Sabtu, 30 Juni 2012

FARAREFIA part 13 (cerbung rify)


13

                Bel istirahat baru saja berbunyi, tapi sosok orang itu sudah muncul di pintu kelas Acha dan tahu-tahu sudah berdiri dihadapannya.
“Cha…” Belum juga orang itu melanjutkan kalimatnya, Acha sudah mendongak dan menunjukkan wajah kesal seraya berkata, “belum ada kabar Kak Debo…”
                Orang itu, Debo, lagi-lagi menghela nafas tak kalah kesal, entah untuk keberapa kalinya dia sudah menanyakan hal yang sama sejak seminggu yang lalu, sejak hari keberangkatan Rio dan saudara-saudaranya.
                “Gue kan khawatir, Cha.” Kata Debo.
                “Iya gue tau, gue juga khawatir.” Jawab Acha tenang, dalam hatinya mengeluh kenapa dia yang awalnya sangat tidak bias melepas Rio dan yang lain, kini justru menjadi yang paling tegar.
                “Kapan, sih, mereka balik ?” gerutu Debo kesal.
                “Jangan ngomong seolah mereka lagi jalan-jalan kenapa sih kak…” kata Acha, sedikit kesal dengan nada bicara Debo.
                Debo memandang Acha dengan tatapan minta maaf, “sorry deh, itu juga bentuk rasa khawatir gue.”
                “Jangan di sini deh ngomongnya.” Kata Acha, melirik dengan kesal kearah samping kirinya.
                Debo mengikuti arah lirikan bola mata Acha, “jadi dia masih ngejar-ngejar lo ?” tanyanya geli.
                Acha berdecak kesal dengan ucapan Debo, “udah, ah.” Katanya, “Kak Agni mana ?”
                “Di kantin, mana lagi coba ?” jawab Debo.
                “Yuk ke sana.” Ajak Acha seraya berdiri, diikuti Debo yang mulai tertawa geli.
                “Mulai kapan sih si Ozy itu suka sama lo ?” Tanya Debo saat dia dan Acha berjalan menuju kantin.
                “Katanya sih dia sukanya udah dari lama, tapi baru berani deketin akhir-akhir ini, ga ngerti deh kenapa.” Jawab Acha tidak terlalu peduli.
                “Emang kenapa, sih, kok ga lo terima aja cintanya, lagian dia ga jelek, kok, cakep malah, lumayan terkenal di angkatan gue, banyak juga lho kakak kelas yang naksir dia.” Kata Debo.
                “Mau dia idola seluruh dunia kek, tetep nggak.” Kata Acha.
                “Kenapa, sih ? gara-gara Ray Ray itu ya ?” Tanya Debo tepat sasaran.
                “Ck, apaan, sih kak…” bantah Acha, walaupun dalam hatinya dia membenarkan kalimat Debo.
                “Sebenernya nih ya, Cha, menurut gue lo tuh rada bego, masa orang baru ketemu sekali udah langsung suka, pake ditungguin ampir 3 tahun lagi, udah gitu ga jelas juga dia siapa.” Jelas Debo.
                Acha lagi-lagi mendelik kearah Debo, menyuruhnya untuk diam sebentar saja.
                Debo menutup mulutnya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya membentuk huruf V.
                Acha mengembalikan pandangannya pada jalan kembali, menggerutu dalam hati kenapa orang seperti Debo bisa jadi orang top di sekolah, padahal dia itu orang paling bawel yang pernah Acha temui. Seperti yang baru saja Debo lakukan, ketika seminggu lalu dia tahu bahwa Ozy, teman sekelas Acha, tahu-tahu bilang suka padanya dan mengejarnya, Debo tidak berhenti terus menggoda Acha.
                Sekalinya Debo tidak mengganggu dengan godaannya, Debo mengganggu dengan pertanyaan yang sama yang terus dia tanyakan sejak seminggu yang lalu, ‘udah ada kabar atau belum ?’
                “Tuh Agni.” Tunjuk Debo saat dia dan Acha tiba di kantin.
                Acha menatap gadis yang sedang melamun itu, es jeruk di hadapannya terlihat belum tersentuh sama sekali.
                “Woy, Ag.” Debo menegur Agni saat dia dan Acha tiba di meja Agni dan bergabung dengannya.
                Agni melirik kearah Debo dan berkata, “hoy.” Pelan.
                Acha menggelengkan kepalanya melihat dua orang yang sedang bersamanya sekarang. Yang satu cowok yang kadang bawel kadang galau, yang satu lagi cewek yang diam saja, saking diamnya sampai sering melamun, kebiasaannya sejak seminggu yang lalu apalagi kalau bukan nongkrong di kantin mesen es jeruk tapi tidak pernah disentuh sama sekali.
                “Udah ada kabar ?” Agni bertanya dengan nada datar.
                Acha membulatkan matanya, baru kali ini Agni bertanya hal seperti itu, biasanya Debo yang selalu bertanya, “belum.” Jawabnya.
                “Oh…” Agni menjawab pelan sambil menghela nafas, seolah bosan menunggu.
                “Mau pesen apa,  Cha, Ag ? biar sekalian gue pesenin.” Tawar Debo seperti biasa.
                “Milo aja, kak.” Jawab Acha.
                “Ga usah, ini udah mesen.” Jawab Agni.
                Acha dan Debo saling berpandangan mendengar jawaban Agni, tapi mereka tidak berkata apa-apa.
                “Beliin roti aja, kak.” Bisik Acha.
                Debo mengangguk kecil sebelum beranjak dan membeli makanan dan minuman untuk mereka. Sementara Acha lagi-lagi menggelengkan kepala dan menghela nafas pelan. Seminggu ini, kegiatannya tak jauh-jauh dari berbohong. Berbohong pada ayahnya, berbohong pada orang tua Ify, Oik, dan Sivia tentang menghilangnya anak mereka, berbohong pada teman-temannya tentang Ify, Oik, dan Sivia juga, berbohong pada Ozy untuk menghindari ajakan-ajakan perginya, dan masih banyak lagi kebohongan yang dia buat. Itu semua dia lakukan seorang diri, karena sepertinya dua orang lain yang mengetahui  kejadian sebenarnya sangat teramat tidak membantu.
                ‘Cepet pulang, kak.’ Batinnya. Terbayang wajah Rio di pikirannya, sebelum diserobot oleh wajah samar-samar yang dia sendiri juga tidak tahu siapa itu.

***

                “Terus lagi, Yo, sedikit lagi… terus… tembak lagi…” teriakan-teriakan dari Sion yang sudah terdengar sejak tadi menjadi semakin keras.
                Rio menjaga konsentrasinya pada ribuan es tajam yang ditembakkan oleh Alvin, kalau boleh jujur, teriakan Sion yang sebenarnya tidak mengandung unsur arahan, justru agak mengganggunya.
                “Yak bagus, Yo, bagus banget. Cukup buat kamu, istirahat dulu.” Teriakan Sion itu terdengar bersamaan dengan menghilangnya semburan api dari tangan Rio yang baru saja melelehkan ribuan es tajam Alvin.
                Rio melangkah dengan amat pelan menuju pinggir lapangan dan segera merebahkan dirinya di sana. Minggu yang melelahkan untuknya.
                “Nih, minum.” Suara Ray tiba-tiba terdengar dan membuat Rio mendudukkan dirinya.
                “Apa lagi, nih ?” Tanya Rio mengambil botol yang disodorkan Ray.
                Ray terkekeh seraya mendudukkan dirinya di sebelah Rio, “cuma air biasa, emang semua yang gue kasih harus ramuan ya ?” katanya.
                Rio tersenyum sambil mulai meminum air itu, “lo kan suka aneh-aneh.” Balasnya.
                Ray tidak membalas ucapan Rio, cuma tersenyum sambil memperhatikan Cakka yang sedang membuat semacam tornado kecil di lapangan.
                “Lo kakaknya Raissa, kan ? gue denger dari Cakka katanya gitu.” Tiba-tiba Ray memulai.
                “Yah… bisa dibilang gitu, tapi bukan kakak kandung.” Jawab Rio.
                “Oh… dia… gimana kabarnya ?” Tanya Ray lagi, “gue ketemu dia waktu ke bumi.” Tambahnya.
                “Acha juga cerita soal lo, dia baik-baik aja, sempet pengen ikut ke sini, tapi ga dibolehin, bahaya.” Jawab Rio.
                “Oh…” gumam Ray. “Apa gue bisa ketemu dia ?” tanyanya tidak terdengar seperti bertanya pada Rio.
                Rio mengernyitkan dahinya, “lho ? kenapa ga bisa ?” tanyanya.
                Ray tersenyum miris, “gue takut rasa suka gue sama dia ga bisa ilang.” Jawabnya.
                “Lo suka sama Acha ?” Tanya Rio kaget.
                “Ga penting juga, sih, toh kita ga bakal bisa bersatu.” Balas Ray pelan.
                “Kok gitu ?” Tanya Rio heran.
                Ray menatap Rio penuh keheranan, “dia orang bumi, gue orang Fararefia, gue ga bisa bertahan di bumi, dan dia akan nyebabin banyak kerusakan di Fararefia, ga ada tempat buat kita bareng-bareng.” Katanya.
                Rio seperti disengat listrik mendengar penuturan Ray, dia mengubah posisi duduknya hingga berhadapan dengan Ray, “maksudnya ?”
                Ray menatap Rio heran, “jadi lo ga tau ?” tanyanya.
                “Tau tentang apa ?” Tanya Rio balik.
                Ray menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan Rio, “orang bumi dan orang Fararefia ga boleh saling suka dan bersama.”
                Rio lagi-lagi menunjukkan wajah kaget dan heran, “kenapa gitu ?”
                “Yah… yang kayak gue bilang tadi, orang bumi di sini, bakalan bikin banyak kekacauan, dan orang Fararefia, ga akan bisa bertahan lama di bumi.” Jawab Ray lagi.
                “Tapi… tapi… ramuan lo itu ?” Tanya Rio.
                “Ramuan itu bukan dibuat supaya orang Fararefia bisa bertahan di bumi selamanya, tapi cuma sementara.” Jawab Ray lagi menjelaskan dengan lesu.
                Rio terdiam, kalau memang orang Fararefia tidak boleh bersama dengan orang bumi, maka, dia dan Ify…
                “Ga cuma lo, tapi gue, Cakka, sama Ray juga ga bisa.” Tiba-tiba Alvin sudah datang dan duduk di sebelah Rio.
                “Hah ? apaan, sih ?” Tanya Ray bingung.
                Alvin berdecak sedikit sebelum menjawab, “Rio pikir dia ga akan bisa sama Ify, dan gue cuma nambahin kalau ga cuma dia, tapi gue, Cakka, sama lo juga ga bisa.”
                Ray memajukan bibirnya kesal, “kalian kalau telepati ya telepati aja, kalau ada gue ngomong normal kenapa sih.” Katanya.
                Alvin mengabaikan komentar Ray dan justru menatap Rio yang masih terdiam, “kayaknya yang paling susah itu lo ya, Yo. Seenggaknya, Sivia ga suka sama gue, Oik juga udah punya Debo, jadi gue sama Cakka bakalan tenang biarin mereka di bumi. Kalau Ray, yaa… dia cuma pernah ketemu Acha sekali kan, jadi pasti gampanglah buat mereka. Tapi lo, lo sama Ify kayaknya udah tinggal nunggu waktu aja ya ?” katanya.
                Rio menatap Alvin dengan pandangan kesal, “kalau ga bisa ngasih semangat, jangan bikin down juga kali, Vin.” Katanya.
                Alvin tersenyum kecil meminta maaf.
Rio kembali diam, matanya memandang Cakka yang sedang melawan Gabriel di lapangan. Gabriel baru saja membelah tanah tempat Cakka berpijak, membuat Cakka harus membuat bola udara dan terbang agar tidak terjatuh. Saat melihat itu, dia jadi  merenung, patahan yang dibuat Gabriel tadi seolah menggambarkan dirinya dan Ify yang terpisah oleh tanah yang mereka pijak.

***

                Siang itu Sion mengumpulkan empat keponakannya dan putranya di sebuah ruangan besar yang sebenarnya sangat nyaman kalau saja tidak ada ribuan kertas dan perkamen tua yang berserakan di sana.
                “Melihat perkembangan kalian selama satu minggu ini, om rasa kita harus mulai penyerangan besok.” Kata Sion membuka pembicaraan.
                Ray tersentak kaget, “jangan bercanda. Besok ?” katanya.
                “Nggak ada waktu yang lebih tepat dari pada besok, kalaupun kita terus latihan dan nyari informasi, pada akhirnya ga aka nada kemajuan berarti yang kita dapet. Lagi pula sepupumu ini pasti sudah sangat ingin memulai penyerangan.” Kata Sion.
                Ray menatap keempat sepupunya yang semuanya menatap dia dengan pandangan yakin.
                “Yasudah… mau gimana lagi.” Kata Ray akhirnya sambil menghembuskan nafas.
                “Kita udah nyelidikin markas Dayat di lembah tujuh naga. Lembah itu dikelilingin pegunungan, di tengahnya ada sungai, dengan sedikit tumbuhan, kebanyakan tanah yang kering. Lembah itu diliputi kekuatan sihir yang membuatnya tidak terlihat dari luar, tapi om sudah mengecek, kalau hewan bisa melihat lembah itu. Di bagian dalam lembah itu perbatasan dijaga ketat, ada pos penjaga setiap 100 meter, dengan seorang penjaga berkeliling sepanjang waktu. Ada dua penjaga tiap pos, satu penjaga menunggu di pos sementara penjaga lain berkeliling di daerah 100 meternya.” Terang Sion, sementara semua mulai memperhatikan.
                “Karena hanya hewan yang bisa melihat posisi lembah itu, kita ke sana naik elang.” Kata Sion lagi.
                “Elang ?” Tanya Rio tidak yakin.
                “Gue sama Alvin bisa naik elang.” Kata Cakka.
                “Elemen Cakka itu udara, jadi dia bisa ngendaliin elang, Alvin bisa ngendarain elang juga, tapi ga seahli Cakka.” Kata Gabriel.
                “Dan lo… ga bisa ngendarain elang.” Tambah Ray sambil menunjuk Gabriel.
                “Emang ga bisa, jelaslah, elemen gue tanah, lawannya udara, sekuat apapun gue belajar, ya susah.” Kata Gabriel.
                “Yak, kamu sudah ngerti kan, Yo ?” Tanya Sion.
                “Ngerti, om.” Jawab Rio.
                “Alvin naik bareng Rio. Cakka bareng Gabriel. Sementara om, bareng Ray.” Jelas Sion lagi. “Begitu sampai di sana, kita langsung turun di lubang yang sudah dibangun teman-teman Gabriel selama seminggu ini. Lubang kita kepisah-pisah. Alvin dan Rio di utara, Cakka dan Gabriel di selatan, dan om sama Ray di timur.” Tambahnya.
                “Apa om tau di mana temen-temen kita ditahan ?” Tanya Rio.
                “Ada sebuah kastil di lembah itu, begitu kita sudah sampai di lubang masing-masing, kalian tinggalin elang kalian, pake pakaian pengawal Dayat yang sudah om siapin, kita ketemu di dapur kastil, di bagian paling dekat sungai. Di sana, kita bisa ke ruang bawah tanah, semacam goa, yang dipakai Dayat untuk nahan temen-temen kalian. Kita secepat mungkin selametin mereka, jangan cari masalah sama Dayat dan yang lain, kalau bisa jangan sampai ketauan…”
                “Tunggu… kita ga sekalian ngelawan Dayat ?” Tanya Rio.
                “Tujuan utama kita itu nyelametin temen kalian dulu, begitu mereka udah selamet, baru kita pikirin Dayat.” Kata Sion. “Lanjut ke yang tadi, Cakka sama Gabriel bawa Oik sama Shilla, karena elang kalian yang paling besar dan Cakka paling cekatan, jadi empat penumpang bukan masalah. Alvin sama Rio bawa Ify. Sementara om sama Ray bawa Sivia.” Tambahnya.
                Ruangan itu hening selama beberapa saat, hanya terdengar ranting-ranting pohon mengetuk-ngetuk jendela ruangan itu.
                “Kalau kita gagal ?” Tanya Ray.
                “Jangan ngomong gitu.” Kata Gabriel.
                “Iya, kita pasti bisa.” Tambah Cakka semangat.
                Ray sedikit terlihat tenang dengan perkataan Gabriel dan Cakka, sebaliknya yang terjadi dengan Rio. Tadi dia sudah sangat yakin rencana mereka akan berhasil, tapi saat mendengar pertanyaan Ray tadi setitik rasa ragu menghampirinya. Bisakah dia ?

***
                Rio terduduk di kamarnya dengan perasaan gelisah, penyerangan yang direncanakan tinggal hitungan jam lagi, tapi dia tidak juga merasa yakin.
                TOK TOK TOK, terdengar suara ketukan pintu.
                “Masuk.” Ucap Rio.
                Zahra memasuki kamar besar itu dan menghampiri Rio, “hai, Yo, bagaimana ? siap untuk besok ?” tanyanya.
                Rio tersenyum miris mendengar perkataan bundanya, seminggu yang lalu, dialah yang dengan yakin berkata bahwa dia akan siap saat penyerangan berlangsung, kini dia ditanya seperti itu, entahlah… dia jadi tidak mengerti…
                “Kamu gelisah…” kata Zahra, dia duduk di sebelah Rio, tangan kanannya memegang dahi Rio, sementara tangan kirinya memegang punggung tangan kanan putranya itu, lalu bersamaan diusap-usapnya lembut.
                Perlahan Rio merasakan ketenangan menjalari tubuhnya, dia memejamkan mata dan merebahkan diri di paha kiri ibunya, “bunda tau dari mana ?” tanyanya.
                “Ini yang suka bunda lakuin ke kamu kalau kamu nangis terus dulu, kamu baru berenti nangis kalau bunda giniin, apalagi kalau bunda nyanyiin. Pasti lebih cepet tenangnya.” Jawab Zahra.
                “Kalau gitu nyanyi dong, bun.” Pinta Rio.
                Zahra tersenyum dan mendendangkan sebuah lagu yang tidak Rio ketahui namun sepertinya pernah dia dengar.
                “Sudah tenang ?” Tanya Zahra setelah beberapa saat.
                Rio membuka matanya dan kembali duduk, “lumayan, makasih ya, Bun.” Katanya.
                “Bunda yakin kamu bisa.” Katanya lagi sambil tersenyum.
                Seperti sihir, kalimat sesederhana itulah yang menghapus kegelisahan Rio, memberi keberanian lain dalam dirinya, seolah itulah support yang paling besar yang ia terima, bahkan pengaruh yang diberikan kalimat itu jauh lebih besar dari nyanyian tadi.
                Merasa bahwa dia memang yakin bisa, Rio pun tersenyum dan berkata, “pasti bisa.”

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar