11
Sivia
membuka matanya perlahan, dan langsung mendapati tiga pasang mata menatapnya
dengan pandangan khawatir.
“Dia
udah sadar.” Salah satu dari tiga orang itu berseru senang, Sivia merasa
mengenalinya.
“Sivia…”
yang lainnya ikut berseru senang, kali ini Sivia kenal betul itu suara Oik.
Sivia
merasakan kepalanya agak sedikit pusing, tapi dia berusaha mendudukkan dirinya,
“ini di mana ?” tanyanya saat sudah melihat sekelilingnya dan tidak mengetahui
di mana dia sekarang.
“Di
fararefia.” Jawab satu orang lagi, yang sama sekali tidak Sivia kenal.
Sivia
mengabaikan fakta bahwa dia tidak tahu apa itu fararefia, dan lebih memilih
berkata, “Kak Ify, Oik, kalian… kita kenapa bisa di sini ?” Sivia menatap Oik
dan satu orang lagi yang tak lain adalah kakak kelasnya, Ify.
Oik
dan Ify saling berpandangan bingung, lalu kembali menatap Sivia dan menjawab
bersamaan, “kita juga ga tau.”
“Kita
sama-sama dibawa ke sini sama orang yang ga keliatan.” Tambah Oik.
“Lo
juga ?” Tanya Ify.
Sivia
mengingat-ingat sebentar, lalu menjawab, “iya, gue juga, gue lagi sama Acha di
kelas, tiba-tiba dia kayak ketakutan gitu, kayaknya dia bisa ngeliat orang yang
bawa gue ke sini.”
“Gue
juga tadinya di kelas sama Rio, tapi tiba-tiba ada angin kenceng, gue ditarik
sama Rio keluar kelas. Kayaknya Rio juga bisa ngeliat orang itu.” Kata Ify.
“Gue
juga sama, waktu di kantin, Kak Debo sama Kak Cakka juga bisa ngeliat orang
itu, malah kita sempet lari, walau gue ga ngerti lari dari apa.” Ucap Oik.
“Cakka
?” satu-satunya orang yang tidak saling mengenal di tempat itu membuka suara
kaget saat Oik menyebutkan nama Cakka.
Sivia,
Oik, dan Ify menatap orang itu dengan pandangan heran.
“Kalian
kenal Cakka ? apa ada Gabriel dan Alvin juga ?” Tanya orang itu.
“Ya,
nggak kenal banget sih, tapi tau lah. Mereka saudara kembar kan.” Jawab Ify,
diikuti anggukan Oik dan Sivia.
“Lo
kenal mereka di mana ?” Tanya Sivia.
Orang
itu menatap Sivia, “mereka temen gue.” Jawabnya.
“Kalau
gitu, lo bisa jelasin apa yang terjadi sama kita sebenernya ?” Tanya Oik dengan
nada ketakutan.
Orang
itu menghela nafasnya sebentar, Sivia, Oik, dan Ify langsung menyadari bahwa
dia pastilah sudah lama berada di tempat ini, dilihat dari pakaian dan tubuhnya
yang kotor, dan kurus kering tidak terawat.
“Kalian
udah diculik sama pesuruh Dayat, mereka pakai jubah hitam yang dibuat Dayat
supaya orang bumi ga bisa liat mereka.” Jelas orang itu.
“Tapi
apa mau mereka ? mereka ngapain nyulik kita ?” Tanya Sivia, menaikkan alisnya
heran.
Orang
itu menatap Sivia lagi, “maaf, tapi gue juga ga tau kenapa.” Ucapnya.
“Tunggu
dulu, tadi lo bilang orang bumi ga bisa liat mereka, tapi kenapa Acha, Rio,
Cakka sama Debo bisa liat mereka ?” Tanya Ify lambat-lambat.
Orang
itu ganti menatap Ify, “maaf, kalau Acha, Rio, sama Debo gue juga ga tau kenapa
mereka bisa ngeliat suruhan Dayat itu, tapi kalau Cakka jelas, itu karena Cakka
memang bukan orang bumi, dia orang fararefia, seperti Gabriel dan Alvin.”
Jawabnya.
“Dan
apa itu fararefia ?” Tanya Oik.
Orang
itu menatap Oik, “fararefia adalah negeri lain, negeri seperti bumi kalian,
tapi jauh lebih baik dari bumi kalian. Di situlah kalian berada sekarang.”
Jawabnya.
“Kalau
gitu jelasin lagi soal Cakka dan saudaranya.” Ucap Sivia cepat.
“Cakka,
Alvin, dan Gabriel, adalah pangeran di Fararefia.” Jawab orang itu, jawaban
yang menimbulkan raut kaget di wajah tiga orang lainnya.
“Siapa
Dayat ?” Tanya Ify, setelah beberapa saat mereka diam dalam keterkejutan dan
mencerna dengan cepat fakta yang datang bertubi-tubi.
“Dayat
adalah penjahat di sini, dia sudah nyulik gue selama hampir tiga tahun, nyuruh
gue ngeramal informasi untuknya,dan terus berusaha membunuh Cakka, Alvin, dan
Gabriel.” Jawab orang itu.
“Tapi
ngapain dia nyulik kami ? kami ga ada hubungannya sama kalian.” Kata Sivia
hampir histeris.
Orang
itu menatap Sivia, kali ini dengan pandangan agak kesal, “kan udah gue bilang,
gue ga tau.”
Hening
lagi, semua kembali diam, kembali mengurutkan informasi baru yang mereka
dengar, dan berusaha mencari apa yang masih belum mereka pahami.
“Sorry,tapi apa lo tau soal Rio
? dia sempet mukul orang yang ga keliatan tadi, dan ditangannya muncul api.”
Kali ini Ify bertanya, setelah beberapa
saat berfikir dan menemukan sebuah kejanggalan, dia berusaha menghaluskan nada
bicaranya agar tidak mendapat padangan kesal yang sama dari orang itu.
Tapi
justru pandangan kagetlah yang ditunjukkan orang itu, dia membulatkan matanya
tidak percaya, “oh benarkah itu ? Rio temen lo itu mengeluarkan api dari
tangannya ? kalau memang benar, sudah jelas kenapa dia bisa liat orang yang
nyulik kalian, udah pasti karena dia juga bukan orang bumi, dia orang
fararefia, dia pangeran kedua, adik Gabriel, dan kakak Alvin dan Cakka.”
Katanya dengan nada senang.
Penjelasan
orang itu disambut dengan pandangan yang tak kalah kaget dari Sivia, Oik, dan
Ify.
“Oh…
ini berita yang sangat bagus, gue yakin mereka akan segera nyelametin kita,
gimana kalau kalian cerita soal mereka di bumi ? akhirnya Ray bisa nyempurnain
ramuannya sendiri, dan bikin mereka ke bumi, dan mereka udah nemuin pangeran
ke-2, mereka udah nemuin Rio. Ayolah cerita soal mereka di bumi, dan akan gue
ceritain semua yang gue tau ke kalian.” Kata orang itu sangat bersemangat,
senyum sumringah muncul di wajahnya, membuat tiga orang lain di tempat itu
menyadari bahwa orang ini sebenarnya sangat cantik.
“Oh
iya, nama kalian Sivia, Oik, dan Ify kan ?” tanyanya menunjuk satu persatu
orang di depannya.
Sivia,
Oik, dan Ify hanya mengangguk pelan, merasa agak aneh dengan perubahan sikap
yang begitu cepat dari orang yang bahkan mereka belum tau namanya.
Dan
seolah bisa membaca pikiran mereka,
orang itu kembali berkata, “Kalau begitu kenalkan, gue Ashilla, kalian bisa
panggil gue Shilla.”
***
Rio
duduk di tepi tempat tidurnya. Di sampingnya sudah siap ransel dengan segala
macam barang yang ia rasa akan ia butuhkan di Fararefia. Dia menatap kalung
yang berada di tangannya, dia bias melihat cahaya kecil berpendar dari sana,
entah karena apa.
“Hei,
kita mau ke Fararefia lho. Tempat asal lo. Seneng ga ?” ucapnya pada kalung
itu.
Hening.
Tidak ada suara selama beberapa saat, Rio masih terus memandangi kalung yang
biasanya selalu menggantung di lehernya.
Rio
merasakan kehangatan yang menyebar dari kalung itu, kehangatan yang
melingkupinya dan membuatnya nyaman.
Rio
tersenyum kecil lalu berkata, “apaan, sih gue, ngomong sama kalung, apa gue
udah gila ?” dia segera memakai kembali kalung itu, membawa ranselnya dan turun
ke ruang tamu, menemui tujuh orang lain yang sudah menunggunya di sana.
“Nggak
mau… Acha mau ikut, ma… Acha ga mau sendirian di sini. Acha mau ikut ngebantu
yang lain.” Rengekan Acha sudah terdengar saat Rio menuruni tangga, dan semakin
jelas saat dia sudah tiba di ruang tamu.
Di
sana sudah duduk Gabriel, Alvin, dan Cakka dengan raut yang tidak bias ditebak.
Debo dan Agni yang duduk bersebelahan dengan raut yang masih tidak percaya, Bu
Ira yang duduk sambil menatap Acha berusaha memberikan penjelasan pada
putrinya, dan satu-satunya yang berdiri, Acha, adiknya, yang matanya
berkaca-kaca masih memaksa untuk ikut.
“Udah
dong, Cha, kita udah sepakat, lo, Debo, sama Agni, ga bisa ikut. Biar gue,
sodara gue, sama mama yang ke sana.” Ujar Rio saat dia duduk di salah satu
bangku yang tersisa.
Acha
mendelik pada Rio, “gue ga pernah sepakat, kalian yang bikin kesepakatan sendiri.”
“Tapi
di sana itu bahaya, kamu bisa celaka.” Ujar Bu Ira member pengertian.
“Tapi
Acha ga mau diem di sini, sementara kalian berusaha di sana.” Balas Acha.
Rio
terdiam sebentar, berusaha mencari alasan agar adiknya itu mau tetap berada di
bumi, “denger ya, Cha, kita bukannya ga mau ngajak lo ke sana, tapi lo harus
tetep di sini.”
“Buat
apa ?” balas Acha.
“Lo
ga lupa kan sama papa ?” Tanya Rio pelan.
Seketika
raut menyesal muncul di wajah Acha, dia diam dan menunduk di posisinya.
“Lo
harus jaga dia, Cha. Kita ga bisa ninggalin dia sendiri di sini. Lo harus jaga
dia, dan begitu kita balik, semua bakal jadi normal lagi.” Ucap Rio, merasakan
sesuatu yang aneh saat dia menyebutkan kata ‘normal’ entah normal yang
bagaimana yang dia maksud.
Bu
Ira berdiri dan meraih pundak putrinya, dia memeluk Acha, mengusap punggungnya,
“yang dibilang Rio benar, kamu harus tetep di sini, mama udah siapin alasan
buat kamu bilang ke papa kamu soal mama dan Rio yang bakal pergi.” Ucapnya
lembut.
Sebuah
isakan terdengar bersamaan dengan tubuh Acha yang berguncang kecil. Hening
selama beberapa saat, hanya terdenger isakan Acha di ruangan itu.
“Maafin
Acha.” Ucap Acha pelan.
Bu
Ira mengangguk-anggukkan kepalanya, “mama saying kamu.” Balas Bu Ira.
Rio
tersenyum melihat adegan di hadapannya, sebuah perasaan aneh telah membuatnya
berdiri dan bergabung dalam pelukan dua wanita itu.
Hening
lagi selama beberapa saat, hingga ketiga orang itu melepas pelukannya dan mulai
kembali duduk.
“Ehm…”
Gabriel memulai dengan sebuah dehaman,
memastikan pembicaraannya sudah tidak akan mengganggu hal apapun yang
baru saja berlangsung. “Sebenernya lo ga perlu bawa barang-barang lo, Yo. Di
sana udah ada semua.” Tambahnya begitu melihat ransel yang dibawa oleh Rio.
Rio
terlihat agak kaget dengan ucapan Gabriel, tapi dia cuma mengangguk kecil.
“Yang
lo perluin cuma minum ramuan ini.” Gabriel menyodorkan sebuah botol kecil
kepada Rio.
“Buat
apa ?” Tanya Rio, walaupun dia tetap mengambil botol kecil yang disodorkan
Gabriel.
“Supaya
lo ngerti bahasa di sana. Kayak gue ngerti bahasa di bumi.” Jawab Gabriel.
Rio
mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, dia pun meminum ramuan tersebut.
“Jadi
semua udah siap ?” Tanya Gabriel, memandang berkeliling seraya berdiri.
Semua
orang di ruangan itu ikut berdiri.
“Hati-hati
ya ma, Kak.” Ucap Acha seraya menatap Bu Ira dan Rio. “Kalian juga.” Tambahnya
pada Gabriel, Alvin, dan Cakka.
“Bawa
Ify balik, Yo, kita ngumpul lagi, gue pengen dapet pj dari kalian.” Ucap Agni
menatap Rio, sementara sudut matanya melirik Cakka seraya berharap dia akan
bisa melihat wajah itu lagi.
“Kalian
semua harus selamet, Oik, Ify, sama Sivia juga. Gue selalu nunggu kabar baik
dari kalian.” Tambah Debo.
Semua
ucapan itu dibalas dengan senyuman dan anggukan kepala yakin.
“Jadi,
udah ?” Tanya Gabriel kembali, dan saat semua orang sudah mengembalikan
perhatian kepadanya, dia kembali berkata, “Rio, Alvin, Cakka, ke sini. Bu Ira,
ibu bisa siap-siap masuk begitu gerbang kebuka.”
Semua
segera mengikuti instruksi Gabriel.
“Ehm…
apa yang mesti gue lakuin ?” Tanya Rio saat sudah berkumpul dengan empat
saudaranya.
“Satuin
aja tangan kanan kita, kayak mau jargon, pikirin Fararefia, dan begitu Gabriel
ngasih aba-aba langsung lepas tangan kita.” Jawab Cakka semangat.
Rio
masih belum sepenuhnya paham dengan instruksi tersebut, tapi dia mencoba yakin
dan menaruh tangan kanannya pada tumpukan tangan tiga saudaranya, dan berusaha
mengikuti apa yang Cakka ucapkan.
‘Gue
mau ke Fararefia, Fararefia…’ ucap Rio dalam hati berulang-ulang. Tanpa dia
sadari bagaimana, sebuah gambaran sebuah tempat terbentuk di dalam pikirannya,
dan dia dibuat terpana akan tempat itu. Saking terpananya, dia hampir saja
terlambat menarik tangannya saat Gabriel berseru, “sekarang !”
***
“ITU
MEREKA!” Sebuah seruan terdengar, membuat Rio membuka matanya yang tanpa dia
sadari terpejam.
Rio
bisa melihat dari sudut matanya Gabriel dan Cakka yang langsung berlari
menghampiri orang yang berteriak itu, sementara dia melihat sekelilingnya, dia
terperajat saat melihat di mana dia sekarang, dia seperti berada di halaman
istana dalam dongeng, atau memang tempat ini adalah istana, maksudnya, dia
pangeran, kan ?
“Takjub
? kayak dalem dongeng ?” Tanya Alvin padanya.
Rio
kembali terperajat dan menatap Alvin, “haha gitu deh. Gue hampir lupa lo bisa
baca pikiran gue.” Ucapnya.
“Inilah
tempat tinggal kamu yang sebenarnya.” Tambah Bu Ira seraya tersenyum, “begitu
juga ibu, senang sekali bisa kembali ke sini.” Tambahnya.
Rio
menatap Bu Ira, dia bisa melihat raut kerinduan dan senang terpancar dari wajah
itu, “coba kamu hirup udaranya.” Suruh Bu Ira.
Rio
menuruti apa yang Bu Ira bilang, dan dia baru menyadari udara di sini jauh
lebih baik dari pada di bumi.
“Kita
harus ke sana. Kayaknya Ray udah ga sabar mau denger cerita kita.” Ucap Alvin,
membuat Bu Ira dan Rio mengikutinya.
“Dan
lo tau… di bumi ada minuman namanya es jeruk, jeruk itu semacem buah di sana
gitu deh, tapi yang gue heran kenapa ga ada di sini ya… makanya gue bawa
beberapa biji jeruk buat ditanem di sini. Gue yakin lo pasti bisa bikin buah
itu tumbuh di sini.” Rio bisa melihat Cakka sedang berceloteh sambil memberikan
seraup biji jeruk pada seorang laki-laki berambut gondrong.
“Wahahaha
lo emang sepupu yang paling gue suka, Cak.” Balas orang itu.
“Ehem,
kita bawa temen lama, nih, ga mau kenalan dulu ?” Tanya Gabriel memotong
pembicaraan seru Cakka dan Ray.
Cakka
dan Ray langsung menghentikan percakapan mereka dan menatap Gabriel. Gabriel
mengendikkan kepalanya ke arah Rio. Ray membulatkan matanya seraya menatap Rio
cepat, “JADI LO ?” serunya keras.
Rio
terkaget di tempatnya, dia menatap Ray bingung.
“Waaahhh…
lo mirip banget sama Gabriel, dan lo juga mirip sama Om Riko.” Seru Ray lagi.
“Kenalin, gue Ray, gue sepupu lo.” Tambahnya sambil menyodorkan tangan
kanannya.
Rio
menjabat tangan itu, dan berkata, “Rio.”
“Jadi
ini pangeran kedua ?” Sebuah suara terdengar dan membuat mereka semua menoleh.
Rio
sempat kembali kagum dengan apa yang ia lihat, orang yang menyuarakan
pertanyaan tadi adalah seorang laki-laki gagah yang sangat tampan. Wajahnya
berwibawa dan senyumnya ramah. Dia berjalan menghampiri rombongan itu.
Dan
Rio mendengar sebuah nama yang dibisikkan Ray di telinganya, “itu ayah gue,
namanya Sion.”
Orang
itu kini berada di hadapan Rio, menatapnya dengan pandangan senang sekaligus
sedih, “mirip sekali, awalnya om kira cuma Gabriel yang mirip ayahnya, tapi
kamu juga mirip Riko.” Katanya. “Kenalkan, saya Sion, kamu bisa panggil saya Om
Sion, seperti saudara-saudara kamu manggil om.” Tambahnya.
Rio
bingung bagaimana menanggapi ucapan perkenalan dari Om Sion, akhirnya dia hanya
tersenyum dan mengangguk kecil.
“Oh
ya, ini pasti Bu Ira ? masih ingat saya, bu ?” Tanya Sion seraya menatap Bu
Ira.
Bu
Ira tersenyum senang saat Sion menyapanya dengan ramah, “tentu saya masih
ingat.” Jawabnya.
“Yah…
saya harus berterima kasih pada ibu, karena sudah menjaga pangeran kedua, tapi
tentunya itu saja tidak cukup, saya yakin Zahra sudah menyiapkan sesuatu untuk
ibu.” Tambah Sion.
“Tidak
perlu repot-repot, itu memang kewajiban saya. Dan namanya Rio, maaf saya
lancang memberinya nama, saya hanya memikirkan nama yang mirip dengan nama
ayanya, agar kelak dia bisa menjadi seperti Raja Riko.” Jawab Bu Ira.
“Lebih
baik kita ke dalam, ibu kalian sudah sangat tidak sabar ingin bertemu kalian,
terutama kamu, Rio.” Ucap Sion, memimpin rombongan itu memasuki bangunan
istana.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar