SEMUA ADA DALAM PIKIRANMU
“Heh
cowok aneh !” Alvin sudah tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa
yang dimaksud cowok aneh dan siapa yang menyuarakan kalimat perintah
bernada mengejek itu. Dia sudah tau yang dimaksud cowok aneh adalah
dirinya, sedangkan yang meneriakkan kalimat itu adalah Rio, cowok bandel
di SDnya.
Postur
tubuh Rio memang kecil, bahkan bisa dibilang lebih kecil dari Alvin,
tapi kemampuannya dalam karate mampu menarik anak-anak besar lain dengan
tampang mengerikan untuk menjadi teman-temannya, bersama-sama mereka
membuat genk yang paling ditakuti di sekolah. Hobi genk itu apalagi
kalau bukan mengerjai Alvin, cowok teraneh dengan postur tubuh hanya
sedikit lebih besar dari Rio, yang cara jalannya canggung, dan ekspresi
yang menurut teman-temannya selalu minta dihajar.
“Heh
lo ga denger kita manggil ?” suara lain, itu suara Septian, dia salah
satu teman Rio yang berbadan besar, selalu mengikuti Rio kemanapun dia
pergi, dan menurut Alvin dia seperti anjing penjaga besar dengan Rio
sebagai tuannya.
Panggilan
kedua dari Rio dan komplotannya mau tak mau membuat Alvin menoleh, dia
menghela nafas sebelum melangkahkan kakinya mendekati genk itu, “kenapa
?” tanyanya pelan.
“Kita
punya sesuatu buat lo.” Ucap Rio dengan nada yang meyakinkan Alvin
sesuatu yang dimaksud Rio pastilah tidak menyenangkan untuk Alvin.
“Lo
harus terima kasih sama kita karena kita udah berbaik hati ngasih lo
hadiah.” Kali ini yang bicara anak lain yang Alvin tidak tahu namanya.
“Nih.”
Rio menyodorkan sebuah kotak kecil kepada Alvin, yang ditatap Alvin
dengan pandangan ragu-ragu dan yakin isinya pastilah tidak menyenangkan,
jadi Alvin Cuma diam memandang kotak itu tanpa mengambilnya dari Rio.
“Ambil !” suruh Rio dengan nada yang tidak seperti membujuk orang untuk menerima hadiah, tapi lebih seperti memaksa.
Sambil
menelah ludah Alvin mengambil kotak kecil itu, berniat segera pergi
dari sana dan membuangnya di tempat sampah pertama yang ia lihat,
“makasih.” Ucapnya cepat seraya berbalik.
“Eits…”
tangan Rio yang kecil menarik kerah kemeja Alvin dan membuatnya tidak
bisa melangkah, Rio juga memaksa Alvin kembali berbalik padanya. “Yah…
kita mau liat apa lo suka hadiahnya. Jadi… buka sekarang !” tambahnya
diakhiri dengan nada dan pandangan mata yang tajam mengancam.
Lagi-lagi
Alvin menelan ludah dan dengan tangan gemetar dia membuka kotak itu.
Awalnya Alvin mengira itu kotak kosong atau apa, tapi kemudian ada yang
keluar dari dalam kotak itu, tidak hanya satu, tapi banyak, diantaranya
ada yang merayap ditangannya, tapi sebagian besar terbang mengelilingi
kelas. Tak perlu banyak waktu untuk Alvin sadar apa itu, bahkan
seandainya pun ia tidak melihat apa yang keluar dari sana, teriakan
semua anak perempuan di kelas cukup membuatnya tahu bahwa mahluk itu
adalah “KECOAAAAA!!!!!!”
Alvin
yang sangat membenci binatang itu segera berteriak dan melempar kotak
itu seraya sibuk menyingkirkan kecoa yang tadi merayap di tangannya. Tak
butuh waktu lama, kelas menjadi sangat rebut. Ditengah hiruk pikuk itu
hanya genk Rio yang tertawa terbahak-bahak melihat rencana mereka
berhasil.
“ADA
APA INI ? KENAPA KALIAN RIBUT ?” suara Bu Winda yang kini ada di pintu
kelas tidak mampu meredam kekacauan itu. Bahkan tak ada yang menyadari
kedatangannya kecuali, Rio, yang memberitahukan sesuatu kepadanya. Alvin
tak tahu apa yang dikatakan oleh Rio, tapi pastilah membahayakan
dirinya, karena Bu Winda langsung menatap ke arahnya dengan pandangan
tajam penuh kemarahan.
Untuk ketiga kalinya Alvin menelan ludahnya hari itu, tahu bahwa hal yang lebih buruk akan menimpanya.
***
Alvin
memijit bahunya kanan dengan tangan kirinya. Sudah kira-kira 2 jam dia
di sini, menyortir buku-buku yang ada di sana. Sambil mengambil sebuah
novel fiksi terjemahan, dia menggerutu dalam hati terhadap anak-anak
yang meminjam buku dan tidak mengembalikannya dengan benar pada
tempatnya, terus menggerutu dalam hati hingga ia sadar bahwa ia sendiri
sering melakukannya, pikiran tidak menyenangkan, dan membuatnya berjanji
jika ia berkesempatan meminjam buku di perpustakaan manapun dan harus
mengembalikan buku, maka akan dia pastikan dia sudah menaruh buku itu
dengan benar sesuai dengan tempatnya.
Alvin
benar-benar kesal pada Rio sekarang, siapa sangka, anak itu mengadu
pada Bu Winda bahwa dialah yang melepas kecoa itu di kelas. Yah Rio
tidak sepenuhnya salah karena memang dia yang membuka kotak kecil itu
dan membuat puluhan kecoa beterbangan di kelas, tapi Alvin kan
melakukannya karena Rio yang menyuruhnya. Alvin tak bisa membantah saat
Bu Winda menghukumnya dengan menyortir buku-buku di perpustakaan,
apalagi teman-teman sekelasnya terlalu takut pada Rio untuk memberitahu
Rio lah yang salah. Jadilah Alvin mendekam di perpustakaan sekolahnya
merapikan buku-buku hanya dengan ditemani penjaga perpustakaan yang
untungnya sangat baik, tak hentinya menghibur Alvin dan tanpa bertanya
membantu Alvin menyortir buku itu.
“Alvin,
ibu mau beli minum sama makanan sebentar. Kamu masih di sini kan ?”
ucap Bu Ira, penjaga perpustakaan itu seraya menghampiri Alvin yang
sedang menaruh novel Harry Potter di deretan buku fiksi terjemahan.
“Oh, iya bu. Masih banyak yang harus saya sortir.” Jawab Alvin.
Bu Ira tersenyum lalu kembali berkata, “Kamu mau minum apa ?”
“Ga perlu repot-repot, bu.” Tolak Alvin halus.
“Jangan nolak, kamu kan udah bantuin ibu dari tadi.” Ucap Bu Ira lagi.
“Air putih dingin aja, bu.” Jawab Alvin malu, sadar bahwa sebenarnya dialah yang dibantu. “terima kasih.” Tambahnya.
“Ok. Tunggu ya.” Pamit Bu Ira sebelum dia meninggalkan ruang perpustakaan itu.
Alvin
tersenyum sebelum kembali melanjutkan menyortir buku yang seakan tak
ada habisnya. Tiba-tiba saja Alvin merasa ada angin dingin yang
berhembus di ruangan itu. Mau tidak mau Alvin merasa sedikit takut, dia
tahu sudah banyak cerita menyeramkan yang tersiar di sekolah, tapi dia
mencoba menenangkan diri dengan berkata dalam hati, ‘itu hanya AC.’
Entah
kenapa tiba-tiba ia merasa suasana perpustakaan menjadi sangat
mengerikan. Ruangan besar itu sebenarnya cukup menyenangkan, dengan dua
AC dimana yang satu diatur sesuai suhu ruang dan satunya selalu berangka
16. Meja panjang dengan karpet tebal jika murid ingin membaca buku
secara lesehan, beberapa jejer kursi dan meja dilengkapi pembatas untuk
murid yang lebih suka duduk di kursi, bahkan karpet tebal lebar yang
bisa digunakan untuk diskusi pelajaran Bahasa Indonesia ataupun jika
murid yang cukup berani ingin membaca sambil tiduran di sana. Semua itu
ditambah beberapa set komputer dilengkapi printer, scanner, dan tercapai
jaringan Wi-Fi, tak lupa yang paling penting beratus-ratus buku yang
berjejer di rak-rak yang tersusun rapi, mulai dari yang berbahasa
Indonesia hingga Inggris dan Jepang, dua bahasa lain yang diajarkan di
SD itu. Semua lengkap, membuat siapapun bahkan yang tidak suka membaca,
sangat rela untuk sekedar duduk-duduk di sana. Yang jadi masalah adalah
waktunya, jam sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB, dan siapapun tahu itu
artinya hampir malam, ruangan yang begitu sempurna itu kini berubah
mencekam, apalagi dengan hanya ada Alvin sendiri di ruangan itu.
BRUK
! Alvin tersentak hingga ia sedikit melompat di sana. Dia melihat
sekeliling dan mulai mencari-cari apakah yang menyebabkan bunyi itu.
Akhirnya Alvin menemukan seorang perempuan seumuran dengannya sedang
memungut buku yang rupanya tadi terjatuh dan menimbulkan suara berdebam
itu.
“Hei.” Panggil Alvin pada anak itu.
Anak
perempuan itu menoleh dan memandang Alvin dengan kaget, ekspresinya
seolah menyiratkan telah kepergok melakukan sesuatu yang salah.
Cepat-cepat dia menaruh asal buku di tangannya ke rak buku, lalu pergi
menjauhi Alvin.
“Hei.”
Panggil Alvin lagi, dia berniat mengejar anak itu, tapi buku yang tadi
anak itu taruh dengan asal di rak buku telah jatuh kembali, tepat di
depan Alvin dan menghentikan langkahnya. Dia memungut buku itu, melihat
sampulnya, tertulis dengan huruf yang tidak ia kenal. Bukan huruf latin
dan juga bukan hiragana, katakana, ataupun kanji. Itu artinya buku itu
harusnya tidak ada di section ini, karena ini untuk buku cerita yang
hanya mengguanakan huruf hiragana. Alvin menatap buku itu bingung cukup
lama, hingga suara Bu Ira menyadarkannya.
“Oh,
kamu di sini, ibu nyariin kamu. Ini minum kamu.” Kata Bu Ira sambil
menyerahkan sebotol air mineral dingin pada Alvin, tapi saat itu dia
menyadari buku apa yang sedang Alvin pegang, “kamu dapet buku itu dari
mana ?” pekik Bu Ira agak aneh.
“Ehm… tadi ada anak perempuan yang mau naruh di sini, waktu saya mau nyamperin dia, dia malah lari.” Jawab Alvin.
Bu
Ira tampak sangat gugup, ia mengerling buku itu dengan pandangan yang
sulit diartikan, lalu dia berkata, “begitu ya. Kalau begitu, kamu udah
boleh pulang Alvin, udah hampir malem, biar ibu yang lanjutin nyortir
bukunya.”
“Tapi Bu Winda…”
Bu
Ira keburu memotong perkataan Alvin, “ibu yakin Bu Winda pasti ga mau
anak muridnya yang baru kelas 4 SD pulang lewat dari Maghrib, dan kalau
kamu ga segera pulang, bisa dipastiiin kalau kamu bakal pulang selewat
Maghrib.”
Alvin hanya menggumam tidak jelas sebelum akhirnya dia mampu tersenyum senang dan berkata, “terima kasih.”
“Dan bukunya, vin. Biar ibu yang taruh.” Bu Ira menyodorkan tangannya meminta buku aneh yang Alvin pegang.
Tanpa
ragu Alvin memberikan buku itu, dia memang sempat ingin tahu tadi, tapi
godaan untuk segera pulang menderanya lebih hebat, sehingga ia
mengucapkan terima kasih lagi pada Bu Ira sebelum pulang.
***
Alvin
memasuki kelas pagi itu dengan langkah canggung seperti biasa. Dia
sudah menyiapkan kuping untuk mendengar cemoohan dari Rio dan
gerombolannya.
“Eh
liat siapa yang dateng ? Alvin… gimana nyortir bukunya kemarin ?” benar
saja, cemoohan berasal dari Rio dan sudah sangat jelas ditujukan pada
Alvin.
“Ah
Yo, nyortir buku gue rasa masih keringanan buat dia. Maksud gue,
ngelepasin kecoa bukan Cuma kesalahan yang dia bikin kan ?” Septian
menimpali.
“Oh ya ? apa lagi ?” seorang anak besar lain bertanya.
“Cara
jalannya dia itu lho, udah bikin mata kita sakit, dan menurut gue itu
yang pantes buat dapet hukuman.” Jawab Septian dengan keras, sengaja
agar seluruh anak di kelas mendengarnya.
Komplotan
Rio tertawa keras-keras, tidak semua, karena beberapa tetap diam dan
menunjukkan wajah bingung, “Maksudnya ?” Tanya merek yang tidak tertawa.
“Ah
payah lo. Masa gitu aja ga ngerti, nilai bahasa Indonesia lo berapa sih
?” Seru Septian agak kesal karena candaannya tidak ditanggapi.
Alvin
yang wajahnya sudah memerah karena malu, mau tidak mau tersenyum kecil,
ternyata genk Rio lebih banyak dihuni orang berbadan besar yang tidak
bisa menggunakan otaknya. Dengan perasaan itulah Alvin melanjutkan
menuju bangkunya.
KRINGGG!!!
Tepat selesai bel itu berbunyi, Bu Winda memasuki kelas bersama dengan
seorang anak perempuan. Anak itu berdiri di belakang Bu Winda sementara
ketua kelas menyiapkan yang lain untuk berdoa dan memberi salam.
“Anak-anak,
sekarang kita kedatangan teman baru, pindahan dari Bandung. Silahkan
perkenalkan diri kamu !” ucap Bu Winda, dengan memberikan pandangan pada
anak perempuan pada saat mengucapkan kalimat kedua.
Anak
perempuan itu tersenyum dan mengangguk kecil pada Bu Winda sebelum dia
mulai bicara, “Nama saya, Sivia Azizah. Kalian bisa manggil saya Via
atau Sivia. Saya pindahan dari Bandung. Mohon bantuannya.”
Anak-anak
menggumam tidak jelas untuk menjawab kalimat Sivia yang terakhir,
sementara Bu Winda kembali bicara, “kamu boleh duduk di tempat yang
kosong Sivia.”
Mata
Sivia mencari-cari di sekeliling kelas, dia menemukan satu-satunya
bangku kosong, di samping Alvin, tanpa ragu Sivia segera menghampiri
bangku itu.
Semakin
dekat Sivia dengan Alvin, Alvin mulai menyadari Sivia adalah anak
perempuan yang ditemuinya di perpustakaan kemarin sore. Alvin sudah akan
memberikan senyum saat mata Sivia perlahan melebar saat melihatnya,
dengan suara yang tidak lebih keras dari bisikan dia berkata, “Alvin.”
***
“Jadi lo keponakannya Bu Ira ?” Tanya Alvin pada saat istirahat.
“Iya.”
Jawab Sivia sambil mengangguk, “mama sama papa harus pergi sebentar,
terus aku sama adik aku dititipin ke tante Ira buat sementara.”
Tambahnya.
“Lho
? mama papa kamu pergi ke mana ? berarti kamu ga selamanya di sini dong
? kalau mama papa kamu pulang, kamu balik tinggal sama mereka lagi.”
Tanggap Alvin yang tampaknya agak kaget mendengar fakta ini.
Sivia
terlihat berfikir sebentar, lalu dia menjawab, “mama papa harus tugas
ke pedalaman gitu deh, tepatnya aku juga ga tau. Iya, paling Cuma berapa
bulan doang aku di sini, sekalian liburan juga.”
Alvin
mengerutkan keningnya, agak aneh saat Sivia bilang liburan, dia ingin
menanyakannya saat sebuah pertanyaan lain memaksa untuk keluar, “Oh iya,
kok tadi lo tau nama gue ?”
“Oh
itu, kemarin kan kita sempet ketemu di perpustakaan, terus aku tanya Bu
Ira kamu siapa. Ga biasanya ada murid yang masih di perpus jam segitu.”
Jawab Sivia.
“Ehem
ehem… Sivia.” Ada sebuah suara yang sudah sangat Alvin hapal menyapa
teman barunya, membuat Alvin dan Sivia menoleh ke arahnya.
“Eh, kamu. Kenapa ?” jawab Sivia dengan nada yang menurut Alvin diramah-ramahkan.
“Nama gue…”
“Rio. Aku tahu.” Potong Sivia cepat.
“Oh.
Udah denger dari anak-anak ya siapa gue.” Kata Rio tampat tidak terlalu
kaget yang ditanggapi Sivia hanya dengan senyuman kecil.
“Gini,
gue Cuma mau kasih tau lo supaya lo ga salah milih temen, maksud gue lo
bisa bertemen sama kita, dibanding sama dia.” Ucap Rio langsung ke
pokok masalah dengan menyertakan pandangan pada Alvin di ujung
kalimatnya.
Alvin
yang langsung mengerti apa maksud Rio segera menundukkan kepala, yakin
sebentar lagi satu-satunya teman yang dia punya tidak akan mau berteman
dengannya lagi.
“Gue Cuma mau kasih tau kalau Alvin ini hm… gimana ya, bisa dibilang ga punya apa pun buat dibanggain.” Kata Rio lagi.
Sivia
mengerutkan keningnya, lalu menjawab dengan yakin, “makasih atas
peringatannya, tapi aku tahu harus bertemen sama siapa. Dan kamu salah
kalau bilang Alvin ga punya apa pun buat dibanggain, seenggaknya dia ga
ngatur orang lain buat bertemen sama siapa, dan dia ga ngatain orang
lain, ga kayak kamu.”
Rio
tampak seperti habis ditampar, Alvin cukup yakin jika Sivia laki-laki
pasti Rio sudah menghajarnya. Setelah mengontrol raut wajahnya, Rio
berkata, “Ya udah kalau lo ga mau di kasih tau, lo bakal tau kalau tetep
di deket Alvin, lo bakal dijauhin sama yang lain.”
Sivia Cuma membalas ucapan Rio dengan tatapan mencela. Sementara Rio dan komplotannya pergi dari sana.
“Siv,
gue rasa yang mereka bilang bener, lo ga seharusnya…” Alvin baru saja
ingin memberitahu Sivia pandangannya soal larangan Rio itu.
“Shttt… coba liat mereka.” Potong Sivia, matanya masih mengikuti Rio dan teman-temannya berjalan.
Mau
tidak mau Alvin menoleh ke arah yang ditujunya, seketika itu juga dia
tak mampu menahan tawanya dan rupanya tidak hanya Alvin, Sivia pun
tertawa lebih keras di sebelahnya.
“SIAPA
YANG BUANG KULIT PISANG DI SINI ?!” teriak Rio murka dengan wajah
merah, entah karena benar-benar marah atau saking malunya jatuh di depan
anak-anak di kelas. Seketika tawa yang lain berhenti, mereka mulai
takut akan jadi sasaran kemarahan Rio, mereka mulai saling pandang
dengan ngeri.
Sivia
tiba-tiba saja menarik tangan Alvin, mengajaknya menghampiri Rio dan
genknya, “tau ga sih, yo ? aku rasa ga penting siapa yang buang kulit
pisang di situ. Kalau aja kamu ga terlalu ngangkat dagu sombong waktu
jalan, kamu bakal liat ada kulit pisang di situ, dan bisa ngindarinnya.
Nih aku kasih liat caranya.” Ucap Sivia.
Sivia
menarik tangan Alvin, mau tidak mau Alvin mengikutinya, mereka berjalan
melangkahi kulit pisang yang masih ada di lantai. Begitu selesai, Sivia
berbalik ke arah Rio dan genknya lalu berkata, “liat. Gampang kan, asal
sesekali kamu liat ke bawah aja. Aku aja bisa. Bahkan Alvin yang tadi
kamu bilang ga punya apa pun buat dibanggain aja bisa.”
Meninggalkan
Rio yang masih menunjukkan tatapan ingin membunuh dan beberapa anak
lain yang masih ada di kelas, Sivia menarik Alvin untuk ketiga kalinya
seraya berkata, “ke kantin yuk, Vin. Liat jalannya, jangan sampe
kepeleset.”
***
Hari-hari
berikutnya yang dialami Alvin tidak mungkin lebih baik lagi. Sivia
selalu membelanya jika Rio dan teman-temannya mengejeknya. Tidak hanya
itu, entah mengapa, setiap usaha Rio dan komplotannya untuk mengerjai
Alvin selalu gagal. Seperti beberapa hari yang lalu, saat Rio memberikan
sebuah kotak lagi kepada Alvin, Alvin terpaksa membuka kotak itu lagi
dengan takut, tapi alangkah kagetnya dia saat tahu isi kotak itu adalah
cokelat, rupanya bukan hanya dia yang kaget, karena Rio dan genknya pun
menunjukkan pandangan kaget yang sama, yang meyakinkan Alvin bahwa isi
kotak itu awalnya bukanlah cokelat.
Dua
hari yang lalu, saat Alvin dipaksa untuk segera duduk di kursinya
begitu bel masuk istirahat berbunyi, Alvin cukup yakin akan ada sesuatu
di kursinya, tapi justru dia tidak apa-apa. Malah Riolah yang harus
menanggung malu karena celananya menempel di kursinya.
Baru
saja kemarin saat Alvin diberitahu ada PR dari Bu Winda oleh Rio, yang
langsung dikerjakan Alvin secepatnya sebelum bel berbunyi, namun justru
Rio yang tidak mengerjakan PR. Waktu Bu Winda bertanya mengapa Rio tidak
mengerjakan PR, Rio menjawab memang tidak ada PR, tapi nyatanya semua
anak di kelas mengerjakan PR. Hal ini jelas menambah kebingungan Rio,
karena sepertinya PR yang dia beritahu pada Alvin harusnya tidak ada,
harusnya hanya Alvin yang mengerjakannya. Dan Rio harus menulis kalimat
‘saya tidak akan lupa mengerjakan PR dan tidak akan membantah PR yang
sudah diberitahu’ sebanyak 100 kali.
Hari ini rupanya Rio sudah kapok mengerjai Alvin, karena sejak pagi, ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengerjai Alvin.
“Lo
tau ga Siv ? gue ga pernah setenang ini di sekolah, sejak lo dateng
kayaknya Rio ga pernah berhasil ngerjain gue.” Kata Alvin jam istirahat
itu di kelas, memakan bekalnya bersama Sivia.
“Bukannya kayaknya, tapi emang iya. Aku yang selalu cegah dia ngerjain kamu.” Jawab Sivia tersenyum penuh arti.
“Wah, gimana caranya ?” tanya Alvin agak terkejut.
Sivia
tampak memijat-mijat tangannya, memandang berkeliling kelas seolah
memastikan hanya ada dia dan Alvin di ruangan itu. Kemudian, dia
menjawab pelan, hampir berbisik, “aku ini penyihir.”
***
Butuh
beberapa detik bagi Alvin untuk mencerna maksud dari perkataan Sivia,
hingga akhirnya dia tertawa kecil selama beberapa saat, “lo becandanya
ada-ada aja Siv.” Ucapnya.
Sivia
menunjukkan wajah terkejut pada Alvin, tidak lama karena wajah itu
langsung menunjukkan pandangan kecewa, seolah dia sudah diragukan karena
bilang 1+1=2, “kok kamu ketawa gitu sih ?” tanyanya dengan nada sedikit
kesal.
Alvin diam sebentar untuk menimbang-nimbang apa yang akan dia katakan, “jadi itu bener ?” tanyanya.
Sivia memberi pandang mencela pada Alvin sebelum membuang mukanya, “kamu ga percaya ?” ucapnya masih dengan nada kesal.
Alvin
menganga, bingung pada sikap Sivia sekaligus pada fakta yang baru
didengarnya, setelah beberapa kali berusaha bicara yang hanya
menghasilkan katupan mulutnya, dia berhasil mengeluarkan pendapatnya,
“kalau lo bilang itu bener, gue percaya, tapi…”
“Bilang
aja kamu ga percaya, susah banget sih. Aku udah capek-capek belain
kamu, aku selalu ngawasin kamu dijailin Rio, aku juga udah bantuin kamu,
aku juga udah mau bertemen sama kamu, padahal ga ada yang mau bertemen
sama kamu, tapi kamu ga percaya sama omongan aku.” Sivia berujar marah,
menatap Alvin dengan pandangan tajam, tanpa aba-aba dia langsung pergi
dari kelas itu.
“Sivia
!” Alvin berteriak dan berlari mengejar Sivia, tapi baru saja tiba di
pintu kelas Bu Winda muncul dan menyuruhnya untuk masuk, bel masuk telah
berbunyi.
***
Alvin
keluar dari ruang guru dengan tampang lesu. Sudah hampir 2 jam dia
berkeliling sekolah mencari Sivia, namun tidak ia temukan, bahkan Bu Ira
pun tidak terlihat. Dia benar-benar merasa sedih sekaligus kesal pada
dirinya sendiri. Dia sudah membuat satu-satunya teman yang ia punya
tidak mau lagi berteman dengannya. Alvin terus melangkah keluar gerbang
sekolahnya, dia menengok ke kanan dan kirinya, seolah berharap Sivia
akan muncul dari belokan seraya tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
Alvin
menghela nafas seraya menundukkan kepalanya, sadar bahwa harapannya
tidak mungkin terjadi. Ada yang menepuk-nepuk tangannya, membuat Alvin
menoleh kearah kanannya, seorang anak kecil.
“Kenapa ya ?” Tanya Alvin pada anak laki-laki yang menepuk pergelangan tangan kanannya.
“Ini buat kakak.” Ucap anak itu, menyodorkan sebuah buku di tangannya.
Alvin
mengerutkan keningnya, butuh beberapa waktu sebelum Alvin menyadari
buku yang disodorkan anak itu, itu buku yang dijatuhkan Sivia di
perpustakaan saat Alvin melihatnya pertama kali. Alvin menyodorkan
tangannya menerima buku itu. Buku itu masih sama persis seperti yang ada
dalam ingatannya. Sampulnya berwarna cokelat gelap dengan huruf yang
tidak dia kenal.
“Kamu siapa ? dari mana dapet buku ini ?” tannya Alvin pada anak itu.
Anak
itu Cuma tersenyum, “itu punya kak Via, Ray kasih supaya kakak percaya
sama kak Via, dia sedih banget gara-gara kakak ga percaya sama dia.”
Jawab anak itu.
Alvin
membulatkan matanya, dengan agak menahan nafas, dia membuka
halaman-halaman buku itu. Buku itu ajaib. Bahasa dan hurufnya memang
tidak Alvin kenal, tapi ilustrasi gambar yang ada di sudut-sudut halaman
itu mampu membuatnya mengerti. Seperti halaman pertama, ada gambar
seorang anak laki-laki sipit yang sedang berjalan di lapangan, Alvin
langsung mengenali gambar itu sebagai dirinya karena selain memang
mirip, di bawah gambar itu terdapat satu-satunya kata yang ia bisa baca,
namanya ‘ALVIN’. Halaman-halaman lainnya menceritakan tentang hari-hari
yang ia lalui bersama Sivia, buku itu menjelaskan bagaimana usaha Rio
mengerjainya selalu gagal, sekali lagi, ia memang tidak mengerti bahasa
dan tulisan buku itu, tapi ilustrasi gambar itu menjelaskan dengan
sangat lengkap, karena gambar itu tidak hanya diam, gambar itu bergerak.
Alvin
mendongakkan kepalanya dari buku itu, siap mengatakan bahwa ia percaya,
dia menatap anak laki-laki itu, “mau anter kakak ke kak Via ?”
tanyanya.
Anak
laki-laki itu mengangguk senang, seolah memang itulah tujuannya datang
dan menemui Alvin, anak itu segera berlari dan tahu-tahu sudah tiba di
seberang jalan raya, melambaikan tangannya agar Alvin mengikutinya.
Tanpa pikir panjang, Alvin segera melangkahkan kakinya menyeberangi
jalan raya, tanpa menoleh ke kanan kirinya.
“ALVIN!!!”
ada yang meneriakkan namanya, tidak hanya satu orang, namun dua orang.
Belum sempat Alvin berbalik untuk mengetahui siapa yang memanggilnya,
sebuah tubuh sudah menubruknya dan mendorongnya ke pinggir jalan.
Sebelum tahu lebih banyak apa yang terjadi, semua sudah gelap.
***
“Sekarang
denger tante, Sivia, Ray, kalian ga akan tante laporin, tapi…” suara
itu terdengar samar dan rasanya sangat jauh dari telinga Alvin.
“Tante, Alvin udah sadar.” Ada suara lain, kali ini lebih jelas seiring dengan mulai membukanya mata Alvin.
Yang
pertama Alvin lihat adalah wajah Sivia yang setengah tersenyum setengah
khawatir, dia bersorak kecil saat Alvin tersenyum menyapanya.
“Ini di mana ?” Tanya Alvin pelan.
“Di
rumah sakit, tadi waktu Rio dorong kamu, kalian nabrak trotoar, untung
gapapa, Cuma luka kecil.” Suara yang menjawab adalah milik seorang
wanita paruh baya yang baru Alvin sadari adalah Bu Ira.
“Rio ?” Tanya Alvin heran.
“Iya,
tadi kamu hampir ketabrak mobil waktu nyebrang ngejar Ray, terus Rio
dorong kamu ke pinggir jalan.” Jawab Bu Ira lagi menjelaskan.
Alvin membelalakkan matanya jelas sangat heran. Rio menolongnya ? musuh besarnya menolongnya ?
Tampaknya
kejutan untuk Alvin tidak hanya sampai situ, seorang anak laik-laki
sudah muncul menyeruak antara Sivia dan Bu Ira untuk bicara dengannya,
“maafin Ray ya kak. Gara-gara ngejar Ray, kakak jadi begini.” Ucap anak
itu.
Alvin menatap anak itu, jadi namanya Ray, “gapapa. Tapi kamu siapa ?” ucapnya.
“Dia
adik aku, aku pernah bilang kan sama kamu kalau aku sama adik aku lagi
liburan di rumah tante Ira.” Kali ini Sivia yang menjawab.
“Gue… ga… ngerti…” ucap Alvin terbata-bata, terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia ungkapkan.
Bu Ira terlihat menghela nafas, lalu dia mulai bercerita, “Sivia dan Ray adalah penyihir.” Ucapnya.
“Itu
saya udah tahu, saya percaya.” Potong Alvin seraya memandang Sivia
dengan tatapan minta maaf yang dibalas Sivia dengan senyuman senang.
“Sivia
dan Ray sekolah di sekolah penyihir, orang tua mereka sedang bertugas
di pedalaman sekarang, mereka dititipkan pada ibu untuk beberapa bulan,
kebetulan sekali sekarang mereka sedang liburan dari sekolah mereka.” Bu
Ira melanjutkan bercerita.
“Sivia
selalu ikut ibu ke sekolah, di sekolah dia selalu merhatiin kamu, dia
bilang dia mau bantuin kamu, sampai akhirnya dia maksa ibu buat masukkin
dia ke sekolah supaya bisa bertemen sama kamu. Kamu inget kan waktu
pertama kali ketemu Sivia di perpustakaan ?” ucap Bu Ira diakhiri dengan
pertanyaan.
Alvin mengangguk, “buku itu…”
Bu
Ira menaikkan tangan kanannya meminta agar ia tidak disela, “Ibu
menuruti kemauan Sivia, dia berteman dengan kamu dan ngebantu kamu dari
Rio menggunakan ilmu sihirnya. Rupanya Sivia memilih untuk memberitahu
kamu tentang siapa dia sebenernya, tapi kamu ga percaya. Sivia kesel
terus pulang ke rumah, dia cerita sama Ray, adiknya. Ray berpendapat
untuk menunjukkan buku diary Sivia ke kamu dan membawa kamu ke Sivia,
tapi malah terjadi seperti ini. Kamu hampir ketabrak, Rio menolong kamu
dan kepala kalian membentur trotoar.”
“Tapi tadi ga Cuma suara Rio yang manggil saya, ada suara lain.” Alvin memberitahu.
“Itu
suara aku, aku ngikutin Ray, dan waktu kamu ketabrak, aku pake sihir
aku buat berentiin mobil itu.” Kali ini Sivia yang menjelaskan.
Bu
Ira kembali menghela nafas, “masalahnya Alvin, Sivia dan Ray ga boleh
ngasih tau kalau mereka penyihir selain kepada keluarganya, dan kamu
udah tau.” Katanya.
“Terus gimana ?” Tanya Alvin, entah kenapa perasaannya tidak enak.
“Penyihir
dibawah 17 tahun yang sudah ketahuan harus menghapus ingatannya dari
orang yang sudah tahu tentang dirinya, jadi Sivia dan Ray harus
menghapus ingatan kamu tentang mereka.” Jawab Bu Ira.
“Tapi saya ga mau lupa sama Sivia.” Kata Alvin, “juga Ray.” Tambahnya.
Sivia
menundukkan kepala sehinga Alvin tidak dapat melihat wajahnya, tapi
guncangan kecil pada bahu anak itu cukup membuat Alvin sadar bahwa dia
menangis.
“Itu
harus dilakukan, atau kalau tidak, Sivia dan Ray akan dihukum dan
dihapus ingatannya selama ini, mereka ga akan kenal orang tua mereka
lagi dan hidup sebagai orang biasa.” Bu Ira menerangkan, “tentunya kamu
ga mau Sivia dan Ray lupa sama orang tua mereka kan ?” tambahnya.
Alvin seperti dicabik-cabik sekarang, “jadi… kapan ingatan saya dihapus ?” ucapnya pelan.
“Sekarang.” Jawab Bu Ira langsung.
“Alvin,
buku ini buat kamu.” Tiba-tiba Sivia sudah tidak menunduk lagi, dia
menyodorkan buku yang tadi sempat Alvin terima dari Ray.
“Buat gue ?” Tanya Alvin kaget.
Sivia mengangguk, “walaupun nanti kamu udah dihapus, kamu bakal… liat nanti aja, kamu bakal ngerti.” Kata Sivia.
Alvin
menerima buku itu dari Sivia, “kamu temen terbaik yang pernah aku
punya, Siv. Walaupun bisa dibilang kamu satu-satunya temen yang aku
punya.” Kata Alvin.
“Kamu juga.” Balas Sivia, dia tersenyum.
“Kak
Alvin, sekali lagi maafin Ray ya. Kalau udah waktunya kita ketemu lagi
ya.” Ray juga mengucapkan sebuah salam perpisahan untuk Alvin.
“Iya, Ray, nanti kita ketemu lagi ya.” Balas Alvin.
“Sudah siap ?” Tanya Bu Ira.
Tiba-tiba Alvin ingat sesuatu yang harus dia tanyakan, “di mana Rio ?”
“Dia
ada di ranjang sebelah, belum sadar. Begitu ingatan kamu dihapus,
ingatan Rio dan semua orang yang mengenal Sivia juga akan hilang.” Jawab
Bu Ira menjelaskan.
“Tapi…” Alvin mulai gelisah di tempat tidurnya.
Bu
Ira tersenyum menenangkan, “Dampak kehadiran Sivia ga akan hilang,
tenang aja, Rio ga akan kembali jadi jahat sama kamu, dia tetap akan
ingat sudah baik sama kamu. Dia tetep akan inget kalau dia menyelamatkan
kamu.”
Alvin tersenyum, “kalau begitu, saya sudah siap.” Ujarnya mantap.
Bu
Ira menatap Sivia dan Ray bergantian, yang ditatap mulai mengucapkan
sesuatu dari mulutnya. Alvin mulai merasa ada yang aneh dengan
kepalanya, sebelmu bayangan Sivia dan Ray hilang, dia berbisik, “terima
kasih.” Yang ia yakin pasti bisa Sivia dengar.
***
Alvin
membuka matanya perlahan. Sesuatu di bawah punggungnya mengganjal
tidurnya, dia meraih benda itu dan mendapati sebuah buku.
“Alvin,
lo udah sadar ?” sebuah suara dari ranjang sebelah mengagetkan Alvin.
Alvin menengok ke sebelah kirinya dan mendapati sebuah tirai pembatas
antara ranjangnya dengan ranjang orang itu.
Alvin diam sebentar sebelum menjawab, “Rio ?” ucpanya.
“Iya. Lo gapapa ?” jawab dan Tanya Rio.
“Gapapa.” Jawab Alvin. “Lo ?” tanyanya.
“Gapapa.” Jawab Rio.
Alvin
diam cukup lama sebelum ingat apa yang terjadi, dia diselamatkan oleh
Rio saat menyeberang jalan, “Yo, makasih ya.” Ucapnya.
“Gapapa. Gue juga mau minta maaf selama ini udah jailin lo. Lo mau kan maafin gue ?” Balas Rio.
“Setelah yang lo lakuin sama gue tadi ? pastinya gue maafin lo.” Jawab Alvin.
“Makasih, Vin.” Jawab Rio.
Mereka
menyudahi percakapan tanpa saling pandang itu. Pikiran Alvin sekarang
tertuju pada bagaimana ia bisa sampai di sini dan bagaimana Rio bisa
menjadi baik padanya, tapi tiap kali ia berusaha mengingatnya kepalanya
mulai terasa sakit, jadi dia tidak mencoba lagi. Dia kini memusatkan
pikirannya pada buku yang ada dalam genggamannya.
“Buku
aneh.” Ucapnya saat menutup sampul belangkang buku itu, setelah
berusaha membaca semua halaman. Buku itu berisi bahasa dan tulisan yang
tidak ia kenal, dan ilustrasi gambar di tiap halamannya.
Sejenak
Alvin ingin membuang buku itu di tempat sampah di samping tempat
tidurnya, tapi entah mengapa ia tidak sanggup, ia justru kembali membuka
buku itu, menikmati perasaan menyenangkan yang ia sendiri tidak tahu
apa namanya.
***
8 tahun kemudian…
“Gue
XII IA 3, Yo. Lo kelas mana ?” ucap seorang laki-laki yang memegang
sebuah buku saat melihat namanya di sebuah kertas pembagian kelas.
“Bentar.” Yang dipanggil Yo masih sibuk meneliti daftar dihadapannya, tak berapa lama dia berseru senang, “sama, Vin.” Ucapnya.
“Ya
ampun dari kelas 4 SD sampe sekarang kenapa lo selalu sekelas sama gue
sih ?” ucap si laki-laki pertama, Alvin, pura-pura kesal.
“Oke Vin kalau gitu.” Balas laki-laki kedua, Rio dengan nada ngambek.
“Hehe senyum dong. Masa jagoan karate dibecandain dikit ngambek.” Goda Alvin.
“Bacot.” Balas Rio tersenyum kecil.
Dua
sahabat itu melangkah bersama menuju kelas baru mereka dengan semua
mata perempuan menatap mereka. Siapa yang tidak kenal mereka. Rio si
jago karate yang sudah memenangkan banyak lomba. Di sebelahnya Alvin,
top scorer tim futsal SMA mereka yang sudah membawa banyak piala untuk
sekolah. Di tambah paras tampan yang mereka miliki, siapa yang tidak
akan melihat mereka.
“Rioooooo!!!!!!” teriakan yang sudah sangat mereka hafal tiba-tiba terdengar.
“Aduh mak lampir.” Keluh Rio kecil.
“Apa
lo bilang ?” orang yang tadi berteriak sudah muncul di depan mereka,
menatap Rio dengan penuh amarah, sambil bertolak pinggang.
“Aduh Ify… baru juga masuk kenapa teriak-teriak sih ?” ucap Rio.
“Kenapa
lo bilang ? kenapa ? harusnya gue yang tanya kenapa lo ga dateng di
acara perpi ? lo PJ kan yo ? gara-gara ulah lo gue yang harus ngatur
semuanya.” Omelan Ify sudah mulai keluar.
Rio terlihat menelan ludah.
“Mmm,
Yo, gue mau ke kelas dulu, nyari bangku buat kita, ntar yang enak udah
keburu diambil. Tenang aja. Kita sebangku kan. Tempat lo gue tek. Dah.”
Ucap Alvin cepat sebelum berlari meninggalkan bahaya yang sebentar lagi
akan terjadi.
Rio memberikan pandangan mengancam pada Alvin, seolah ingin menyusulnya, namun ditahan Ify.
Alvin tertawa kecil sambil berlari, masih sesekali menengok ke belakang.
BRUK!!!
Saking seringnya menengok ke belakang, Alvin tidak menyadari jalan di
depannya dan dia menabrak seorang perempuan. Dia dan perempuan itu
terjatuh.
“Aw. Sorry.” Ucapnya.
Perempuan
itu menghiraukan permintaan maaf Alvin, pandangannya jatuh pada buku
yang terlepas dari tangan Alvin saat mereka terjatuh. Dia mengambil buku
itu dan menunduk memandangnya untuk beberapa saat. Tak lama ia
mendongak dan bertanya, “ini punya kamu ?”
“ehm… iya.” Jawab Alvin. Menyodorkan tangan untuk mengambil buku itu.
Bukannya
mengembalikan bukunya, perempuan itu justru membuka buku itu,
mengucapkan sesuatu dengan bisikan, setelah itu mengembalikannya pada
Alvin.
Alvin
menerima buku itu dan membukanya. Serentak dia membelalakkan matanya
saat melihat ilustrasi gambar di buku itu bergerak. Dia menatap
perempuan yang ditabraknya dengan pandangan ingin tahu.
Perempuan itu tersenyum, “Kenalkan lagi, aku Sivia, penyihir yang baru aja berulang tahun yang ke-17.”
Tanpa
komando ingatan-ingatan bermunculan di kepala Alvin, tiba-tiba saja dia
ingat apa yang dia lupakan, “hai lagi Sivia.” Balasnya.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar