Sabtu, 30 Juni 2012

FARAREFIA part 11


11

                Sivia membuka matanya perlahan, dan langsung mendapati tiga pasang mata menatapnya dengan pandangan khawatir.
                “Dia udah sadar.” Salah satu dari tiga orang itu berseru senang, Sivia merasa mengenalinya.
                “Sivia…” yang lainnya ikut berseru senang, kali ini Sivia kenal betul itu suara Oik.
                Sivia merasakan kepalanya agak sedikit pusing, tapi dia berusaha mendudukkan dirinya, “ini di mana ?” tanyanya saat sudah melihat sekelilingnya dan tidak mengetahui di mana dia sekarang.
                “Di fararefia.” Jawab satu orang lagi, yang sama sekali tidak Sivia kenal.
                Sivia mengabaikan fakta bahwa dia tidak tahu apa itu fararefia, dan lebih memilih berkata, “Kak Ify, Oik, kalian… kita kenapa bisa di sini ?” Sivia menatap Oik dan satu orang lagi yang tak lain adalah kakak kelasnya, Ify.
                Oik dan Ify saling berpandangan bingung, lalu kembali menatap Sivia dan menjawab bersamaan, “kita juga ga tau.”
                “Kita sama-sama dibawa ke sini sama orang yang ga keliatan.” Tambah Oik.
                “Lo juga ?” Tanya Ify.
                Sivia mengingat-ingat sebentar, lalu menjawab, “iya, gue juga, gue lagi sama Acha di kelas, tiba-tiba dia kayak ketakutan gitu, kayaknya dia bisa ngeliat orang yang bawa gue ke sini.”
                “Gue juga tadinya di kelas sama Rio, tapi tiba-tiba ada angin kenceng, gue ditarik sama Rio keluar kelas. Kayaknya Rio juga bisa ngeliat orang itu.” Kata Ify.
                “Gue juga sama, waktu di kantin, Kak Debo sama Kak Cakka juga bisa ngeliat orang itu, malah kita sempet lari, walau gue ga ngerti lari dari apa.” Ucap Oik.
                “Cakka ?” satu-satunya orang yang tidak saling mengenal di tempat itu membuka suara kaget saat Oik menyebutkan nama Cakka.
                Sivia, Oik, dan Ify menatap orang itu dengan pandangan heran.
                “Kalian kenal Cakka ? apa ada Gabriel dan Alvin juga ?” Tanya orang itu.
                “Ya, nggak kenal banget sih, tapi tau lah. Mereka saudara kembar kan.” Jawab Ify, diikuti anggukan Oik dan Sivia.
                “Lo kenal mereka di mana ?” Tanya Sivia.
                Orang itu menatap Sivia, “mereka temen gue.” Jawabnya.
                “Kalau gitu, lo bisa jelasin apa yang terjadi sama kita sebenernya ?” Tanya Oik dengan nada ketakutan.
                Orang itu menghela nafasnya sebentar, Sivia, Oik, dan Ify langsung menyadari bahwa dia pastilah sudah lama berada di tempat ini, dilihat dari pakaian dan tubuhnya yang kotor, dan kurus kering tidak terawat.
                “Kalian udah diculik sama pesuruh Dayat, mereka pakai jubah hitam yang dibuat Dayat supaya orang bumi ga bisa liat mereka.” Jelas orang itu.
                “Tapi apa mau mereka ? mereka ngapain nyulik kita ?” Tanya Sivia, menaikkan alisnya heran.
                Orang itu menatap Sivia lagi, “maaf, tapi gue juga ga tau kenapa.” Ucapnya.
                “Tunggu dulu, tadi lo bilang orang bumi ga bisa liat mereka, tapi kenapa Acha, Rio, Cakka sama Debo bisa liat mereka ?” Tanya Ify lambat-lambat.
