13
Bel
istirahat baru saja berbunyi, tapi sosok orang itu sudah muncul di pintu kelas
Acha dan tahu-tahu sudah berdiri dihadapannya.
“Cha…” Belum juga orang itu
melanjutkan kalimatnya, Acha sudah mendongak dan menunjukkan wajah kesal seraya
berkata, “belum ada kabar Kak Debo…”
Orang
itu, Debo, lagi-lagi menghela nafas tak kalah kesal, entah untuk keberapa
kalinya dia sudah menanyakan hal yang sama sejak seminggu yang lalu, sejak hari
keberangkatan Rio dan saudara-saudaranya.
“Gue
kan khawatir, Cha.” Kata Debo.
“Iya
gue tau, gue juga khawatir.” Jawab Acha tenang, dalam hatinya mengeluh kenapa
dia yang awalnya sangat tidak bias melepas Rio dan yang lain, kini justru
menjadi yang paling tegar.
“Kapan,
sih, mereka balik ?” gerutu Debo kesal.
“Jangan
ngomong seolah mereka lagi jalan-jalan kenapa sih kak…” kata Acha, sedikit
kesal dengan nada bicara Debo.
Debo
memandang Acha dengan tatapan minta maaf, “sorry deh, itu juga bentuk rasa
khawatir gue.”
“Jangan
di sini deh ngomongnya.” Kata Acha, melirik dengan kesal kearah samping
kirinya.
Debo
mengikuti arah lirikan bola mata Acha, “jadi dia masih ngejar-ngejar lo ?”
tanyanya geli.
Acha
berdecak kesal dengan ucapan Debo, “udah, ah.” Katanya, “Kak Agni mana ?”
“Di
kantin, mana lagi coba ?” jawab Debo.
“Yuk
ke sana.” Ajak Acha seraya berdiri, diikuti Debo yang mulai tertawa geli.
“Mulai
kapan sih si Ozy itu suka sama lo ?” Tanya Debo saat dia dan Acha berjalan
menuju kantin.
“Katanya
sih dia sukanya udah dari lama, tapi baru berani deketin akhir-akhir ini, ga
ngerti deh kenapa.” Jawab Acha tidak terlalu peduli.
“Emang
kenapa, sih, kok ga lo terima aja cintanya, lagian dia ga jelek, kok, cakep
malah, lumayan terkenal di angkatan gue, banyak juga lho kakak kelas yang
naksir dia.” Kata Debo.
“Mau
dia idola seluruh dunia kek, tetep nggak.” Kata Acha.
“Kenapa,
sih ? gara-gara Ray Ray itu ya ?” Tanya Debo tepat sasaran.
“Ck,
apaan, sih kak…” bantah Acha, walaupun dalam hatinya dia membenarkan kalimat
Debo.
“Sebenernya
nih ya, Cha, menurut gue lo tuh rada bego, masa orang baru ketemu sekali udah
langsung suka, pake ditungguin ampir 3 tahun lagi, udah gitu ga jelas juga dia
siapa.” Jelas Debo.
Acha
lagi-lagi mendelik kearah Debo, menyuruhnya untuk diam sebentar saja.
Debo
menutup mulutnya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya membentuk
huruf V.
Acha
mengembalikan pandangannya pada jalan kembali, menggerutu dalam hati kenapa
orang seperti Debo bisa jadi orang top di sekolah, padahal dia itu orang paling
bawel yang pernah Acha temui. Seperti yang baru saja Debo lakukan, ketika
seminggu lalu dia tahu bahwa Ozy, teman sekelas Acha, tahu-tahu bilang suka
padanya dan mengejarnya, Debo tidak berhenti terus menggoda Acha.
Sekalinya
Debo tidak mengganggu dengan godaannya, Debo mengganggu dengan pertanyaan yang
sama yang terus dia tanyakan sejak seminggu yang lalu, ‘udah ada kabar atau
belum ?’
“Tuh
Agni.” Tunjuk Debo saat dia dan Acha tiba di kantin.
Acha
menatap gadis yang sedang melamun itu, es jeruk di hadapannya terlihat belum
tersentuh sama sekali.
“Woy,
Ag.” Debo menegur Agni saat dia dan Acha tiba di meja Agni dan bergabung
dengannya.
Agni
melirik kearah Debo dan berkata, “hoy.” Pelan.
Acha
menggelengkan kepalanya melihat dua orang yang sedang bersamanya sekarang. Yang
satu cowok yang kadang bawel kadang galau, yang satu lagi cewek yang diam saja,
saking diamnya sampai sering melamun, kebiasaannya sejak seminggu yang lalu
apalagi kalau bukan nongkrong di kantin mesen es jeruk tapi tidak pernah
disentuh sama sekali.
“Udah
ada kabar ?” Agni bertanya dengan nada datar.
Acha
membulatkan matanya, baru kali ini Agni bertanya hal seperti itu, biasanya Debo
yang selalu bertanya, “belum.” Jawabnya.
“Oh…”
Agni menjawab pelan sambil menghela nafas, seolah bosan menunggu.
“Mau
pesen apa, Cha, Ag ? biar sekalian gue
pesenin.” Tawar Debo seperti biasa.
“Milo
aja, kak.” Jawab Acha.
“Ga
usah, ini udah mesen.” Jawab Agni.
Acha
dan Debo saling berpandangan mendengar jawaban Agni, tapi mereka tidak berkata
apa-apa.
“Beliin
roti aja, kak.” Bisik Acha.
Debo
mengangguk kecil sebelum beranjak dan membeli makanan dan minuman untuk mereka.
Sementara Acha lagi-lagi menggelengkan kepala dan menghela nafas pelan.
Seminggu ini, kegiatannya tak jauh-jauh dari berbohong. Berbohong pada ayahnya,
berbohong pada orang tua Ify, Oik, dan Sivia tentang menghilangnya anak mereka,
berbohong pada teman-temannya tentang Ify, Oik, dan Sivia juga, berbohong pada
Ozy untuk menghindari ajakan-ajakan perginya, dan masih banyak lagi kebohongan
yang dia buat. Itu semua dia lakukan seorang diri, karena sepertinya dua orang
lain yang mengetahui kejadian sebenarnya
sangat teramat tidak membantu.
‘Cepet
pulang, kak.’ Batinnya. Terbayang wajah Rio di pikirannya, sebelum diserobot
oleh wajah samar-samar yang dia sendiri juga tidak tahu siapa itu.
***
“Terus
lagi, Yo, sedikit lagi… terus… tembak lagi…” teriakan-teriakan dari Sion yang
sudah terdengar sejak tadi menjadi semakin keras.
Rio
menjaga konsentrasinya pada ribuan es tajam yang ditembakkan oleh Alvin, kalau
boleh jujur, teriakan Sion yang sebenarnya tidak mengandung unsur arahan, justru
agak mengganggunya.
“Yak
bagus, Yo, bagus banget. Cukup buat kamu, istirahat dulu.” Teriakan Sion itu
terdengar bersamaan dengan menghilangnya semburan api dari tangan Rio yang baru
saja melelehkan ribuan es tajam Alvin.
Rio
melangkah dengan amat pelan menuju pinggir lapangan dan segera merebahkan
dirinya di sana. Minggu yang melelahkan untuknya.
“Nih,
minum.” Suara Ray tiba-tiba terdengar dan membuat Rio mendudukkan dirinya.
“Apa
lagi, nih ?” Tanya Rio mengambil botol yang disodorkan Ray.
Ray
terkekeh seraya mendudukkan dirinya di sebelah Rio, “cuma air biasa, emang
semua yang gue kasih harus ramuan ya ?” katanya.
Rio
tersenyum sambil mulai meminum air itu, “lo kan suka aneh-aneh.” Balasnya.
Ray
tidak membalas ucapan Rio, cuma tersenyum sambil memperhatikan Cakka yang
sedang membuat semacam tornado kecil di lapangan.
“Lo
kakaknya Raissa, kan ? gue denger dari Cakka katanya gitu.” Tiba-tiba Ray
memulai.
“Yah…
bisa dibilang gitu, tapi bukan kakak kandung.” Jawab Rio.
“Oh…
dia… gimana kabarnya ?” Tanya Ray lagi, “gue ketemu dia waktu ke bumi.”
Tambahnya.
“Acha
juga cerita soal lo, dia baik-baik aja, sempet pengen ikut ke sini, tapi ga
dibolehin, bahaya.” Jawab Rio.
“Oh…”
gumam Ray. “Apa gue bisa ketemu dia ?” tanyanya tidak terdengar seperti
bertanya pada Rio.
Rio
mengernyitkan dahinya, “lho ? kenapa ga bisa ?” tanyanya.
Ray
tersenyum miris, “gue takut rasa suka gue sama dia ga bisa ilang.” Jawabnya.
“Lo
suka sama Acha ?” Tanya Rio kaget.
“Ga
penting juga, sih, toh kita ga bakal bisa bersatu.” Balas Ray pelan.
“Kok
gitu ?” Tanya Rio heran.
Ray
menatap Rio penuh keheranan, “dia orang bumi, gue orang Fararefia, gue ga bisa
bertahan di bumi, dan dia akan nyebabin banyak kerusakan di Fararefia, ga ada
tempat buat kita bareng-bareng.” Katanya.
Rio
seperti disengat listrik mendengar penuturan Ray, dia mengubah posisi duduknya
hingga berhadapan dengan Ray, “maksudnya ?”
Ray
menatap Rio heran, “jadi lo ga tau ?” tanyanya.
“Tau
tentang apa ?” Tanya Rio balik.
Ray
menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan Rio, “orang bumi dan orang Fararefia
ga boleh saling suka dan bersama.”
Rio
lagi-lagi menunjukkan wajah kaget dan heran, “kenapa gitu ?”
“Yah…
yang kayak gue bilang tadi, orang bumi di sini, bakalan bikin banyak kekacauan,
dan orang Fararefia, ga akan bisa bertahan lama di bumi.” Jawab Ray lagi.
“Tapi…
tapi… ramuan lo itu ?” Tanya Rio.
“Ramuan
itu bukan dibuat supaya orang Fararefia bisa bertahan di bumi selamanya, tapi
cuma sementara.” Jawab Ray lagi menjelaskan dengan lesu.
Rio
terdiam, kalau memang orang Fararefia tidak boleh bersama dengan orang bumi,
maka, dia dan Ify…
“Ga
cuma lo, tapi gue, Cakka, sama Ray juga ga bisa.” Tiba-tiba Alvin sudah datang
dan duduk di sebelah Rio.
“Hah
? apaan, sih ?” Tanya Ray bingung.
Alvin
berdecak sedikit sebelum menjawab, “Rio pikir dia ga akan bisa sama Ify, dan
gue cuma nambahin kalau ga cuma dia, tapi gue, Cakka, sama lo juga ga bisa.”
Ray
memajukan bibirnya kesal, “kalian kalau telepati ya telepati aja, kalau ada gue
ngomong normal kenapa sih.” Katanya.
Alvin
mengabaikan komentar Ray dan justru menatap Rio yang masih terdiam, “kayaknya
yang paling susah itu lo ya, Yo. Seenggaknya, Sivia ga suka sama gue, Oik juga
udah punya Debo, jadi gue sama Cakka bakalan tenang biarin mereka di bumi. Kalau
Ray, yaa… dia cuma pernah ketemu Acha sekali kan, jadi pasti gampanglah buat
mereka. Tapi lo, lo sama Ify kayaknya udah tinggal nunggu waktu aja ya ?”
katanya.
Rio
menatap Alvin dengan pandangan kesal, “kalau ga bisa ngasih semangat, jangan
bikin down juga kali, Vin.” Katanya.
Alvin
tersenyum kecil meminta maaf.
Rio kembali diam, matanya
memandang Cakka yang sedang melawan Gabriel di lapangan. Gabriel baru saja
membelah tanah tempat Cakka berpijak, membuat Cakka harus membuat bola udara
dan terbang agar tidak terjatuh. Saat melihat itu, dia jadi merenung, patahan yang dibuat Gabriel tadi
seolah menggambarkan dirinya dan Ify yang terpisah oleh tanah yang mereka
pijak.
***
Siang
itu Sion mengumpulkan empat keponakannya dan putranya di sebuah ruangan besar
yang sebenarnya sangat nyaman kalau saja tidak ada ribuan kertas dan perkamen
tua yang berserakan di sana.
“Melihat
perkembangan kalian selama satu minggu ini, om rasa kita harus mulai
penyerangan besok.” Kata Sion membuka pembicaraan.
Ray
tersentak kaget, “jangan bercanda. Besok ?” katanya.
“Nggak
ada waktu yang lebih tepat dari pada besok, kalaupun kita terus latihan dan
nyari informasi, pada akhirnya ga aka nada kemajuan berarti yang kita dapet.
Lagi pula sepupumu ini pasti sudah sangat ingin memulai penyerangan.” Kata
Sion.
Ray
menatap keempat sepupunya yang semuanya menatap dia dengan pandangan yakin.
“Yasudah…
mau gimana lagi.” Kata Ray akhirnya sambil menghembuskan nafas.
“Kita
udah nyelidikin markas Dayat di lembah tujuh naga. Lembah itu dikelilingin
pegunungan, di tengahnya ada sungai, dengan sedikit tumbuhan, kebanyakan tanah
yang kering. Lembah itu diliputi kekuatan sihir yang membuatnya tidak terlihat
dari luar, tapi om sudah mengecek, kalau hewan bisa melihat lembah itu. Di
bagian dalam lembah itu perbatasan dijaga ketat, ada pos penjaga setiap 100
meter, dengan seorang penjaga berkeliling sepanjang waktu. Ada dua penjaga tiap
pos, satu penjaga menunggu di pos sementara penjaga lain berkeliling di daerah
100 meternya.” Terang Sion, sementara semua mulai memperhatikan.
“Karena
hanya hewan yang bisa melihat posisi lembah itu, kita ke sana naik elang.” Kata
Sion lagi.
“Elang
?” Tanya Rio tidak yakin.
“Gue
sama Alvin bisa naik elang.” Kata Cakka.
“Elemen
Cakka itu udara, jadi dia bisa ngendaliin elang, Alvin bisa ngendarain elang
juga, tapi ga seahli Cakka.” Kata Gabriel.
“Dan
lo… ga bisa ngendarain elang.” Tambah Ray sambil menunjuk Gabriel.
“Emang
ga bisa, jelaslah, elemen gue tanah, lawannya udara, sekuat apapun gue belajar,
ya susah.” Kata Gabriel.
“Yak,
kamu sudah ngerti kan, Yo ?” Tanya Sion.
“Ngerti,
om.” Jawab Rio.
“Alvin
naik bareng Rio. Cakka bareng Gabriel. Sementara om, bareng Ray.” Jelas Sion lagi.
“Begitu sampai di sana, kita langsung turun di lubang yang sudah dibangun
teman-teman Gabriel selama seminggu ini. Lubang kita kepisah-pisah. Alvin dan
Rio di utara, Cakka dan Gabriel di selatan, dan om sama Ray di timur.”
Tambahnya.
“Apa
om tau di mana temen-temen kita ditahan ?” Tanya Rio.
“Ada
sebuah kastil di lembah itu, begitu kita sudah sampai di lubang masing-masing, kalian
tinggalin elang kalian, pake pakaian pengawal Dayat yang sudah om siapin, kita
ketemu di dapur kastil, di bagian paling dekat sungai. Di sana, kita bisa ke
ruang bawah tanah, semacam goa, yang dipakai Dayat untuk nahan temen-temen
kalian. Kita secepat mungkin selametin mereka, jangan cari masalah sama Dayat
dan yang lain, kalau bisa jangan sampai ketauan…”
“Tunggu…
kita ga sekalian ngelawan Dayat ?” Tanya Rio.
“Tujuan
utama kita itu nyelametin temen kalian dulu, begitu mereka udah selamet, baru
kita pikirin Dayat.” Kata Sion. “Lanjut ke yang tadi, Cakka sama Gabriel bawa
Oik sama Shilla, karena elang kalian yang paling besar dan Cakka paling
cekatan, jadi empat penumpang bukan masalah. Alvin sama Rio bawa Ify. Sementara
om sama Ray bawa Sivia.” Tambahnya.
Ruangan
itu hening selama beberapa saat, hanya terdengar ranting-ranting pohon
mengetuk-ngetuk jendela ruangan itu.
“Kalau
kita gagal ?” Tanya Ray.
“Jangan
ngomong gitu.” Kata Gabriel.
“Iya,
kita pasti bisa.” Tambah Cakka semangat.
Ray
sedikit terlihat tenang dengan perkataan Gabriel dan Cakka, sebaliknya yang
terjadi dengan Rio. Tadi dia sudah sangat yakin rencana mereka akan berhasil,
tapi saat mendengar pertanyaan Ray tadi setitik rasa ragu menghampirinya.
Bisakah dia ?
***
Rio
terduduk di kamarnya dengan perasaan gelisah, penyerangan yang direncanakan
tinggal hitungan jam lagi, tapi dia tidak juga merasa yakin.
TOK
TOK TOK, terdengar suara ketukan pintu.
“Masuk.”
Ucap Rio.
Zahra
memasuki kamar besar itu dan menghampiri Rio, “hai, Yo, bagaimana ? siap untuk
besok ?” tanyanya.
Rio
tersenyum miris mendengar perkataan bundanya, seminggu yang lalu, dialah yang
dengan yakin berkata bahwa dia akan siap saat penyerangan berlangsung, kini dia
ditanya seperti itu, entahlah… dia jadi tidak mengerti…
“Kamu
gelisah…” kata Zahra, dia duduk di sebelah Rio, tangan kanannya memegang dahi
Rio, sementara tangan kirinya memegang punggung tangan kanan putranya itu, lalu
bersamaan diusap-usapnya lembut.
Perlahan
Rio merasakan ketenangan menjalari tubuhnya, dia memejamkan mata dan merebahkan
diri di paha kiri ibunya, “bunda tau dari mana ?” tanyanya.
“Ini
yang suka bunda lakuin ke kamu kalau kamu nangis terus dulu, kamu baru berenti
nangis kalau bunda giniin, apalagi kalau bunda nyanyiin. Pasti lebih cepet
tenangnya.” Jawab Zahra.
“Kalau
gitu nyanyi dong, bun.” Pinta Rio.
Zahra
tersenyum dan mendendangkan sebuah lagu yang tidak Rio ketahui namun sepertinya
pernah dia dengar.
“Sudah
tenang ?” Tanya Zahra setelah beberapa saat.
Rio
membuka matanya dan kembali duduk, “lumayan, makasih ya, Bun.” Katanya.
“Bunda
yakin kamu bisa.” Katanya lagi sambil tersenyum.
Seperti
sihir, kalimat sesederhana itulah yang menghapus kegelisahan Rio, memberi
keberanian lain dalam dirinya, seolah itulah support yang paling besar yang ia
terima, bahkan pengaruh yang diberikan kalimat itu jauh lebih besar dari
nyanyian tadi.
Merasa
bahwa dia memang yakin bisa, Rio pun tersenyum dan berkata, “pasti bisa.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar