12
“Jadi
gitu ceritanya…” gumam Oik sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sivia
yang beberapa detik lalu masih terlihat shock, melempar pandang heran pada Oik,
“lo ga kaget apa, Ik ?” tanyanya.
“Kaget,
sih, tapi… masa mau bengong terus, udah lama tau kita bengong.” Jawab Oik.
Shilla
yang sejak tadi juga bengong, segera sadar oleh perkataan Oik dan menatap Ify
yang sejak tadi masih diam, tapi dilihatnya gadis itu mengeluarkan air dari
matanya, “lho ? Ify ? lo kenapa ?” tanyanya kaget.
Mendengar
pertanyaan Shilla, Sivia dan Oik segera melihat kakak kelas mereka itu, dan
ikut terkejut.
“Gapapa,
nggak, maksud gue… bukan… uhm… yah… udah ga usah dibahas.” Kata Ify
menyunggingkan sebuah senyum terpaksa yang tidak bisa mengalahkan raut
menangisnya.
“Kak
Ify… cerita dong sama kita, kita harus saling bantu.” Bujuk Oik, mengusap
punggung Ify.
Ify
sempat diam sebentar sebelum akhirnya dia berkata, “bukan hal penting. Gue cuma
khawatir sama Rio, dia sempet bilang mau pergi, dia bilang mau ngelakuin hal
penting buat orang banyak, terus gue rasa ya hal yang dia maksud itu ngalahin
Dayat, tapi setelah denger ceritanya, gue jadi khawatir, gue takut dia
kenapa-kenapa.” Ungkap Ify, tampak hampir menangis lagi di ujung kalimatnya.
Mendengar
ucapan Ify, Sivia tersentak kaget, “kalau gitu Kak Gabriel juga dong…”
bisiknya.
“Tunggu…
tunggu…” sela Shilla dengan nada seolah mendapat pencerahan, membuat yang lain
menatapnya dengan pandangan ingin tahu.
Shilla
kembali membuka mulutnya dan berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak
dimengerti oleh Ify, Oik, maupun Sivia.
Shilla
yang melihat raut kebingungan tiga orang di depannya segera paham dan
mengeluarkan sebuat botol kecil dari kantung rok panjangnya. Lalu menyodorkan
botol itu pada Ify, Oik, dan Sivia.
“Kita…
minum… ?” Tanya Oik, memeragakan gerakan minum.
Shilla
mengangguk-angguk senang.
Setelah
saling berpandangan, Sivia, Oik, dan Ify pun meminum masing-masing sedikit
cairan dari botol itu.
“Ini
apaan, sih ?” Tanya Oik entah pada siapa.
“Itu
ramuan buatan gue sama Ray, kita bikin itu udah lama banget, ramuan itu udah
sempurna waktu gue diculik.” Tiba-tiba saja perkataan Shilla sudah bisa
dimengerti oleh Ify, Oik, dan Sivia.
“Jadi
ramuan ini buat apa ?” Tanya Sivia.
“Supaya
kalian bisa ngerti bahasa di Fararefia.” Jawab Shilla.
Sivia
memilih mengabaikan pertanyaan lain tentang ramuan, dia segera berkata, “tadi
lo mau ngomong apa ?”
Shilla
seperti ingat sesuatu, dia berkata, “Oh iya, untung inget… gue mau tanya,
kalian ada hubungan apa sama 4 pangeran itu ?” tanyanya.
Ify
menjawab dengan suara kecil, “yah… masih pdkt, sih.”
Oik
berfikir sebentar, “ga ada, gue ga begitu kenal, paling cuma kadang ngobrol
sama Kak Cakka kalau pas ketemu.”
Sivia
juga berfikir sebentar sebelum menjawab lesu, “gue naksir sama Kak Gabriel,
tapi belum pernah ngobrol sama dia.” Dia segera menambahkan, “malah sama Kak
Alvin yang lebih sering ketemu.”
“Apa
? lo deket sama Alvin ?” tanya Shilla kaget.
Sivia
tak kalah kaget dengan tanggapan Shilla atas ucapannya, tapi segera menjawab,
“yah… ga deket banget, gue cuma minta tolong dia supaya bisa deket sama Kak
Gabriel.”
Shilla
terdiam.
“Terus
jadinya lo tadi mau ngomong apa ?” tanya Oik.
“Oh
iya, mungkin nih ya, mungkin… Dayat nyulik kalian karena para pangeran itu suka
sama kalian.” Jawab Shilla.
Entah
untuk yang keberapa kalinya, Ify, Oik, dan Sivia terkaget-kaget.
“Jadi,
Dayat berpikir mungkin pangeran itu bakal nyelametin kalian.” Tambah Shilla.
“Tunggu…”
sela Sivia. “Yang suka sama Kak Ify jelas Kak Rio, tapi siapa yang suka sama
gue dan Oik ?” tanyanya.
“Kalau
Oik, mungkin Cakka, karena tadi dia bilang dia sering ngobrol sama Cakka.”
Jawab Shilla menyuarakan pendapatnya dan memandang Sivia dengan pandangan yang
berbeda dari yang tadi.
Oik
kembali terkaget, “apa ? Kak Cakka ?” gumamnya.
“Jadi…
ada kemungkinan Kak Gabriel yang suka sama gue ?” tanya Sivia senang.
Sekarang
jelas maksud pandangan Shilla pada Sivia, dia berkata, “lo tuh ga sabaran ya.”
Sivia
mengabaikan komentar Shilla dan menatap Shilla meminta jawabannya.
“Ga
mungkin Gabriel suka sama lo…” jawab Shilla menggantung, “karena dia suka sama
gue…” tambahnya.
Jawaban
Shilla membuat Sivia seperti habis dihantam buldoser, “tapi… tapi… berarti…”
Tapi
rupanya kalimat Shilla belum selesai, dia melanjutkan, “tapi gue ga suka sama
dia, gue suka sama Alvin….” Dan dia kembali berkata, sambil mengalihkan
pandangannya dari Sivia, “tapi kalau gitu, berarti Alvin yang suka sama lo.”
Sivia
menganga, dia menatap Oik dan Ify dengan pandangan tidak percaya.
“Shill…”
panggil Ify, setelah beberapa saat Shilla diam.
Shilla
tetap diam.
“Lo
ga marah, kan ?” tanya Ify lagi.
“Lo
tanya gue ga marah ?” ucap Shilla datar dengan sedikit emosi di sana.
“Jadi
lo marah ?” sela Sivia, menatap Shilla tajam.
Shilla
diam saja, tidak menjawab atau melakukan isyarat apapun untuk menanggapi
pertanyaan Sivia.
“Lebay
lo. Jelas-jelas gue juga di posisi yang sama kayak lo.” Balas Sivia tenang.
Shilla
tetap memandang Sivia kesal.
“Gini
deh ya, buka salah gue kalau Kak Alvin suka sama gue, dan bukan salah lo Kak
Gabriel suka sama lo, dan ga penting ngomongin hal kayak gini waktu kita lagi
diculik.” Ujar Sivia.
Shilla
terlihat melunak sedikit, dan akhirnya dia berkata, “maaf…”
“Santai
aja.” Balas Sivia, tersenyum, walau ada sedikit sedih di matanya.
“Fyuuuhhh…
gue kira kalian bakalan berantem.” Kata Ify.
“Eh
iya, denger kata lo, Siv, gue jadi baru inget kita lagi diculik, orang dari
tadi kita ngegosip.” Kata Oik.
“Iya
ya, ngomongin cowok lagi.” Tambah Ify.
“Eh
iya dari pada ga ngapa-ngapain, mending kita liat-liat tempat ini yuk.” Usul
Sivia, sambil mengedarkan pandangannya di ruangan seperti gua bawah tanah
berpenerangan redup itu.
“Ah,
males gue, lo mah emang ga bias diem.” kata Oik malas.
“Ah…
ayo dong Oik… kan siapa tau kita nemuin sesuatu yang lucu.” Paksa Sivia.
“Ogah
ah.” Balas Oik lagi.
Shilla terdiam memperhatikan
Sivia dan Oik yang masih terus berdebat soal berkeliling tempat itu.
“Kenapa,
Shill ?” tanya Ify yang menyadari Shilla yang diam saja.
“Gapapa,
orang bumi itu hebat ya.” Katanya pelan.
***
“Itu…”
gumam Rio saat rombongan itu memasuki sebuah ruangan dan dia melihat seorang
wanita cantik tengah berdiri dengan raut yang menunjukkan keterkejutan yang
besar.
“Itu
bunda…” Cakka menjawab pertanyaan yang masih ada dalam pikiran Rio.
“Zahra…
lihat siapa yang datang….” Sion berjalan lebih dulu menghampiri wanita yang
dipanggilnya dengan nama Zahra.
Zahra
hanya menanggapi ucapan Sion dengan pandangan kagetnya dan senyum kecil,
setelah itu dia berpaling kearah rombongan dan berlari menujunya, “jadi kamu…”
ucapnya saat tiba di hadapan Rio.
Rio
menatap wanita cantik di hadapannya dengan sangat canggung. Dia benar-benar
belum mempersiapkan kata-kata atau apa yang harus dia lakukan jika saat bertemu
bundanya tiba, dia baru saja membuka mulutnya untuk mengatakan hai, ketika
Zahra sudah mendekapnya erat.
Rio
sempat kaget dengan pelukan dari Zahra, awalnya dia bingung harus bersikap
bagaimana, namun perlahan, dia merasakan sesuatu di dadanya yang mendorongnya
untuk membalas pelukan Zahra.
“Kamu
sudah besar… benar-benar sudah besar… bunda senang sekali kamu selamat…”
bisikan Zahra terdengar di telinga Rio.
Rio
masih diam, terus diam, tidak menemukan kata-kata untuk membalas perkataan
Zahra, dia hanya berusaha menyampaikan apa yang dia rasa lewat pelukannya.
Zahra
melepas pelukannya dan ganti memandang wajah Rio dengan seksama, “mirip sekali
dengan ayahmu.” Katanya dengan sebuah senyum perih.
“Um…
bun… bunda orang ketiga yang bilang gitu.” Balas Rio, yang sedetik kemudian
menyumpah dalam hati tentang betapa tidak pentingnya kalimat itu.
Zahra
terlihat seperti ingin tertawa dan kembali berkata, “bahkan sifat kalian
mirip.” Setelah itu dia diam, kembali memandang wajah Rio, kali ini dengan
tatapan yang lebih dalam, seolah ingin menghafal setiap detail wajah itu,
“bunda sudah melewatkan semua perkembangan kamu. Kamu sudah jauh berubah dari
apa yang bunda ingat, beritahu bunda, bagaimana bunda bisa mengganti
waktu-waktu itu ?” tambahnya lagi.
“Yang
jelas, akan ada banyak waktu untuk mengenal Rio nanti, Zah.” Sion tiba-tiba
berbicara, membuat Zahra berpaling dari Rio dengan sangat enggan.
“Jadi
namanya Rio.” Kata Zahra.
“Maaf
saya lancang memberi nama, saya hanya ingin memberinya nama yang mirip dengan
ayahnya.” Bu Ira tiba-tiba berseru.
Zahra
berganti memandang Bu Ira, wajahnya berubah senang dipenuhi air mata, dan dia
memeluk Bu Ira, “Ibu… kenapa seperti itu… ibu itu sudah Zahra anggap sebagai
ibu Zahra sendiri… tentu ibu tidak perlu minta maaf karena memberi nama Rio.” Katanya.