                Orang itu ganti menatap Ify, “maaf, kalau Acha, Rio, sama Debo gue juga ga tau kenapa mereka bisa ngeliat suruhan Dayat itu, tapi kalau Cakka jelas, itu karena Cakka memang bukan orang bumi, dia orang fararefia, seperti Gabriel dan Alvin.” Jawabnya.
                “Dan apa itu fararefia ?” Tanya Oik.
                Orang itu menatap Oik, “fararefia adalah negeri lain, negeri seperti bumi kalian, tapi jauh lebih baik dari bumi kalian. Di situlah kalian berada sekarang.” Jawabnya.
                “Kalau gitu jelasin lagi soal Cakka dan saudaranya.” Ucap Sivia cepat.
                “Cakka, Alvin, dan Gabriel, adalah pangeran di Fararefia.” Jawab orang itu, jawaban yang menimbulkan raut kaget di wajah tiga orang lainnya.
                “Siapa Dayat ?” Tanya Ify, setelah beberapa saat mereka diam dalam keterkejutan dan mencerna dengan cepat fakta yang datang bertubi-tubi.
                “Dayat adalah penjahat di sini, dia sudah nyulik gue selama hampir tiga tahun, nyuruh gue ngeramal informasi untuknya,dan terus berusaha membunuh Cakka, Alvin, dan Gabriel.” Jawab orang itu.
                “Tapi ngapain dia nyulik kami ? kami ga ada hubungannya sama kalian.” Kata Sivia hampir histeris.
                Orang itu menatap Sivia, kali ini dengan pandangan agak kesal, “kan udah gue bilang, gue ga tau.”
                Hening lagi, semua kembali diam, kembali mengurutkan informasi baru yang mereka dengar, dan berusaha mencari apa yang masih belum mereka pahami.
“Sorry,tapi apa lo tau soal Rio ? dia sempet mukul orang yang ga keliatan tadi, dan ditangannya muncul api.” Kali ini Ify  bertanya, setelah beberapa saat berfikir dan menemukan sebuah kejanggalan, dia berusaha menghaluskan nada bicaranya agar tidak mendapat padangan kesal yang sama dari orang itu.
                Tapi justru pandangan kagetlah yang ditunjukkan orang itu, dia membulatkan matanya tidak percaya, “oh benarkah itu ? Rio temen lo itu mengeluarkan api dari tangannya ? kalau memang benar, sudah jelas kenapa dia bisa liat orang yang nyulik kalian, udah pasti karena dia juga bukan orang bumi, dia orang fararefia, dia pangeran kedua, adik Gabriel, dan kakak Alvin dan Cakka.” Katanya dengan nada senang.
                Penjelasan orang itu disambut dengan pandangan yang tak kalah kaget dari Sivia, Oik, dan Ify.
                “Oh… ini berita yang sangat bagus, gue yakin mereka akan segera nyelametin kita, gimana kalau kalian cerita soal mereka di bumi ? akhirnya Ray bisa nyempurnain ramuannya sendiri, dan bikin mereka ke bumi, dan mereka udah nemuin pangeran ke-2, mereka udah nemuin Rio. Ayolah cerita soal mereka di bumi, dan akan gue ceritain semua yang gue tau ke kalian.” Kata orang itu sangat bersemangat, senyum sumringah muncul di wajahnya, membuat tiga orang lain di tempat itu menyadari bahwa orang ini sebenarnya sangat cantik.
                “Oh iya, nama kalian Sivia, Oik, dan Ify kan ?” tanyanya menunjuk satu persatu orang di depannya.
                Sivia, Oik, dan Ify hanya mengangguk pelan, merasa agak aneh dengan perubahan sikap yang begitu cepat dari orang yang bahkan mereka belum tau namanya.
                Dan seolah  bisa membaca pikiran mereka, orang itu kembali berkata, “Kalau begitu kenalkan, gue Ashilla, kalian bisa panggil gue Shilla.”

***

                Rio duduk di tepi tempat tidurnya. Di sampingnya sudah siap ransel dengan segala macam barang yang ia rasa akan ia butuhkan di Fararefia. Dia menatap kalung yang berada di tangannya, dia bias melihat cahaya kecil berpendar dari sana, entah karena apa.
                “Hei, kita mau ke Fararefia lho. Tempat asal lo. Seneng ga ?” ucapnya pada kalung itu.
                Hening. Tidak ada suara selama beberapa saat, Rio masih terus memandangi kalung yang biasanya selalu menggantung di lehernya.
                Rio merasakan kehangatan yang menyebar dari kalung itu, kehangatan yang melingkupinya dan membuatnya nyaman.
                Rio tersenyum kecil lalu berkata, “apaan, sih gue, ngomong sama kalung, apa gue udah gila ?” dia segera memakai kembali kalung itu, membawa ranselnya dan turun ke ruang tamu, menemui tujuh orang lain yang sudah menunggunya di sana.
                “Nggak mau… Acha mau ikut, ma… Acha ga mau sendirian di sini. Acha mau ikut ngebantu yang lain.” Rengekan Acha sudah terdengar saat Rio menuruni tangga, dan semakin jelas saat dia sudah tiba di ruang tamu.
                Di sana sudah duduk Gabriel, Alvin, dan Cakka dengan raut yang tidak bias ditebak. Debo dan Agni yang duduk bersebelahan dengan raut yang masih tidak percaya, Bu Ira yang duduk sambil menatap Acha berusaha memberikan penjelasan pada putrinya, dan satu-satunya yang berdiri, Acha, adiknya, yang matanya berkaca-kaca masih memaksa untuk ikut.
                “Udah dong, Cha, kita udah sepakat, lo, Debo, sama Agni, ga bisa ikut. Biar gue, sodara gue, sama mama yang ke sana.” Ujar Rio saat dia duduk di salah satu bangku yang tersisa.
                Acha mendelik pada Rio, “gue ga pernah sepakat, kalian yang bikin kesepakatan sendiri.”
                “Tapi di sana itu bahaya, kamu bisa celaka.” Ujar Bu Ira member pengertian.
                “Tapi Acha ga mau diem di sini, sementara kalian berusaha di sana.” Balas Acha.
                Rio terdiam sebentar, berusaha mencari alasan agar adiknya itu mau tetap berada di bumi, “denger ya, Cha, kita bukannya ga mau ngajak lo ke sana, tapi lo harus tetep di sini.”
                “Buat apa ?” balas Acha.
                “Lo ga lupa kan sama papa ?” Tanya Rio pelan.
                Seketika raut menyesal muncul di wajah Acha, dia diam dan menunduk di posisinya.
                “Lo harus jaga dia, Cha. Kita ga bisa ninggalin dia sendiri di sini. Lo harus jaga dia, dan begitu kita balik, semua bakal jadi normal lagi.” Ucap Rio, merasakan sesuatu yang aneh saat dia menyebutkan kata ‘normal’ entah normal yang bagaimana yang dia maksud.
                Bu Ira berdiri dan meraih pundak putrinya, dia memeluk Acha, mengusap punggungnya, “yang dibilang Rio benar, kamu harus tetep di sini, mama udah siapin alasan buat kamu bilang ke papa kamu soal mama dan Rio yang bakal pergi.” Ucapnya lembut.
                Sebuah isakan terdengar bersamaan dengan tubuh Acha yang berguncang kecil. Hening selama beberapa saat, hanya terdenger isakan Acha di ruangan itu.
                “Maafin Acha.” Ucap Acha pelan.
                Bu Ira mengangguk-anggukkan kepalanya, “mama saying kamu.” Balas Bu Ira.
                Rio tersenyum melihat adegan di hadapannya, sebuah perasaan aneh telah membuatnya berdiri dan bergabung dalam pelukan dua wanita itu.
                Hening lagi selama beberapa saat, hingga ketiga orang itu melepas pelukannya dan mulai kembali duduk.
                “Ehm…” Gabriel memulai dengan sebuah dehaman,  memastikan pembicaraannya sudah tidak akan mengganggu hal apapun yang baru saja berlangsung. “Sebenernya lo ga perlu bawa barang-barang lo, Yo. Di sana udah ada semua.” Tambahnya begitu melihat ransel yang dibawa oleh Rio.
                Rio terlihat agak kaget dengan ucapan Gabriel, tapi dia cuma mengangguk kecil.
                “Yang lo perluin cuma minum ramuan ini.” Gabriel menyodorkan sebuah botol kecil kepada Rio.
                “Buat apa ?” Tanya Rio, walaupun dia tetap mengambil botol kecil yang disodorkan Gabriel.
                “Supaya lo ngerti bahasa di sana. Kayak gue ngerti bahasa di bumi.” Jawab Gabriel.
                Rio mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, dia pun meminum ramuan tersebut.
                “Jadi semua udah siap ?” Tanya Gabriel, memandang berkeliling seraya berdiri.
                Semua orang di ruangan itu ikut berdiri.
                “Hati-hati ya ma, Kak.” Ucap Acha seraya menatap Bu Ira dan Rio. “Kalian juga.” Tambahnya pada Gabriel, Alvin, dan Cakka.
                “Bawa Ify balik, Yo, kita ngumpul lagi, gue pengen dapet pj dari kalian.” Ucap Agni menatap Rio, sementara sudut matanya melirik Cakka seraya berharap dia akan bisa melihat wajah itu lagi.
                “Kalian semua harus selamet, Oik, Ify, sama Sivia juga. Gue selalu nunggu kabar baik dari kalian.” Tambah Debo.
                Semua ucapan itu dibalas dengan senyuman dan anggukan kepala yakin.
                “Jadi, udah ?” Tanya Gabriel kembali, dan saat semua orang sudah mengembalikan perhatian kepadanya, dia kembali berkata, “Rio, Alvin, Cakka, ke sini. Bu Ira, ibu bisa siap-siap masuk begitu gerbang kebuka.”
                Semua segera mengikuti instruksi Gabriel.
                “Ehm… apa yang mesti gue lakuin ?” Tanya Rio saat sudah berkumpul dengan empat saudaranya.
                “Satuin aja tangan kanan kita, kayak mau jargon, pikirin Fararefia, dan begitu Gabriel ngasih aba-aba langsung lepas tangan kita.” Jawab Cakka semangat.
                Rio masih belum sepenuhnya paham dengan instruksi tersebut, tapi dia mencoba yakin dan menaruh tangan kanannya pada tumpukan tangan tiga saudaranya, dan berusaha mengikuti apa yang Cakka ucapkan.
                ‘Gue mau ke Fararefia, Fararefia…’ ucap Rio dalam hati berulang-ulang. Tanpa dia sadari bagaimana, sebuah gambaran sebuah tempat terbentuk di dalam pikirannya, dan dia dibuat terpana akan tempat itu. Saking terpananya, dia hampir saja terlambat menarik tangannya saat Gabriel berseru, “sekarang !”

***

                “ITU MEREKA!” Sebuah seruan terdengar, membuat Rio membuka matanya yang tanpa dia sadari terpejam.
                Rio bisa melihat dari sudut matanya Gabriel dan Cakka yang langsung berlari menghampiri orang yang berteriak itu, sementara dia melihat sekelilingnya, dia terperajat saat melihat di mana dia sekarang, dia seperti berada di halaman istana dalam dongeng, atau memang tempat ini adalah istana, maksudnya, dia pangeran, kan ?
                “Takjub ? kayak dalem dongeng ?” Tanya Alvin padanya.
                Rio kembali terperajat dan menatap Alvin, “haha gitu deh. Gue hampir lupa lo bisa baca pikiran gue.” Ucapnya.
                “Inilah tempat tinggal kamu yang sebenarnya.” Tambah Bu Ira seraya tersenyum, “begitu juga ibu, senang sekali bisa kembali ke sini.” Tambahnya.
                Rio menatap Bu Ira, dia bisa melihat raut kerinduan dan senang terpancar dari wajah itu, “coba kamu hirup udaranya.” Suruh Bu Ira.
                Rio menuruti apa yang Bu Ira bilang, dan dia baru menyadari udara di sini jauh lebih baik dari pada di bumi.
                “Kita harus ke sana. Kayaknya Ray udah ga sabar mau denger cerita kita.” Ucap Alvin, membuat Bu Ira dan Rio mengikutinya.
                “Dan lo tau… di bumi ada minuman namanya es jeruk, jeruk itu semacem buah di sana gitu deh, tapi yang gue heran kenapa ga ada di sini ya… makanya gue bawa beberapa biji jeruk buat ditanem di sini. Gue yakin lo pasti bisa bikin buah itu tumbuh di sini.” Rio bisa melihat Cakka sedang berceloteh sambil memberikan seraup biji jeruk pada seorang laki-laki berambut gondrong.
                “Wahahaha lo emang sepupu yang paling gue suka, Cak.” Balas orang itu.
                “Ehem, kita bawa temen lama, nih, ga mau kenalan dulu ?” Tanya Gabriel memotong pembicaraan seru Cakka dan Ray.
                Cakka dan Ray langsung menghentikan percakapan mereka dan menatap Gabriel. Gabriel mengendikkan kepalanya ke arah Rio. Ray membulatkan matanya seraya menatap Rio cepat, “JADI LO ?” serunya keras.
                Rio terkaget di tempatnya, dia menatap Ray bingung.
                “Waaahhh… lo mirip banget sama Gabriel, dan lo juga mirip sama Om Riko.” Seru Ray lagi. “Kenalin, gue Ray, gue sepupu lo.” Tambahnya sambil menyodorkan tangan kanannya.
                Rio menjabat tangan itu, dan berkata, “Rio.”
                “Jadi ini pangeran kedua ?” Sebuah suara terdengar dan membuat mereka semua menoleh.
                Rio sempat kembali kagum dengan apa yang ia lihat, orang yang menyuarakan pertanyaan tadi adalah seorang laki-laki gagah yang sangat tampan. Wajahnya berwibawa dan senyumnya ramah. Dia berjalan menghampiri rombongan itu.
                Dan Rio mendengar sebuah nama yang dibisikkan Ray di telinganya, “itu ayah gue, namanya Sion.”
                Orang itu kini berada di hadapan Rio, menatapnya dengan pandangan senang sekaligus sedih, “mirip sekali, awalnya om kira cuma Gabriel yang mirip ayahnya, tapi kamu juga mirip Riko.” Katanya. “Kenalkan, saya Sion, kamu bisa panggil saya Om Sion, seperti saudara-saudara kamu manggil om.” Tambahnya.
                Rio bingung bagaimana menanggapi ucapan perkenalan dari Om Sion, akhirnya dia hanya tersenyum dan mengangguk kecil.
                “Oh ya, ini pasti Bu Ira ? masih ingat saya, bu ?” Tanya Sion seraya menatap Bu Ira.
                Bu Ira tersenyum senang saat Sion menyapanya dengan ramah, “tentu saya masih ingat.” Jawabnya.
                “Yah… saya harus berterima kasih pada ibu, karena sudah menjaga pangeran kedua, tapi tentunya itu saja tidak cukup, saya yakin Zahra sudah menyiapkan sesuatu untuk ibu.” Tambah Sion.
                “Tidak perlu repot-repot, itu memang kewajiban saya. Dan namanya Rio, maaf saya lancang memberinya nama, saya hanya memikirkan nama yang mirip dengan nama ayanya, agar kelak dia bisa menjadi seperti Raja Riko.” Jawab Bu Ira.
                “Lebih baik kita ke dalam, ibu kalian sudah sangat tidak sabar ingin bertemu kalian, terutama kamu, Rio.” Ucap Sion, memimpin rombongan itu memasuki bangunan istana.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar