Sabtu, 30 Juni 2012

FARAREFIA part 12


12

                “Jadi gitu ceritanya…” gumam Oik sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
                Sivia yang beberapa detik lalu masih terlihat shock, melempar pandang heran pada Oik, “lo ga kaget apa, Ik ?” tanyanya.
                “Kaget, sih, tapi… masa mau bengong terus, udah lama tau kita bengong.” Jawab Oik.
                Shilla yang sejak tadi juga bengong, segera sadar oleh perkataan Oik dan menatap Ify yang sejak tadi masih diam, tapi dilihatnya gadis itu mengeluarkan air dari matanya, “lho ? Ify ? lo kenapa ?” tanyanya kaget.
                Mendengar pertanyaan Shilla, Sivia dan Oik segera melihat kakak kelas mereka itu, dan ikut terkejut.
                “Gapapa, nggak, maksud gue… bukan… uhm… yah… udah ga usah dibahas.” Kata Ify menyunggingkan sebuah senyum terpaksa yang tidak bisa mengalahkan raut menangisnya.
                “Kak Ify… cerita dong sama kita, kita harus saling bantu.” Bujuk Oik, mengusap punggung Ify.
                Ify sempat diam sebentar sebelum akhirnya dia berkata, “bukan hal penting. Gue cuma khawatir sama Rio, dia sempet bilang mau pergi, dia bilang mau ngelakuin hal penting buat orang banyak, terus gue rasa ya hal yang dia maksud itu ngalahin Dayat, tapi setelah denger ceritanya, gue jadi khawatir, gue takut dia kenapa-kenapa.” Ungkap Ify, tampak hampir menangis lagi di ujung kalimatnya.
                Mendengar ucapan Ify, Sivia tersentak kaget, “kalau gitu Kak Gabriel juga dong…” bisiknya.
                “Tunggu… tunggu…” sela Shilla dengan nada seolah mendapat pencerahan, membuat yang lain menatapnya dengan pandangan ingin tahu.
                Shilla kembali membuka mulutnya dan berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Ify, Oik, maupun Sivia.
                Shilla yang melihat raut kebingungan tiga orang di depannya segera paham dan mengeluarkan sebuat botol kecil dari kantung rok panjangnya. Lalu menyodorkan botol itu pada Ify, Oik, dan Sivia.
                “Kita… minum… ?” Tanya Oik, memeragakan gerakan minum.
                Shilla mengangguk-angguk senang.
                Setelah saling berpandangan, Sivia, Oik, dan Ify pun meminum masing-masing sedikit cairan dari botol itu.
                “Ini apaan, sih ?” Tanya Oik entah pada siapa.
                “Itu ramuan buatan gue sama Ray, kita bikin itu udah lama banget, ramuan itu udah sempurna waktu gue diculik.” Tiba-tiba saja perkataan Shilla sudah bisa dimengerti oleh Ify, Oik, dan Sivia.
                “Jadi ramuan ini buat apa ?” Tanya Sivia.
                “Supaya kalian bisa ngerti bahasa di Fararefia.” Jawab Shilla.
                Sivia memilih mengabaikan pertanyaan lain tentang ramuan, dia segera berkata, “tadi lo mau ngomong apa ?”
                Shilla seperti ingat sesuatu, dia berkata, “Oh iya, untung inget… gue mau tanya, kalian ada hubungan apa sama 4 pangeran itu ?” tanyanya.
                Ify menjawab dengan suara kecil, “yah… masih pdkt, sih.”
                Oik berfikir sebentar, “ga ada, gue ga begitu kenal, paling cuma kadang ngobrol sama Kak Cakka kalau pas ketemu.”
                Sivia juga berfikir sebentar sebelum menjawab lesu, “gue naksir sama Kak Gabriel, tapi belum pernah ngobrol sama dia.” Dia segera menambahkan, “malah sama Kak Alvin yang lebih sering ketemu.”
                “Apa ? lo deket sama Alvin ?” tanya Shilla kaget.
                Sivia tak kalah kaget dengan tanggapan Shilla atas ucapannya, tapi segera menjawab, “yah… ga deket banget, gue cuma minta tolong dia supaya bisa deket sama Kak Gabriel.”
                Shilla terdiam.
                “Terus jadinya lo tadi mau ngomong apa ?” tanya Oik.
                “Oh iya, mungkin nih ya, mungkin… Dayat nyulik kalian karena para pangeran itu suka sama kalian.” Jawab Shilla.
                Entah untuk yang keberapa kalinya, Ify, Oik, dan Sivia terkaget-kaget.
                “Jadi, Dayat berpikir mungkin pangeran itu bakal nyelametin kalian.” Tambah Shilla.
                “Tunggu…” sela Sivia. “Yang suka sama Kak Ify jelas Kak Rio, tapi siapa yang suka sama gue dan Oik ?” tanyanya.
                “Kalau Oik, mungkin Cakka, karena tadi dia bilang dia sering ngobrol sama Cakka.” Jawab Shilla menyuarakan pendapatnya dan memandang Sivia dengan pandangan yang berbeda dari yang tadi.
                Oik kembali terkaget, “apa ? Kak Cakka ?” gumamnya.
                “Jadi… ada kemungkinan Kak Gabriel yang suka sama gue ?” tanya Sivia senang.
                Sekarang jelas maksud pandangan Shilla pada Sivia, dia berkata, “lo tuh ga sabaran ya.”
                Sivia mengabaikan komentar Shilla dan menatap Shilla meminta jawabannya.
                “Ga mungkin Gabriel suka sama lo…” jawab Shilla menggantung, “karena dia suka sama gue…” tambahnya.
                Jawaban Shilla membuat Sivia seperti habis dihantam buldoser, “tapi… tapi… berarti…”
                Tapi rupanya kalimat Shilla belum selesai, dia melanjutkan, “tapi gue ga suka sama dia, gue suka sama Alvin….” Dan dia kembali berkata, sambil mengalihkan pandangannya dari Sivia, “tapi kalau gitu, berarti Alvin yang suka sama lo.”
                Sivia menganga, dia menatap Oik dan Ify dengan pandangan tidak percaya.
                “Shill…” panggil Ify, setelah beberapa saat Shilla diam.
                Shilla tetap diam.
                “Lo ga marah, kan ?” tanya Ify lagi.
                “Lo tanya gue ga marah ?” ucap Shilla datar dengan sedikit emosi di sana.
                “Jadi lo marah ?” sela Sivia, menatap Shilla tajam.
                Shilla diam saja, tidak menjawab atau melakukan isyarat apapun untuk menanggapi pertanyaan Sivia.
                “Lebay lo. Jelas-jelas gue juga di posisi yang sama kayak lo.” Balas Sivia tenang.
                Shilla tetap memandang Sivia kesal.
                “Gini deh ya, buka salah gue kalau Kak Alvin suka sama gue, dan bukan salah lo Kak Gabriel suka sama lo, dan ga penting ngomongin hal kayak gini waktu kita lagi diculik.” Ujar Sivia.
                Shilla terlihat melunak sedikit, dan akhirnya dia berkata, “maaf…”
                “Santai aja.” Balas Sivia, tersenyum, walau ada sedikit sedih di matanya.
                “Fyuuuhhh… gue kira kalian bakalan berantem.” Kata Ify.
                “Eh iya, denger kata lo, Siv, gue jadi baru inget kita lagi diculik, orang dari tadi kita ngegosip.” Kata Oik.
                “Iya ya, ngomongin cowok lagi.” Tambah Ify.
                “Eh iya dari pada ga ngapa-ngapain, mending kita liat-liat tempat ini yuk.” Usul Sivia, sambil mengedarkan pandangannya di ruangan seperti gua bawah tanah berpenerangan redup itu.
                “Ah, males gue, lo mah emang ga bias diem.” kata Oik malas.
                “Ah… ayo dong Oik… kan siapa tau kita nemuin sesuatu yang lucu.” Paksa Sivia.
                “Ogah ah.” Balas Oik lagi.
Shilla terdiam memperhatikan Sivia dan Oik yang masih terus berdebat soal berkeliling tempat itu.
                “Kenapa, Shill ?” tanya Ify yang menyadari Shilla yang diam saja.
                “Gapapa, orang bumi itu hebat ya.” Katanya pelan.

***

                “Itu…” gumam Rio saat rombongan itu memasuki sebuah ruangan dan dia melihat seorang wanita cantik tengah berdiri dengan raut yang menunjukkan keterkejutan yang besar.
                “Itu bunda…” Cakka menjawab pertanyaan yang masih ada dalam pikiran Rio.
                “Zahra… lihat siapa yang datang….” Sion berjalan lebih dulu menghampiri wanita yang dipanggilnya dengan nama Zahra.
                Zahra hanya menanggapi ucapan Sion dengan pandangan kagetnya dan senyum kecil, setelah itu dia berpaling kearah rombongan dan berlari menujunya, “jadi kamu…” ucapnya saat tiba di hadapan Rio.
                Rio menatap wanita cantik di hadapannya dengan sangat canggung. Dia benar-benar belum mempersiapkan kata-kata atau apa yang harus dia lakukan jika saat bertemu bundanya tiba, dia baru saja membuka mulutnya untuk mengatakan hai, ketika Zahra sudah mendekapnya erat.
                Rio sempat kaget dengan pelukan dari Zahra, awalnya dia bingung harus bersikap bagaimana, namun perlahan, dia merasakan sesuatu di dadanya yang mendorongnya untuk membalas pelukan Zahra.
                “Kamu sudah besar… benar-benar sudah besar… bunda senang sekali kamu selamat…” bisikan Zahra terdengar di telinga Rio.
                Rio masih diam, terus diam, tidak menemukan kata-kata untuk membalas perkataan Zahra, dia hanya berusaha menyampaikan apa yang dia rasa lewat pelukannya.
                Zahra melepas pelukannya dan ganti memandang wajah Rio dengan seksama, “mirip sekali dengan ayahmu.” Katanya dengan sebuah senyum perih.
                “Um… bun… bunda orang ketiga yang bilang gitu.” Balas Rio, yang sedetik kemudian menyumpah dalam hati tentang betapa tidak pentingnya kalimat itu.
                Zahra terlihat seperti ingin tertawa dan kembali berkata, “bahkan sifat kalian mirip.” Setelah itu dia diam, kembali memandang wajah Rio, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam, seolah ingin menghafal setiap detail wajah itu, “bunda sudah melewatkan semua perkembangan kamu. Kamu sudah jauh berubah dari apa yang bunda ingat, beritahu bunda, bagaimana bunda bisa mengganti waktu-waktu itu ?” tambahnya lagi.
                “Yang jelas, akan ada banyak waktu untuk mengenal Rio nanti, Zah.” Sion tiba-tiba berbicara, membuat Zahra berpaling dari Rio dengan sangat enggan.
                “Jadi namanya Rio.” Kata Zahra.
                “Maaf saya lancang memberi nama, saya hanya ingin memberinya nama yang mirip dengan ayahnya.” Bu Ira tiba-tiba berseru.
                Zahra berganti memandang Bu Ira, wajahnya berubah senang dipenuhi air mata, dan dia memeluk Bu Ira, “Ibu… kenapa seperti itu… ibu itu sudah Zahra anggap sebagai ibu Zahra sendiri… tentu ibu tidak perlu minta maaf karena memberi nama Rio.” Katanya.
                “Terima kasih sekali, Zahra… kamu tidak berubah sedikitpun dari yang ibu ingat.” balas Bu Ira dalam pelukannya dengan Zahra.
                Zahra melepas pelukannya dari Bu Ira dan berkata, “begitu juga ibu.”
                “Zahra… ada berita penting yang dibawa anak-anakmu.” Sela Sion.
                Zahra kembali memandang Sion dengan enggan, “berita apa ? bukannya semua berjalan sesuai rencana ? mereka membawa Rio dan akan segera mulai menyusun rencana untuk menyerang Dayat ? sejauh yang kulihat semua itu berhasil.” Katanya.
                “Ah… mereka memang belum bilang apapun juga padaku, tapi coba lihat wajah mereka, kau pasti bisa melihatnya.” Kata Sion lagi.
                Zahra kembali memandang wajah Rio, lalu beralih ke Gabriel, Alvin, dan Cakka, “katakan, ada apa ?” tanyanya.
                “Dayat menculik teman-teman kami.” Jawab Gabriel datar.
                Zahra menghela nafasnya pelan, “lalu ?” tanyanya.
                Rio tersentak saat mendengar balasan Zahra. Dia merasa ada nada tidak peduli dalam kalimat itu. Dari dalam pikirannya, tidak bukan hanya pikirannya, tapi juga hatinya, dia bisa merasakan kesedihan yang dialami tiga saudaranya.
                “Lalu ?” akhirnya karena tidak ada juga yang menyuarakan kegelisahan mereka, Rio mengungkapkannya.
                Semua yang ada di ruangan itu tersentak melihat Rio.
                “Ya jelas kita harus nyelametin mereka.” Tambah Rio, heran melihat semua yang memandangnya keheranan.
                Zahra membulatkan matanya menatap Rio, “kamu ga ngerti. Ada tugas lain yang harus kamu lakukan, kamu harus mempersiapkan penyerangan terhadap Dayat.” Katanya.
                “Yaudah, kenapa ga sekalian nyelametin mereka sekarang.” Kata Rio lagi, tidak habis pikir.
                “Masalahnya adalah Dayat sengaja menculik orang-orang yang kalian sayangi, agar kalian terpancing supaya buru-buru ke sana, menggunakan orang-orang itu untuk membuat kalian tidak bisa melawan.” Kata Zahra, matanya menyipit.
                “Kalaupun memang begitu, kenapa ? bunda ga bermaksud bilang mereka lebih baik dibiarkan aja kan ?” kata Rio lagi.
                “Bunda ga bilang begitu, maksud bunda, biarkan semua berjalan sesuai rencana, ga usah buru-buru. Kalau saat itu…”
                “Kalau saat itu mereka udah meninggal ?” potong Rio.
                “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka bukan siapa-siapa untuk Fararefia.” Kata Zahra dingin.
                “Bukan siapa-siapa untuk Fararefia ? tapi mereka adalah orang yang penting untukku.” Kata Rio hampir emosi.
                “Kamu ga ngerti.” Potong Zahra keras. “Inilah cara Dayat. Dia akan memancing kalian ke tempatnya, menggunakan mereka untuk membuat kalian tidak bisa melawannya, lalu… lalu… lalu kalian akan dibunuhnya… seperti yang dia lakukan pada ayah kalian.” Tambahnya histeris.
                Rio kembali tersentak, hening lagi selama beberapa saat. Di tengah keheningan itu dari dalam pikirannya terdengar suara Cakka, ‘bunda memang begitu, dia trauma sejak saat itu.’
                Ruangan itu masih hening, tidak ada yang berani mengeluarkan satu suku katapun. Hingga akhirnya Rio membuka kembali mulutnya dan berkata, “maaf soal itu, Rio ga tau.”
                “Pikirkan baik-baik, mulailah susun rencana.” Kata Zahra dengan nada suara yang sudah lebih baik, setelah itu, dia memandang Rio dengan pandangan memohon, lalu berjalan keluar ruangan.

***

                Rio duduk di salah satu kursi empuk yang mengitari meja itu, di mana kursi-kursi yang lain sudah terisi oleh Sion, Ray, Gabriel, Alvin, dan Cakka.
                “Jadi, bagaimana tanggapan kamu Rio ?” Tanya Sion, membuka rapat itu.
                “Ga tau. Yang jelas Rio tetep mau nyelametin mereka.” Jawab Rio.
                Sion menghela nafasnya, “dengar Rio. Jangan berfikir Zahra adalah orang yang jahat, dia orang baik, sangat baik.” Katanya.
                “Aku baru tau kalau ada orang baik yang bisa ga peduli sama nyawa orang lain.” Kata Rio dingin.
                Lagi-lagi Sion menghela nafas, “kamu juga harus mengerti posisi Zahra, dia hanya tidak mau kehilangan orang lain, dia sudah terlalu sakit kehilangan ayah kalian.” Katanya lagi.
                “Ceritakan tentang kejadian sebenarnya, om, kita juga belum pernah denger, cuma tahu sedikit.” Kata Gabriel.
                “Ini terjadi sudah lama sekali, ketika kalian masih kecil, kira-kira 1 tahun, saat itu adalah saat paling membahagiakan untuk Fararefia, tidak ada masalah. Sampai ketika Zahra menghilang, dia diculik oleh Dayat, Dayat meninggalkan pesan agar ayah kalian ke tempatnya untuk menyelamatkan bunda kalian.” Kata Sion mulai bercerita.
                “Riko yang sangat mencintai Zahra, tanpa berpikir panjang, segera pergi ke tempat Dayat, ditemani om tentunya, tapi setibanya kami di sana, Dayat memulai aksinya, dia meminta ayah kalian menyerahkan tahta, dia memaksa dengan menjadikan nyawa Zahra sebagai taruhannya. Saat itu benar-benar buruk, namuan ayah kalian tetap tidak ingin menyerahkan tahta, karena dia tahu Dayat akan menggunakannya untuk hal buruk. Dia akhirnya menantang Dayat untuk bertarung satu lawan satu, selama beberapa saat ayah kalian hampir menang, tapi Dayat berbuat curang, dia mendorong ibu kalian ke jurang, Riko menyelamatkannya dan meninggalkan pertarungan, Zahra selamat, tapi Riko…” perkataan Sion terputus, dia tahu orang-orang di ruangan itu sudah tahu kelanjutannya.
                “Dayat mengira kekuatan Riko akan berpindah padanya, sehingga dia membiarkan aku dan Zahra pergi dari tempat itu, tapi ternyata kalianlah yang mendapatkan kekuatan itu. Aku dan Zahra menyusun rencana untuk menyelamatkan kalian dari kejaran Dayat, waktu itu empat dayang yang paling dekat dan setia bersedia pergi ke bumi yang berbahaya bagi mereka untuk menyelamatkan kalian, salah satunya adalah Bu Ira, orang yang sudah Zahra anggap sebagai ibunya sendiri. Kisah selanjutnya, tentunya kalian sudah tahu.” Sambung Sion.
                “Hanya saja, sejak saat itu, Zahra menjadi sangat trauma terhadap Dayat dan terornya, dia tidak pernah membiarkan putra-putranya menghadapi Dayat sebelum mereka siap, itulah sebabnya…”
                “Itulah sebabnya kenapa aku tidak boleh menyelamatkan Shilla.” Potong Gabriel dengan nada sedih.
                Semua yang ada di ruangan itu menatap Gabriel dengan nafas terhenti, baru kali ini Gabriel menyebutkan nama itu.
                “Maaf, tapi Shilla siapa ?” Tanya Rio, tidak sanggup lagi membendung rasa ingin tahunya.
                Ray sudah membuka mulutnya saat Gabriel memberi isyarat untuk diam, “biar gue yang ngomong.” Katanya.
                “Shilla itu gadis yang sangat istimewa. Dia cantik, pintar, lugu, dan dia punya kemampuan meramal yang handal.” Kata Gabriel. “Dia awalnya tinggal di perkampungan biasa, hingga suatu ketika Alvin menemukannya dan melihat bakatnya, Shilla akhirnya direkrut untuk bekerja di istana. Bersama dengan Ray, yang juga ga kalah pintar, mereka membuat macam-macam penemuan, seperti ramuan untuk bertahan hidup di bumi dan mengerti berbagai bahasa. Mereka juga membuat rencana penyerangan Dayat bersama-sama, bahkan Shilla juga meramalkan beberapa hal dan memberitahu hal apa yang harus kami lakukan untuk melawan Dayat, dialah yang menyuruh kami untuk mencarimu sesegera mungkin dan dia juga yang mengusahakannya.” Tambahnya.
                “Ehem…” Ray mengeluarkan suara batuk yang dibuat-buat.
                “Iya… Shilla dengan Ray.” Tambah Gabriel.
                “Pengen banget disebut lo.” Bisik Cakka pada Ray.
                “Gue cinta sama Shilla, sangat cinta, walaupun Shilla ga cinta sama gue dan lebih memilih cowok lain yang ternyata adik gue sendiri, orang yang pertama kali menemukan dia, menolongnya, dan membawanya ke istana.” Kata Gabriel lagi.
                Rio langsung melirik kearah Alvin yang raut wajahnya sudah tidak bisa ditebak, sangat jelas dialah yang dimaksud Gabriel.
                “Rupanya Dayat menyadari kalau gue cinta Shilla, dia pakai taktik lama, dia culik Shilla, berharap gue dateng dan nyelametin dia.” Lanjut Gabriel, “tapi bunda ga ngizinin gue. Gue ngerasa sangat bersalah sama Shilla, gara-gara gue dia jadi harus diculik dan ikut-ikutan ngerasain penderitaan.” Tambahnya dengan nada sedih seraya menundukkan kepalanya.
                “Tapi lo mau nyelametin dia kan, Gab ?” Tanya Rio setelah beberapa saat.
                Gabriel mendongak menatap Rio, “tentu mau, tapi gue sadar yang dibilang bunda ada benernya, gue ga bisa gegabah langsung ke sana tanpa punya rencana yang matang.” Katanya.
                “Yaudah ayo bikin rencananya.” Kata Rio simple.
                “Lo kira gampang bikin rencana. Kita harus tahu kekuatan-kekuatan Dayat dan kelemahannya, kita juga harus belajar dari pengalaman tentang orang-orang yang Dayat tahan. Kita ga boleh kalah, kalau waktu itu Om Riko meninggal, kekuatannya terbagi dalam diri kalian, kali ini, jika kalian yang meninggal, entah kekuatan itu akan menghilang atau bagaimana, maksudnya… kalian tentunya belum punya keturunan.” Kata Ray.
                Rio terdiam dan sibuk berfikir, “kenapa sih kalian ini, katanya bangsa yang berperasaan, atau mungkin saking berperasaannya kalian sampe ga berani ngambil resiko ? kalau mau nyerang Dayat, ya ayo lakukan, kalau butuh rencana ayo segera buat, lebih mudah mengerjakan dari pada cuma memikirkan.” Katanya.
                Lagi-lagi ruangan itu hening sejenak, semua menatap Rio dengan pandangan campur aduk.
                “Bener yang dibilang Rio, daripada cuma mikir kalau nyerang Dayat itu susah, mending kita langsung kerja sekarang. Kita buktiin kalau kita bisa siap dengan waktu sedikit, supaya bunda juga yakin kita bisa, dan temen-temen kita bisa selamet.” Kata Cakka.
                “Gue setuju.” Kata Alvin.
                “Gue juga.” Sahut Ray bersemangat.
                ‘Lo hebat, Yo.’ Terdengar suara Gabriel dari dalam pikiran Rio.
Sion cuma tersenyum menatap Rio dan berkata, “kamu mirip sekali dengan ayahmu. Baiklah ayo segera mulai. Kita cuma punya sedikit waktu buat ngalahin Dayat sekaligus nyelametin temen-temen kalian. Dan jangan kaget kalau rencana ini akan membuat kalian sedikit kelelahan.”

***

                Sudah kira-kira tiga hari ini Rio merasakan hidupnya sangat sibuk. Jauh lebih sibuk dari ketika persiapan UN SMPnya dulu, jauh lebih sibuk dari saat dia mendaftar ke SMAnya dulu. Dua hari ini dia sibuk dengan berbagai macam pelajaran yang diterimanya, dia harus belajar teori-teori dan hal-hal di Fararefia dan segala macamnya.
                “Ini kayak waktu kita belajar tentang hal-hal di bumi, kayak gedung dan bangunan di bumi.” Terang Cakka waktu Rio sedang mengenali berbagai jenis binatang dan tumbuhan di Fararefia.
                Rio sempat frustasi akan proses belajarnya ini, dia sempat bertanya pada Ray apakah tidak ada ramuan yang bisa membuatnya langsung mengerti segala hal di Fararefia, seperti ramuan yang membuat tiga saudaranya mengerti tentang twitter dan handphone di bumi. Sayangnya Ray belum membuat ramuan itu, katanya dia tidak menyangka akan ada orang bumi yang perlu belajar tentang Fararefia.
                Selain itu Rio juga mulai belajar tentang rencana penyadapan markas Dayat di lembah tiga naga. Dia sempat mendengar Alvin dan Gabriel bicara pada Sion kemarin.
                “Yah… menurut ikan-ikan itu di sana memang ada sungai, hanya saja kondisinya buruk, sungai di sana dibatasi oleh kekuatan sihir Dayat sehingga ikan-ikan tidak bisa masuk ke sana dan melihat keadaan di dalamnya, yang mereka bisa lihat, ada dua penjaga di dekat sungai itu.” Kata Alvin waktu itu.
                “Menurut pohon-pohon, mereka melihat dari ujung daun tertinggi, di sana memang terdapat sungai, ada pohon-pohon, tapi sedikit. Menurut hewan-hewan tanah, mereka biasanya bisa masuk ke sana lewat bawah tanah, hanya saja, pengawal ada di mana-mana, mereka belum menemukan tempat keluar dari tanah yang cocok tanpa ketahuan pengawal.” Kata Gabriel.
                “Hem… berarti tinggal tunggu pantauan Cakka dari anginnya.” Kata Sion kala itu.
                Rio juga harus belajar untuk mengendalikan kekuatan pengendalian apinya. Dia dilatih oleh Sion dan tiga saudaranya. Ini adalah pelajaran paling melelahkan untuknya sekaligus paling menyita waktunya. Seperti saat ini, dia sedang duduk di pinggir lapangan yang digunakan untuk berlatih. Dia baru saja disuruh beristirahat, sementara Sion mulai melatih Alvin.
                “Kalian sepertinya berusaha keras ya.” Tegur seseorang dari belakangnya.
                Rio menoleh dan tersenyum senang saat menyadari itu adalah Bu Ira, “mama… duduk ma.” Katanya.
                Bu Ira duduk di sebelah Rio dan menyodorkan segelas minuman, “jangan panggil mama, panggil Bu Ira aja.” Katanya.
                Rio yang sedang meneguk minumannya berhenti dan menatap Bu Ira heran, “kenapa mama bilang gitu ?” katanya.
                “Ibu ga enak, kan sekarang kamu sudah tau ibu kandung kamu, rasanya gap antes aja kamu manggil ibu mama.” Kata Bu Ira.
                Rio menatap Bu Ira lama, “jangan begitu.” Katanya sedih.
                Bu Ira terkejut mendengar nada suara Rio.
                “Mama satu-satunya orang yang paling deket sama Rio sekarang. Walaupun Rio udah ketemu sama bunda, tapi tetep aja yang selama ini ngabisin waktu sama Rio itu mama, dan fakta itu ga akan berubah.” Kata Rio.
                Bu Ira terdiam, dan perlahan matanya berkaca-kaca, sedetik kemudian dia sudah menarik Rio dalam dekapannya, “mama sayang kamu.” Bisiknya.
                “Rio juga.” Balas Rio.
                “Ehem…” suara batuk yang dibuat-buat mengharuskan acara peluk-pelukkan itu terhenti, membuat Rio dan Bu Ira mendongak.
                “Eh Zahra… maaf, tadi ibu mau nganterin minum doang ke Rio.” Kata Bu Ira seraya berdiri.
                “Ehm… gapapa kok, bu, Zahra juga setuju sama Rio, ibu tetep mamanya Rio.” Kata Zahra sambil tersenyum. “Cuma Zahra ada perlu sebentar sama Rio, bisa ibu biarin kita berdua ?” tambahnya.
                Bu Ira tersenyum senang dan berkata, “ya, tentu aja.” Sebelum pergi dari sana.
                Zahra duduk di sebelah Rio, menatap putranya itu dengan penuh kerinduan, “kamu bener-bener cinta sama gadis itu ya, sampai-sampai kata-kata bunda ga kamu denger.” Katanya.
                “Rio bukannya ga dengerin kata-kata bunda, Rio dengerin kok. Bunda ga ngelarang Rio nyerang Dayat kalau Rio belum siap kan ? dan itu Rio lakuin, Rio belum nyerang Dayat karena Rio belum siap, tapi Rio berusaha untuk siap secepatnya dan nyerang Dayat secepatnya.” Kata Rio.
                “Tapi kamu yakin bisa siap dengan waktu sedikit ? Dayat itu bukan orang biasa.” Kata Zahra memperingatkan.
                “Ga ada yang ga mungkin, Rio yakin Rio bisa, lagian Rio ga mau Ify kelamaan di tempat Dayat.” Kata Rio lagi.
                “Tapi apa kamu mau Ify merasakan kehilangan seperti yang bunda rasakan ?” Tanya Zahra.
                “Nggak mau lah, bun, tapi Rio juga ga mau nyesel ga ngelakuin sesuatu buat nyelametin dia.” Kata Rio.
                “Coba kamu mengerti posisi bunda…”
                “Bun…” potong Rio lembut, “Rio pasti selamet, begitu juga yang lain, kita semua sayang sama bunda, kita ga akan biarin bunda ngerasa kehilangan lagi, kita tau kok kita siap atau nggak, dan kalau kita belum siap, kita ga akan nyerang Dayat.” Ucapnya menjelaskan.
                “Coba bunda mengerti posisi ayah saat itu... gimana perasaan ayah kalau seandainya ayah ga pernah nyoba buat nyelametin bunda ?” kata Rio lagi.
                Zahra tersenyum, “kamu memang mirip ayahmu, selalu berhasil membujuk bunda. Dan gadis itu, siapa tadi namanya ? Ify ? dia beruntung sekali dicintai olehmu.”

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar