain. Oik yang sabar, Sivia yang selalu berusaha ceria, Shilla yang walaupun sering marah, namun tetap menghidupkan suasana. Rasanya hanya Ify yang terpuruk dengan keadaan dan tidak melakukan apapun.
                Tiba-tiba saja Ify teringat pada Rio, teringat bagaimana Rio telah berusaha menyelamatkannya dengan pukulan apinya itu. Rio pasti ingin Ify baik-baik saja, baik secara fisik maupun batin.
                Ify kembali meringis melihat kondisinya, sama sekali tidak baik, dia mulai merasa bersalah. Dia merasa telah menyia-nyiakan usaha Rio untuk melindunginya. Dia menghela nafas sedih, tapi kemudian tersenyum kecil, dia harus kuat, demi Rio.
                “Apa-apaan ini ? jadi hanya kau yang bangun ?” sebuah suara membuat Ify tersentak, ada seseorang lagi di tempat itu, seseorang yang tidak dia harapkan kehadirannya.
                Ify berdiri, menanti kedatangan seseorang itu dari kegelapan sudut ruangan.
                Begitu orang itu telah terlihat jelas, Ify hampir saja terlonjak, orang itu tampan, namun menyeramkan, dia menggunakan pakaian yang sepertinya siap tempur, pakaian yang bagus dan megah namun dengan kesan yang menakutkan.
                Orang itu mengalihkan pandangannya dari Ify dan melihat Shilla, Sivia, dan Oik yang tengah tertidur. Dia mengibaskan tangannya dengan kasar di udara dan berkata, “bangun ! bangun, pemalas !”
                Entah bagaimana caranya, kibasan tangan lelaki itu yang berjaran lima meter, memberi efek sangat dekat hingga membangunkan Shilla, Sivia, dan Oik.
                Tiga wanita itu terbangun, dan langsung berdiri kaget saat menyadari adanya laki-laki itu.
                “Dayat, mau apa kau ke sini ?” Tanya Shilla dengan nada sangat mencela.
                “Sopan sekali kau, peramal.” Balas Dayat sinis. “ini tempatkku, aku tidak perlu persetujuanmu untuk ke sini.” Tambahnya.
                “jadi itu yang namanya Dayat ?” Tanya Oik pada Ify.
                Ify hanya mengangguk kecil.
                “Kenapa kamu nyulik kita ?” Tanya Sivia, tidak ada nada takut dalam suaranya.
                Dayat terlihat sedikit kaget saat mendengar Sivia, “berani sekali kau wanita muda, ah ya… kau Sivia kan ?” katanya. Dia berpaling pada Shilla dan berkata, “bagaimana tanggapanmu tentangnya, Shilla ? dialah yang ternyata bisa merebut hati Alvin.” Tambahnya.
                Shilla tersentak dan menatap marah Dayat, “kau ingin memecah belah kami.” Katanya.
                “Aku baru tahu kalian pernah bersatu.” Balas Dayat ringan, “bukannya kalian hanya empat orang tak saling kenal yang kebetulan bertemu di sini ? bertemu dan mengalami nasib buruk karena nasib baik ?” katanya lagi, diakhiri dengan senyum sinis.
                Ify dan yang lain terdiam.
                “Bagaimana, Ify ? bukankan ruangan ini cukup menyiksamu ?” tanyanya dengan senyuman licik pada Ify.
                “Nggak, nggak lagi.” Jawab Ify berani.
                Lagi-lagi Dayat terkejut, “kalian belum mengerti posisi kalian rupanya.” Katanya. “Shilla, ramalkan aku tentang para pangeran.” Tambahnya memerintah.
                Shilla menatap Dayat bingun, “apa lagi yang perlu kau ketahui ?” tanyanya.
                “Lakukan saja perintahku.” Ulang Dayat.
                Shilla menelan ludahnya sebelum memejamkan matanya, selama beberapa detik seperti tidak ada yang terjadi, tapi kemudian mata Shilla membuka dan memancarkan sinar, Shilla bicara solah orang lain telah bicara melalui dirinya, “empat akan terbang ke lembah tujuh naga… mereka akan menembus rintangan dan berhasil menemui tujuan… namun musuh akan melancarkan strategi lama dan mereka akan terjebak… dan satu akan terjun ke lembah tujuh naga dan menemui apa yang harus dia temui…”
                Ify, Sivia, dan Oik menahan nafasnya, ngeri mendengar suara yang keluar dari mulut Shilla, sama sekali bukan suara yang mereka kenal.
                Setelah selesai mengucapkan beberapa kalimat itu Shilla kembali menutup matanya, sedetik kemudian dia membuka matanya dan kembali normal.
                Dayat tampak berpikir selama beberapa saat, tapi lalu tertawa senang, “begitu rupanya… strategi lama… para pangeran memang tidak pernah berubah… loyalitsa dan cinta adalah kelemahan mereka yang paling bodoh.”
                “Apa maksudmu ?” Tanya Ify dengan nada khawatir.
                Nada itu sempat ditangkap Dayat, sehingga dia kembali tertawa, “kau mengkhawatirkan Rio, Ify ? atau  kau mengkhawatirkan dirimu sendiri ?” katanya.
                “Jelasin aja, Om Dayat.” Sivia yang membalas.
                “Kau memang berani, Sivia… tapi keberanianmu akan segera hilang begitu tahu arti dari ramalan itu.” Balas Dayat mulai emosi.
                Sivia tetap memandang Dayat berani, menunggu penjelasan.
                Dayat tersenyum sinis sebelum berkata, “empat akan terbang ke lembah tujuh naga… Mereka akan ke sini lewat udara, akan aku permudah mereka memasuki lembah ini... mereka akan menembus rintangan dan berhasil menemui tujuan… tentu tentu, akan aku kendorkan penjagaan, toh tujuanku memang untuk menemui mereka… namun musuh akan melancarkan strategi lama dan mereka akan terjebak… puncaknya, oh, aku suka bagian ini, bukankah tadi sudah kubilang loyalitas dan cinta adalah kelemahan mereka yang paling bodoh… dan satu akan terjun ke lembah tujuh naga dan menemui apa yang harus dia temui… bagian akhir yang menyenangkan, dengan ini aku sudah tahu aka nada setidaknya satu orang yang mati.”
                Ify dan yang lain tersentak, “apa maksudnya ?” Tanya mereka bersamaan.
                “Kalian akan lihat nanti, sementara itu bersenang-senanglah.” Katanya sebelum berbalik dan pergi.
                Ify dan yang lain saling pandang, merasakan perasaan khawatir dan cemas yang sama.

***


7 komentar:

  1. critax lanjutin dunt.... seru loch.. :)

    BalasHapus
  2. KAK! lanjut ini dong u,u
    suka banget cerbungnya aaaaa ide ceritanya keren *.* trus konfliknya juga.
    lanjut dong kak, plis plis plis u,u

    BalasHapus
  3. aku suka banget nie cerbung tapy baru baca e

    BalasHapus
  4. aaaaaaa belum di lanjut juga ya ini.. ayoo lanjut lagi dong.. gue udah nunggu lama nih.. lanjut yaa penasaran sumpah sama kelanjutannya..


    gue numpang nititpin link, dan jangan lupa kunjungi kalau ada waktu dan berminat..

    obat pelangsing herbal..
    obat kista tradisional

    BalasHapus
  5. udah dilanjut... cek nanamjuhpan.blogspot.com

    BalasHapus