“Terima
kasih sekali, Zahra… kamu tidak berubah sedikitpun dari yang ibu ingat.” balas
Bu Ira dalam pelukannya dengan Zahra.
Zahra
melepas pelukannya dari Bu Ira dan berkata, “begitu juga ibu.”
“Zahra…
ada berita penting yang dibawa anak-anakmu.” Sela Sion.
Zahra
kembali memandang Sion dengan enggan, “berita apa ? bukannya semua berjalan
sesuai rencana ? mereka membawa Rio dan akan segera mulai menyusun rencana
untuk menyerang Dayat ? sejauh yang kulihat semua itu berhasil.” Katanya.
“Ah…
mereka memang belum bilang apapun juga padaku, tapi coba lihat wajah mereka,
kau pasti bisa melihatnya.” Kata Sion lagi.
Zahra
kembali memandang wajah Rio, lalu beralih ke Gabriel, Alvin, dan Cakka,
“katakan, ada apa ?” tanyanya.
“Dayat
menculik teman-teman kami.” Jawab Gabriel datar.
Zahra
menghela nafasnya pelan, “lalu ?” tanyanya.
Rio
tersentak saat mendengar balasan Zahra. Dia merasa ada nada tidak peduli dalam
kalimat itu. Dari dalam pikirannya, tidak bukan hanya pikirannya, tapi juga
hatinya, dia bisa merasakan kesedihan yang dialami tiga saudaranya.
“Lalu
?” akhirnya karena tidak ada juga yang menyuarakan kegelisahan mereka, Rio
mengungkapkannya.
Semua
yang ada di ruangan itu tersentak melihat Rio.
“Ya
jelas kita harus nyelametin mereka.” Tambah Rio, heran melihat semua yang
memandangnya keheranan.
Zahra
membulatkan matanya menatap Rio, “kamu ga ngerti. Ada tugas lain yang harus
kamu lakukan, kamu harus mempersiapkan penyerangan terhadap Dayat.” Katanya.
“Yaudah,
kenapa ga sekalian nyelametin mereka sekarang.” Kata Rio lagi, tidak habis
pikir.
“Masalahnya
adalah Dayat sengaja menculik orang-orang yang kalian sayangi, agar kalian
terpancing supaya buru-buru ke sana, menggunakan orang-orang itu untuk membuat
kalian tidak bisa melawan.” Kata Zahra, matanya menyipit.
“Kalaupun
memang begitu, kenapa ? bunda ga bermaksud bilang mereka lebih baik dibiarkan
aja kan ?” kata Rio lagi.
“Bunda
ga bilang begitu, maksud bunda, biarkan semua berjalan sesuai rencana, ga usah
buru-buru. Kalau saat itu…”
“Kalau
saat itu mereka udah meninggal ?” potong Rio.
“Tidak
ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka bukan siapa-siapa untuk Fararefia.” Kata
Zahra dingin.
“Bukan
siapa-siapa untuk Fararefia ? tapi mereka adalah orang yang penting untukku.”
Kata Rio hampir emosi.
“Kamu
ga ngerti.” Potong Zahra keras. “Inilah cara Dayat. Dia akan memancing kalian
ke tempatnya, menggunakan mereka untuk membuat kalian tidak bisa melawannya,
lalu… lalu… lalu kalian akan dibunuhnya… seperti yang dia lakukan pada ayah
kalian.” Tambahnya histeris.
Rio
kembali tersentak, hening lagi selama beberapa saat. Di tengah keheningan itu
dari dalam pikirannya terdengar suara Cakka, ‘bunda memang begitu, dia trauma
sejak saat itu.’
Ruangan
itu masih hening, tidak ada yang berani mengeluarkan satu suku katapun. Hingga
akhirnya Rio membuka kembali mulutnya dan berkata, “maaf soal itu, Rio ga tau.”
“Pikirkan
baik-baik, mulailah susun rencana.” Kata Zahra dengan nada suara yang sudah
lebih baik, setelah itu, dia memandang Rio dengan pandangan memohon, lalu
berjalan keluar ruangan.
***
Rio
duduk di salah satu kursi empuk yang mengitari meja itu, di mana kursi-kursi
yang lain sudah terisi oleh Sion, Ray, Gabriel, Alvin, dan Cakka.
“Jadi,
bagaimana tanggapan kamu Rio ?” Tanya Sion, membuka rapat itu.
“Ga
tau. Yang jelas Rio tetep mau nyelametin mereka.” Jawab Rio.
Sion
menghela nafasnya, “dengar Rio. Jangan berfikir Zahra adalah orang yang jahat,
dia orang baik, sangat baik.” Katanya.
“Aku
baru tau kalau ada orang baik yang bisa ga peduli sama nyawa orang lain.” Kata
Rio dingin.
Lagi-lagi
Sion menghela nafas, “kamu juga harus mengerti posisi Zahra, dia hanya tidak
mau kehilangan orang lain, dia sudah terlalu sakit kehilangan ayah kalian.”
Katanya lagi.
“Ceritakan
tentang kejadian sebenarnya, om, kita juga belum pernah denger, cuma tahu
sedikit.” Kata Gabriel.
“Ini
terjadi sudah lama sekali, ketika kalian masih kecil, kira-kira 1 tahun, saat
itu adalah saat paling membahagiakan untuk Fararefia, tidak ada masalah. Sampai
ketika Zahra menghilang, dia diculik oleh Dayat, Dayat meninggalkan pesan agar
ayah kalian ke tempatnya untuk menyelamatkan bunda kalian.” Kata Sion mulai
bercerita.
“Riko
yang sangat mencintai Zahra, tanpa berpikir panjang, segera pergi ke tempat
Dayat, ditemani om tentunya, tapi setibanya kami di sana, Dayat memulai
aksinya, dia meminta ayah kalian menyerahkan tahta, dia memaksa dengan
menjadikan nyawa Zahra sebagai taruhannya. Saat itu benar-benar buruk, namuan
ayah kalian tetap tidak ingin menyerahkan tahta, karena dia tahu Dayat akan
menggunakannya untuk hal buruk. Dia akhirnya menantang Dayat untuk bertarung
satu lawan satu, selama beberapa saat ayah kalian hampir menang, tapi Dayat
berbuat curang, dia mendorong ibu kalian ke jurang, Riko menyelamatkannya dan
meninggalkan pertarungan, Zahra selamat, tapi Riko…” perkataan Sion terputus,
dia tahu orang-orang di ruangan itu sudah tahu kelanjutannya.
“Dayat
mengira kekuatan Riko akan berpindah padanya, sehingga dia membiarkan aku dan
Zahra pergi dari tempat itu, tapi ternyata kalianlah yang mendapatkan kekuatan
itu. Aku dan Zahra menyusun rencana untuk menyelamatkan kalian dari kejaran
Dayat, waktu itu empat dayang yang paling dekat dan setia bersedia pergi ke
bumi yang berbahaya bagi mereka untuk menyelamatkan kalian, salah satunya
adalah Bu Ira, orang yang sudah Zahra anggap sebagai ibunya sendiri. Kisah
selanjutnya, tentunya kalian sudah tahu.” Sambung Sion.
“Hanya
saja, sejak saat itu, Zahra menjadi sangat trauma terhadap Dayat dan terornya,
dia tidak pernah membiarkan putra-putranya menghadapi Dayat sebelum mereka
siap, itulah sebabnya…”
“Itulah
sebabnya kenapa aku tidak boleh menyelamatkan Shilla.” Potong Gabriel dengan
nada sedih.
Semua
yang ada di ruangan itu menatap Gabriel dengan nafas terhenti, baru kali ini
Gabriel menyebutkan nama itu.
“Maaf,
tapi Shilla siapa ?” Tanya Rio, tidak sanggup lagi membendung rasa ingin
tahunya.
Ray
sudah membuka mulutnya saat Gabriel memberi isyarat untuk diam, “biar gue yang
ngomong.” Katanya.
“Shilla
itu gadis yang sangat istimewa. Dia cantik, pintar, lugu, dan dia punya
kemampuan meramal yang handal.” Kata Gabriel. “Dia awalnya tinggal di
perkampungan biasa, hingga suatu ketika Alvin menemukannya dan melihat
bakatnya, Shilla akhirnya direkrut untuk bekerja di istana. Bersama dengan Ray,
yang juga ga kalah pintar, mereka membuat macam-macam penemuan, seperti ramuan
untuk bertahan hidup di bumi dan mengerti berbagai bahasa. Mereka juga membuat
rencana penyerangan Dayat bersama-sama, bahkan Shilla juga meramalkan beberapa
hal dan memberitahu hal apa yang harus kami lakukan untuk melawan Dayat, dialah
yang menyuruh kami untuk mencarimu sesegera mungkin dan dia juga yang
mengusahakannya.” Tambahnya.
“Ehem…”
Ray mengeluarkan suara batuk yang dibuat-buat.
“Iya…
Shilla dengan Ray.” Tambah Gabriel.
“Pengen
banget disebut lo.” Bisik Cakka pada Ray.
“Gue
cinta sama Shilla, sangat cinta, walaupun Shilla ga cinta sama gue dan lebih
memilih cowok lain yang ternyata adik gue sendiri, orang yang pertama kali
menemukan dia, menolongnya, dan membawanya ke istana.” Kata Gabriel lagi.
Rio
langsung melirik kearah Alvin yang raut wajahnya sudah tidak bisa ditebak,
sangat jelas dialah yang dimaksud Gabriel.
“Rupanya
Dayat menyadari kalau gue cinta Shilla, dia pakai taktik lama, dia culik
Shilla, berharap gue dateng dan nyelametin dia.” Lanjut Gabriel, “tapi bunda ga
ngizinin gue. Gue ngerasa sangat bersalah sama Shilla, gara-gara gue dia jadi
harus diculik dan ikut-ikutan ngerasain penderitaan.” Tambahnya dengan nada
sedih seraya menundukkan kepalanya.
“Tapi
lo mau nyelametin dia kan, Gab ?” Tanya Rio setelah beberapa saat.
Gabriel
mendongak menatap Rio, “tentu mau, tapi gue sadar yang dibilang bunda ada
benernya, gue ga bisa gegabah langsung ke sana tanpa punya rencana yang
matang.” Katanya.
“Yaudah
ayo bikin rencananya.” Kata Rio simple.
“Lo
kira gampang bikin rencana. Kita harus tahu kekuatan-kekuatan Dayat dan
kelemahannya, kita juga harus belajar dari pengalaman tentang orang-orang yang
Dayat tahan. Kita ga boleh kalah, kalau waktu itu Om Riko meninggal,
kekuatannya terbagi dalam diri kalian, kali ini, jika kalian yang meninggal,
entah kekuatan itu akan menghilang atau bagaimana, maksudnya… kalian tentunya
belum punya keturunan.” Kata Ray.
Rio
terdiam dan sibuk berfikir, “kenapa sih kalian ini, katanya bangsa yang
berperasaan, atau mungkin saking berperasaannya kalian sampe ga berani ngambil
resiko ? kalau mau nyerang Dayat, ya ayo lakukan, kalau butuh rencana ayo
segera buat, lebih mudah mengerjakan dari pada cuma memikirkan.” Katanya.
Lagi-lagi
ruangan itu hening sejenak, semua menatap Rio dengan pandangan campur aduk.
“Bener
yang dibilang Rio, daripada cuma mikir kalau nyerang Dayat itu susah, mending
kita langsung kerja sekarang. Kita buktiin kalau kita bisa siap dengan waktu
sedikit, supaya bunda juga yakin kita bisa, dan temen-temen kita bisa selamet.”
Kata Cakka.
“Gue
setuju.” Kata Alvin.
“Gue
juga.” Sahut Ray bersemangat.
‘Lo
hebat, Yo.’ Terdengar suara Gabriel dari dalam pikiran Rio.
Sion cuma tersenyum menatap Rio
dan berkata, “kamu mirip sekali dengan ayahmu. Baiklah ayo segera mulai. Kita
cuma punya sedikit waktu buat ngalahin Dayat sekaligus nyelametin temen-temen
kalian. Dan jangan kaget kalau rencana ini akan membuat kalian sedikit kelelahan.”
***
Sudah
kira-kira tiga hari ini Rio merasakan hidupnya sangat sibuk. Jauh lebih sibuk
dari ketika persiapan UN SMPnya dulu, jauh lebih sibuk dari saat dia mendaftar
ke SMAnya dulu. Dua hari ini dia sibuk dengan berbagai macam pelajaran yang diterimanya,
dia harus belajar teori-teori dan hal-hal di Fararefia dan segala macamnya.
“Ini
kayak waktu kita belajar tentang hal-hal di bumi, kayak gedung dan bangunan di
bumi.” Terang Cakka waktu Rio sedang mengenali berbagai jenis binatang dan
tumbuhan di Fararefia.
Rio
sempat frustasi akan proses belajarnya ini, dia sempat bertanya pada Ray apakah
tidak ada ramuan yang bisa membuatnya langsung mengerti segala hal di
Fararefia, seperti ramuan yang membuat tiga saudaranya mengerti tentang twitter
dan handphone di bumi. Sayangnya Ray belum membuat ramuan itu, katanya dia
tidak menyangka akan ada orang bumi yang perlu belajar tentang Fararefia.
Selain
itu Rio juga mulai belajar tentang rencana penyadapan markas Dayat di lembah
tiga naga. Dia sempat mendengar Alvin dan Gabriel bicara pada Sion kemarin.
“Yah…
menurut ikan-ikan itu di sana memang ada sungai, hanya saja kondisinya buruk,
sungai di sana dibatasi oleh kekuatan sihir Dayat sehingga ikan-ikan tidak bisa
masuk ke sana dan melihat keadaan di dalamnya, yang mereka bisa lihat, ada dua
penjaga di dekat sungai itu.” Kata Alvin waktu itu.
“Menurut
pohon-pohon, mereka melihat dari ujung daun tertinggi, di sana memang terdapat
sungai, ada pohon-pohon, tapi sedikit. Menurut hewan-hewan tanah, mereka biasanya
bisa masuk ke sana lewat bawah tanah, hanya saja, pengawal ada di mana-mana,
mereka belum menemukan tempat keluar dari tanah yang cocok tanpa ketahuan
pengawal.” Kata Gabriel.
“Hem…
berarti tinggal tunggu pantauan Cakka dari anginnya.” Kata Sion kala itu.
Rio
juga harus belajar untuk mengendalikan kekuatan pengendalian apinya. Dia
dilatih oleh Sion dan tiga saudaranya. Ini adalah pelajaran paling melelahkan
untuknya sekaligus paling menyita waktunya. Seperti saat ini, dia sedang duduk
di pinggir lapangan yang digunakan untuk berlatih. Dia baru saja disuruh
beristirahat, sementara Sion mulai melatih Alvin.
“Kalian
sepertinya berusaha keras ya.” Tegur seseorang dari belakangnya.
Rio
menoleh dan tersenyum senang saat menyadari itu adalah Bu Ira, “mama… duduk
ma.” Katanya.
Bu
Ira duduk di sebelah Rio dan menyodorkan segelas minuman, “jangan panggil mama,
panggil Bu Ira aja.” Katanya.
Rio
yang sedang meneguk minumannya berhenti dan menatap Bu Ira heran, “kenapa mama
bilang gitu ?” katanya.
“Ibu
ga enak, kan sekarang kamu sudah tau ibu kandung kamu, rasanya gap antes aja
kamu manggil ibu mama.” Kata Bu Ira.
Rio
menatap Bu Ira lama, “jangan begitu.” Katanya sedih.
Bu
Ira terkejut mendengar nada suara Rio.
“Mama
satu-satunya orang yang paling deket sama Rio sekarang. Walaupun Rio udah
ketemu sama bunda, tapi tetep aja yang selama ini ngabisin waktu sama Rio itu
mama, dan fakta itu ga akan berubah.” Kata Rio.
Bu
Ira terdiam, dan perlahan matanya berkaca-kaca, sedetik kemudian dia sudah
menarik Rio dalam dekapannya, “mama sayang kamu.” Bisiknya.
“Rio
juga.” Balas Rio.
“Ehem…”
suara batuk yang dibuat-buat mengharuskan acara peluk-pelukkan itu terhenti,
membuat Rio dan Bu Ira mendongak.
“Eh
Zahra… maaf, tadi ibu mau nganterin minum doang ke Rio.” Kata Bu Ira seraya
berdiri.
“Ehm…
gapapa kok, bu, Zahra juga setuju sama Rio, ibu tetep mamanya Rio.” Kata Zahra
sambil tersenyum. “Cuma Zahra ada perlu sebentar sama Rio, bisa ibu biarin kita
berdua ?” tambahnya.
Bu
Ira tersenyum senang dan berkata, “ya, tentu aja.” Sebelum pergi dari sana.
Zahra
duduk di sebelah Rio, menatap putranya itu dengan penuh kerinduan, “kamu
bener-bener cinta sama gadis itu ya, sampai-sampai kata-kata bunda ga kamu
denger.” Katanya.
“Rio
bukannya ga dengerin kata-kata bunda, Rio dengerin kok. Bunda ga ngelarang Rio
nyerang Dayat kalau Rio belum siap kan ? dan itu Rio lakuin, Rio belum nyerang
Dayat karena Rio belum siap, tapi Rio berusaha untuk siap secepatnya dan
nyerang Dayat secepatnya.” Kata Rio.
“Tapi
kamu yakin bisa siap dengan waktu sedikit ? Dayat itu bukan orang biasa.” Kata
Zahra memperingatkan.
“Ga
ada yang ga mungkin, Rio yakin Rio bisa, lagian Rio ga mau Ify kelamaan di
tempat Dayat.” Kata Rio lagi.
“Tapi
apa kamu mau Ify merasakan kehilangan seperti yang bunda rasakan ?” Tanya
Zahra.
“Nggak
mau lah, bun, tapi Rio juga ga mau nyesel ga ngelakuin sesuatu buat nyelametin
dia.” Kata Rio.
“Coba
kamu mengerti posisi bunda…”
“Bun…”
potong Rio lembut, “Rio pasti selamet, begitu juga yang lain, kita semua sayang
sama bunda, kita ga akan biarin bunda ngerasa kehilangan lagi, kita tau kok
kita siap atau nggak, dan kalau kita belum siap, kita ga akan nyerang Dayat.”
Ucapnya menjelaskan.
“Coba
bunda mengerti posisi ayah saat itu... gimana perasaan ayah kalau seandainya
ayah ga pernah nyoba buat nyelametin bunda ?” kata Rio lagi.
Zahra
tersenyum, “kamu memang mirip ayahmu, selalu berhasil membujuk bunda. Dan gadis
itu, siapa tadi namanya ? Ify ? dia beruntung sekali dicintai olehmu.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar