Sabtu, 30 Juni 2012

SEMUA ADA DALAM PIKIRANMU (cerpen alvia)

SEMUA ADA DALAM PIKIRANMU 

“Heh cowok aneh !” Alvin sudah tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang dimaksud cowok aneh dan siapa yang menyuarakan kalimat perintah bernada mengejek itu. Dia sudah tau yang dimaksud cowok aneh adalah dirinya, sedangkan yang meneriakkan kalimat itu adalah Rio, cowok bandel di SDnya.
Postur tubuh Rio memang kecil, bahkan bisa dibilang lebih kecil dari Alvin, tapi kemampuannya dalam karate mampu menarik anak-anak besar lain dengan tampang mengerikan untuk menjadi teman-temannya, bersama-sama mereka membuat genk yang paling ditakuti di sekolah. Hobi genk itu apalagi kalau bukan mengerjai Alvin, cowok teraneh dengan postur tubuh hanya sedikit lebih besar dari Rio, yang cara jalannya canggung, dan ekspresi yang menurut teman-temannya selalu minta dihajar.
“Heh lo ga denger kita manggil ?” suara lain, itu suara Septian, dia salah satu teman Rio yang berbadan besar, selalu mengikuti Rio kemanapun dia pergi, dan menurut Alvin dia seperti anjing penjaga besar dengan Rio sebagai tuannya.
Panggilan kedua dari Rio dan komplotannya mau tak mau membuat Alvin menoleh, dia menghela nafas sebelum melangkahkan kakinya mendekati genk itu, “kenapa ?” tanyanya pelan.
“Kita punya sesuatu buat lo.” Ucap Rio dengan nada yang meyakinkan Alvin sesuatu yang dimaksud Rio pastilah tidak menyenangkan untuk Alvin.
“Lo harus terima kasih sama kita karena kita udah berbaik hati ngasih lo hadiah.” Kali ini yang bicara anak lain yang Alvin tidak tahu namanya.
“Nih.” Rio menyodorkan sebuah kotak kecil kepada Alvin, yang ditatap Alvin dengan pandangan ragu-ragu dan yakin isinya pastilah tidak menyenangkan, jadi Alvin Cuma diam memandang kotak itu tanpa mengambilnya dari Rio.
“Ambil !” suruh Rio dengan nada yang tidak seperti membujuk orang untuk menerima hadiah, tapi lebih seperti memaksa.
Sambil menelah ludah Alvin mengambil kotak kecil itu, berniat segera pergi dari sana dan membuangnya di tempat sampah pertama yang ia lihat, “makasih.” Ucapnya cepat seraya berbalik.
“Eits…” tangan Rio yang kecil menarik kerah kemeja Alvin dan membuatnya tidak bisa melangkah, Rio juga memaksa Alvin kembali berbalik padanya. “Yah… kita mau liat apa lo suka hadiahnya. Jadi… buka sekarang !” tambahnya diakhiri dengan nada dan pandangan mata yang tajam mengancam.
Lagi-lagi Alvin menelan ludah dan dengan tangan gemetar dia membuka kotak itu. Awalnya Alvin mengira itu kotak kosong atau apa, tapi kemudian ada yang keluar dari dalam kotak itu, tidak hanya satu, tapi banyak, diantaranya ada yang merayap ditangannya, tapi sebagian besar terbang mengelilingi kelas. Tak perlu banyak waktu untuk Alvin sadar apa itu, bahkan seandainya pun ia tidak melihat apa yang keluar dari sana, teriakan semua anak perempuan di kelas cukup membuatnya tahu bahwa mahluk itu adalah “KECOAAAAA!!!!!!”
Alvin yang sangat membenci binatang itu segera berteriak dan melempar kotak itu seraya sibuk menyingkirkan kecoa yang tadi merayap di tangannya. Tak butuh waktu lama, kelas menjadi sangat rebut. Ditengah hiruk pikuk itu hanya genk Rio yang tertawa terbahak-bahak melihat rencana mereka berhasil.
“ADA APA INI ? KENAPA KALIAN RIBUT ?” suara Bu Winda yang kini ada di pintu kelas tidak mampu meredam kekacauan itu. Bahkan tak ada yang menyadari kedatangannya kecuali, Rio, yang memberitahukan sesuatu kepadanya. Alvin tak tahu apa yang dikatakan oleh Rio, tapi pastilah membahayakan dirinya, karena Bu Winda langsung menatap ke arahnya dengan pandangan tajam penuh kemarahan.
Untuk ketiga kalinya Alvin menelan ludahnya hari itu, tahu bahwa hal yang lebih buruk akan menimpanya. 

*** 

Alvin memijit bahunya kanan dengan tangan kirinya. Sudah kira-kira 2 jam dia di sini, menyortir buku-buku yang ada di sana. Sambil mengambil sebuah novel fiksi terjemahan, dia menggerutu dalam hati terhadap anak-anak yang meminjam buku dan tidak mengembalikannya dengan benar pada tempatnya, terus menggerutu dalam hati hingga ia sadar bahwa ia sendiri sering melakukannya, pikiran tidak menyenangkan, dan membuatnya berjanji jika ia berkesempatan meminjam buku di perpustakaan manapun dan harus mengembalikan buku, maka akan dia pastikan dia sudah menaruh buku itu dengan benar sesuai dengan tempatnya.
Alvin benar-benar kesal pada Rio sekarang, siapa sangka, anak itu mengadu pada Bu Winda bahwa dialah yang melepas kecoa itu di kelas. Yah Rio tidak sepenuhnya salah karena memang dia yang membuka kotak kecil itu dan membuat puluhan kecoa beterbangan di kelas, tapi Alvin kan melakukannya karena Rio yang menyuruhnya. Alvin tak bisa membantah saat Bu Winda menghukumnya dengan menyortir buku-buku di perpustakaan, apalagi teman-teman sekelasnya terlalu takut pada Rio untuk memberitahu Rio lah yang salah. Jadilah Alvin mendekam di perpustakaan sekolahnya merapikan buku-buku hanya dengan ditemani penjaga perpustakaan yang untungnya sangat baik, tak hentinya menghibur Alvin dan tanpa bertanya membantu Alvin menyortir buku itu.
“Alvin, ibu mau beli minum sama makanan sebentar. Kamu masih di sini kan ?” ucap Bu Ira, penjaga perpustakaan itu seraya menghampiri Alvin yang sedang menaruh novel Harry Potter di deretan buku fiksi terjemahan.
“Oh, iya bu. Masih banyak yang harus saya sortir.” Jawab Alvin.
Bu Ira tersenyum lalu kembali berkata, “Kamu mau minum apa ?”
“Ga perlu repot-repot, bu.” Tolak Alvin halus.
“Jangan nolak, kamu kan udah bantuin ibu dari tadi.” Ucap Bu Ira lagi.
“Air putih dingin aja, bu.” Jawab Alvin malu, sadar bahwa sebenarnya dialah yang dibantu. “terima kasih.” Tambahnya.
“Ok. Tunggu ya.” Pamit Bu Ira sebelum dia meninggalkan ruang perpustakaan itu.
Alvin tersenyum sebelum kembali melanjutkan menyortir buku yang seakan tak ada habisnya. Tiba-tiba saja Alvin merasa ada angin dingin yang berhembus di ruangan itu. Mau tidak mau Alvin merasa sedikit takut, dia tahu sudah banyak cerita menyeramkan yang tersiar di sekolah, tapi dia mencoba menenangkan diri dengan berkata dalam hati, ‘itu hanya AC.’
Entah kenapa tiba-tiba ia merasa suasana perpustakaan menjadi sangat mengerikan. Ruangan besar itu sebenarnya cukup menyenangkan, dengan dua AC dimana yang satu diatur sesuai suhu ruang dan satunya selalu berangka 16. Meja panjang dengan karpet tebal jika murid ingin membaca buku secara lesehan, beberapa jejer kursi dan meja dilengkapi pembatas untuk murid yang lebih suka duduk di kursi, bahkan karpet tebal lebar yang bisa digunakan untuk diskusi pelajaran Bahasa Indonesia ataupun jika murid yang cukup berani ingin membaca sambil tiduran di sana. Semua itu ditambah beberapa set komputer dilengkapi printer, scanner, dan tercapai jaringan Wi-Fi, tak lupa yang paling penting beratus-ratus buku yang berjejer di rak-rak yang tersusun rapi, mulai dari yang berbahasa Indonesia hingga Inggris dan Jepang, dua bahasa lain yang diajarkan di SD itu. Semua lengkap, membuat siapapun bahkan yang tidak suka membaca, sangat rela untuk sekedar duduk-duduk di sana. Yang jadi masalah adalah waktunya, jam sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB, dan siapapun tahu itu artinya hampir malam, ruangan yang begitu sempurna itu kini berubah mencekam, apalagi dengan hanya ada Alvin sendiri di ruangan itu.
BRUK ! Alvin tersentak hingga ia sedikit melompat di sana. Dia melihat sekeliling dan mulai mencari-cari apakah yang menyebabkan bunyi itu. Akhirnya Alvin menemukan seorang perempuan seumuran dengannya sedang memungut buku yang rupanya tadi terjatuh dan menimbulkan suara berdebam itu.
“Hei.” Panggil Alvin pada anak itu.
Anak perempuan itu menoleh dan memandang Alvin dengan kaget, ekspresinya seolah menyiratkan telah kepergok melakukan sesuatu yang salah. Cepat-cepat dia menaruh asal buku di tangannya ke rak buku, lalu pergi menjauhi Alvin.
“Hei.” Panggil Alvin lagi, dia berniat mengejar anak itu, tapi buku yang tadi anak itu taruh dengan asal di rak buku telah jatuh kembali, tepat di depan Alvin dan menghentikan langkahnya. Dia memungut buku itu, melihat sampulnya, tertulis dengan huruf yang tidak ia kenal. Bukan huruf latin dan juga bukan hiragana, katakana, ataupun kanji. Itu artinya buku itu harusnya tidak ada di section ini, karena ini untuk buku cerita yang hanya mengguanakan huruf hiragana. Alvin menatap buku itu bingung cukup lama, hingga suara Bu Ira menyadarkannya.
“Oh, kamu di sini, ibu nyariin kamu. Ini minum kamu.” Kata Bu Ira sambil menyerahkan sebotol air mineral dingin pada Alvin, tapi saat itu dia menyadari buku apa yang sedang Alvin pegang, “kamu dapet buku itu dari mana ?” pekik Bu Ira agak aneh.
“Ehm… tadi ada anak perempuan yang mau naruh di sini, waktu saya mau nyamperin dia, dia malah lari.” Jawab Alvin.
Bu Ira tampak sangat gugup, ia mengerling buku itu dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu dia berkata, “begitu ya. Kalau begitu, kamu udah boleh pulang Alvin, udah hampir malem, biar ibu yang lanjutin nyortir bukunya.”
“Tapi Bu Winda…”
Bu Ira keburu memotong perkataan Alvin, “ibu yakin Bu Winda pasti ga mau anak muridnya yang baru kelas 4 SD pulang lewat dari Maghrib, dan kalau kamu ga segera pulang, bisa dipastiiin kalau kamu bakal pulang selewat Maghrib.”
Alvin hanya menggumam tidak jelas sebelum akhirnya dia mampu tersenyum senang dan berkata, “terima kasih.”
“Dan bukunya, vin. Biar ibu yang taruh.” Bu Ira menyodorkan tangannya meminta buku aneh yang Alvin pegang.
Tanpa ragu Alvin memberikan buku itu, dia memang sempat ingin tahu tadi, tapi godaan untuk segera pulang menderanya lebih hebat, sehingga ia mengucapkan terima kasih lagi pada Bu Ira sebelum pulang. 

*** 

Alvin memasuki kelas pagi itu dengan langkah canggung seperti biasa. Dia sudah menyiapkan kuping untuk mendengar cemoohan dari Rio dan gerombolannya.
“Eh liat siapa yang dateng ? Alvin… gimana nyortir bukunya kemarin ?” benar saja, cemoohan berasal dari Rio dan sudah sangat jelas ditujukan pada Alvin.
“Ah Yo, nyortir buku gue rasa masih keringanan buat dia. Maksud gue, ngelepasin kecoa bukan Cuma kesalahan yang dia bikin kan ?” Septian menimpali.
“Oh ya ? apa lagi ?” seorang anak besar lain bertanya.
“Cara jalannya dia itu lho, udah bikin mata kita sakit, dan menurut gue itu yang pantes buat dapet hukuman.” Jawab Septian dengan keras, sengaja agar seluruh anak di kelas mendengarnya.
Komplotan Rio tertawa keras-keras, tidak semua, karena beberapa tetap diam dan menunjukkan wajah bingung, “Maksudnya ?” Tanya merek yang tidak tertawa.
“Ah payah lo. Masa gitu aja ga ngerti, nilai bahasa Indonesia lo berapa sih ?” Seru Septian agak kesal karena candaannya tidak ditanggapi.
Alvin yang wajahnya sudah memerah karena malu, mau tidak mau tersenyum kecil, ternyata genk Rio lebih banyak dihuni orang berbadan besar yang tidak bisa menggunakan otaknya. Dengan perasaan itulah Alvin melanjutkan menuju bangkunya.
KRINGGG!!! Tepat selesai bel itu berbunyi, Bu Winda memasuki kelas bersama dengan seorang anak perempuan. Anak itu berdiri di belakang Bu Winda sementara ketua kelas menyiapkan yang lain untuk berdoa dan memberi salam.
“Anak-anak, sekarang kita kedatangan teman baru, pindahan dari Bandung. Silahkan perkenalkan diri kamu !” ucap Bu Winda, dengan memberikan pandangan pada anak perempuan pada saat mengucapkan kalimat kedua.
Anak perempuan itu tersenyum dan mengangguk kecil pada Bu Winda sebelum dia mulai bicara, “Nama saya, Sivia Azizah. Kalian bisa manggil saya Via atau Sivia. Saya pindahan dari Bandung. Mohon bantuannya.”
Anak-anak menggumam tidak jelas untuk menjawab kalimat Sivia yang terakhir, sementara Bu Winda kembali bicara, “kamu boleh duduk di tempat yang kosong Sivia.”
Mata Sivia mencari-cari di sekeliling kelas, dia menemukan satu-satunya bangku kosong, di samping Alvin, tanpa ragu Sivia segera menghampiri bangku itu.
Semakin dekat Sivia dengan Alvin, Alvin mulai menyadari Sivia adalah anak perempuan yang ditemuinya di perpustakaan kemarin sore. Alvin sudah akan memberikan senyum saat mata Sivia perlahan melebar saat melihatnya, dengan suara yang tidak lebih keras dari bisikan dia berkata, “Alvin.”
***
“Jadi lo keponakannya Bu Ira ?” Tanya Alvin pada saat istirahat.
“Iya.” Jawab Sivia sambil mengangguk, “mama sama papa harus pergi sebentar, terus aku sama adik aku dititipin ke tante Ira buat sementara.” Tambahnya.
“Lho ? mama papa kamu pergi ke mana ? berarti kamu ga selamanya di sini dong ? kalau mama papa kamu pulang, kamu balik tinggal sama mereka lagi.” Tanggap Alvin yang tampaknya agak kaget mendengar fakta ini.
Sivia terlihat berfikir sebentar, lalu dia menjawab, “mama papa harus tugas ke pedalaman gitu deh, tepatnya aku juga ga tau. Iya, paling Cuma berapa bulan doang aku di sini, sekalian liburan juga.”
Alvin mengerutkan keningnya, agak aneh saat Sivia bilang liburan, dia ingin menanyakannya saat sebuah pertanyaan lain memaksa untuk keluar, “Oh iya, kok tadi lo tau nama gue ?”
“Oh itu, kemarin kan kita sempet ketemu di perpustakaan, terus aku tanya Bu Ira kamu siapa. Ga biasanya ada murid yang masih di perpus jam segitu.” Jawab Sivia.
“Ehem ehem… Sivia.” Ada sebuah suara yang sudah sangat Alvin hapal menyapa teman barunya, membuat Alvin dan Sivia menoleh ke arahnya.
“Eh, kamu. Kenapa ?” jawab Sivia dengan nada yang menurut Alvin diramah-ramahkan.
“Nama gue…”
“Rio. Aku tahu.” Potong Sivia cepat.
“Oh. Udah denger dari anak-anak ya siapa gue.” Kata Rio tampat tidak terlalu kaget yang ditanggapi Sivia hanya dengan senyuman kecil.
“Gini, gue Cuma mau kasih tau lo supaya lo ga salah milih temen, maksud gue lo bisa bertemen sama kita, dibanding sama dia.” Ucap Rio langsung ke pokok masalah dengan menyertakan pandangan pada Alvin di ujung kalimatnya.
Alvin yang langsung mengerti apa maksud Rio segera menundukkan kepala, yakin sebentar lagi satu-satunya teman yang dia punya tidak akan mau berteman dengannya lagi.
“Gue Cuma mau kasih tau kalau Alvin ini hm… gimana ya, bisa dibilang ga punya apa pun buat dibanggain.” Kata Rio lagi.
Sivia mengerutkan keningnya, lalu menjawab dengan yakin, “makasih atas peringatannya, tapi aku tahu harus bertemen sama siapa. Dan kamu salah kalau bilang Alvin ga punya apa pun buat dibanggain, seenggaknya dia ga ngatur orang lain buat bertemen sama siapa, dan dia ga ngatain orang lain, ga kayak kamu.”
Rio tampak seperti habis ditampar, Alvin cukup yakin jika Sivia laki-laki pasti Rio sudah menghajarnya. Setelah mengontrol raut wajahnya, Rio berkata, “Ya udah kalau lo ga mau di kasih tau, lo bakal tau kalau tetep di deket Alvin, lo bakal dijauhin sama yang lain.”
Sivia Cuma membalas ucapan Rio dengan tatapan mencela. Sementara Rio dan komplotannya pergi dari sana.
“Siv, gue rasa yang mereka bilang bener, lo ga seharusnya…” Alvin baru saja ingin memberitahu Sivia pandangannya soal larangan Rio itu.
“Shttt… coba liat mereka.” Potong Sivia, matanya masih mengikuti Rio dan teman-temannya berjalan.
Mau tidak mau Alvin menoleh ke arah yang ditujunya, seketika itu juga dia tak mampu menahan tawanya dan rupanya tidak hanya Alvin, Sivia pun tertawa lebih keras di sebelahnya.
“SIAPA YANG BUANG KULIT PISANG DI SINI ?!” teriak Rio murka dengan wajah merah, entah karena benar-benar marah atau saking malunya jatuh di depan anak-anak di kelas. Seketika tawa yang lain berhenti, mereka mulai takut akan jadi sasaran kemarahan Rio, mereka mulai saling pandang dengan ngeri.
Sivia tiba-tiba saja menarik tangan Alvin, mengajaknya menghampiri Rio dan genknya, “tau ga sih, yo ? aku rasa ga penting siapa yang buang kulit pisang di situ. Kalau aja kamu ga terlalu ngangkat dagu sombong waktu jalan, kamu bakal liat ada kulit pisang di situ, dan bisa ngindarinnya. Nih aku kasih liat caranya.” Ucap Sivia.
Sivia menarik tangan Alvin, mau tidak mau Alvin mengikutinya, mereka berjalan melangkahi kulit pisang yang masih ada di lantai. Begitu selesai, Sivia berbalik ke arah Rio dan genknya lalu berkata, “liat. Gampang kan, asal sesekali kamu liat ke bawah aja. Aku aja bisa. Bahkan Alvin yang tadi kamu bilang ga punya apa pun buat dibanggain aja bisa.”
Meninggalkan Rio yang masih menunjukkan tatapan ingin membunuh dan beberapa anak lain yang masih ada di kelas, Sivia menarik Alvin untuk ketiga kalinya seraya berkata, “ke kantin yuk, Vin. Liat jalannya, jangan sampe kepeleset.”
***
Hari-hari berikutnya yang dialami Alvin tidak mungkin lebih baik lagi. Sivia selalu membelanya jika Rio dan teman-temannya mengejeknya. Tidak hanya itu, entah mengapa, setiap usaha Rio dan komplotannya untuk mengerjai Alvin selalu gagal. Seperti beberapa hari yang lalu, saat Rio memberikan sebuah kotak lagi kepada Alvin, Alvin terpaksa membuka kotak itu lagi dengan takut, tapi alangkah kagetnya dia saat tahu isi kotak itu adalah cokelat, rupanya bukan hanya dia yang kaget, karena Rio dan genknya pun menunjukkan pandangan kaget yang sama, yang meyakinkan Alvin bahwa isi kotak itu awalnya bukanlah cokelat.
Dua hari yang lalu, saat Alvin dipaksa untuk segera duduk di kursinya begitu bel masuk istirahat berbunyi, Alvin cukup yakin akan ada sesuatu di kursinya, tapi justru dia tidak apa-apa. Malah Riolah yang harus menanggung malu karena celananya menempel di kursinya.
Baru saja kemarin saat Alvin diberitahu ada PR dari Bu Winda oleh Rio, yang langsung dikerjakan Alvin secepatnya sebelum bel berbunyi, namun justru Rio yang tidak mengerjakan PR. Waktu Bu Winda bertanya mengapa Rio tidak mengerjakan PR, Rio menjawab memang tidak ada PR, tapi nyatanya semua anak di kelas mengerjakan PR. Hal ini jelas menambah kebingungan Rio, karena sepertinya PR yang dia beritahu pada Alvin harusnya tidak ada, harusnya hanya Alvin yang mengerjakannya. Dan Rio harus menulis kalimat ‘saya tidak akan lupa mengerjakan PR dan tidak akan membantah PR yang sudah diberitahu’ sebanyak 100 kali.
Hari ini rupanya Rio sudah kapok mengerjai Alvin, karena sejak pagi, ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengerjai Alvin.
“Lo tau ga Siv ? gue ga pernah setenang ini di sekolah, sejak lo dateng kayaknya Rio ga pernah berhasil ngerjain gue.” Kata Alvin jam istirahat itu di kelas, memakan bekalnya bersama Sivia.
“Bukannya kayaknya, tapi emang iya. Aku yang selalu cegah dia ngerjain kamu.” Jawab Sivia tersenyum penuh arti.
“Wah, gimana caranya ?” tanya Alvin agak terkejut.
Sivia tampak memijat-mijat tangannya, memandang berkeliling kelas seolah memastikan hanya ada dia dan Alvin di ruangan itu. Kemudian, dia menjawab pelan, hampir berbisik, “aku ini penyihir.”
***
Butuh beberapa detik bagi Alvin untuk mencerna maksud dari perkataan Sivia, hingga akhirnya dia tertawa kecil selama beberapa saat, “lo becandanya ada-ada aja Siv.” Ucapnya.
Sivia menunjukkan wajah terkejut pada Alvin, tidak lama karena wajah itu langsung menunjukkan pandangan kecewa, seolah dia sudah diragukan karena bilang 1+1=2, “kok kamu ketawa gitu sih ?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.
Alvin diam sebentar untuk menimbang-nimbang apa yang akan dia katakan, “jadi itu bener ?” tanyanya.
Sivia memberi pandang mencela pada Alvin sebelum membuang mukanya, “kamu ga percaya ?” ucapnya masih dengan nada kesal.
Alvin menganga, bingung pada sikap Sivia sekaligus pada fakta yang baru didengarnya, setelah beberapa kali berusaha bicara yang hanya menghasilkan katupan mulutnya, dia berhasil mengeluarkan pendapatnya, “kalau lo bilang itu bener, gue percaya, tapi…”
“Bilang aja kamu ga percaya, susah banget sih. Aku udah capek-capek belain kamu, aku selalu ngawasin kamu dijailin Rio, aku juga udah bantuin kamu, aku juga udah mau bertemen sama kamu, padahal ga ada yang mau bertemen sama kamu, tapi kamu ga percaya sama omongan aku.” Sivia berujar marah, menatap Alvin dengan pandangan tajam, tanpa aba-aba dia langsung pergi dari kelas itu.
“Sivia !” Alvin berteriak dan berlari mengejar Sivia, tapi baru saja tiba di pintu kelas Bu Winda muncul dan menyuruhnya untuk masuk, bel masuk telah berbunyi. 

*** 

Alvin keluar dari ruang guru dengan tampang lesu. Sudah hampir 2 jam dia berkeliling sekolah mencari Sivia, namun tidak ia temukan, bahkan Bu Ira pun tidak terlihat. Dia benar-benar merasa sedih sekaligus kesal pada dirinya sendiri. Dia sudah membuat satu-satunya teman yang ia punya tidak mau lagi berteman dengannya. Alvin terus melangkah keluar gerbang sekolahnya, dia menengok ke kanan dan kirinya, seolah berharap Sivia akan muncul dari belokan seraya tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
Alvin menghela nafas seraya menundukkan kepalanya, sadar bahwa harapannya tidak mungkin terjadi. Ada yang menepuk-nepuk tangannya, membuat Alvin menoleh kearah kanannya, seorang anak kecil.
“Kenapa ya ?” Tanya Alvin pada anak laki-laki yang menepuk pergelangan tangan kanannya.
“Ini buat kakak.” Ucap anak itu, menyodorkan sebuah buku di tangannya.
Alvin mengerutkan keningnya, butuh beberapa waktu sebelum Alvin menyadari buku yang disodorkan anak itu, itu buku yang dijatuhkan Sivia di perpustakaan saat Alvin melihatnya pertama kali. Alvin menyodorkan tangannya menerima buku itu. Buku itu masih sama persis seperti yang ada dalam ingatannya. Sampulnya berwarna cokelat gelap dengan huruf yang tidak dia kenal.
“Kamu siapa ? dari mana dapet buku ini ?” tannya Alvin pada anak itu.
Anak itu Cuma tersenyum, “itu punya kak Via, Ray kasih supaya kakak percaya sama kak Via, dia sedih banget gara-gara kakak ga percaya sama dia.” Jawab anak itu.
Alvin membulatkan matanya, dengan agak menahan nafas, dia membuka halaman-halaman buku itu. Buku itu ajaib. Bahasa dan hurufnya memang tidak Alvin kenal, tapi ilustrasi gambar yang ada di sudut-sudut halaman itu mampu membuatnya mengerti. Seperti halaman pertama, ada gambar seorang anak laki-laki sipit yang sedang berjalan di lapangan, Alvin langsung mengenali gambar itu sebagai dirinya karena selain memang mirip, di bawah gambar itu terdapat satu-satunya kata yang ia bisa baca, namanya ‘ALVIN’. Halaman-halaman lainnya menceritakan tentang hari-hari yang ia lalui bersama Sivia, buku itu menjelaskan bagaimana usaha Rio mengerjainya selalu gagal, sekali lagi, ia memang tidak mengerti bahasa dan tulisan buku itu, tapi ilustrasi gambar itu menjelaskan dengan sangat lengkap, karena gambar itu tidak hanya diam, gambar itu bergerak.
Alvin mendongakkan kepalanya dari buku itu, siap mengatakan bahwa ia percaya, dia menatap anak laki-laki itu, “mau anter kakak ke kak Via ?” tanyanya.
Anak laki-laki itu mengangguk senang, seolah memang itulah tujuannya datang dan menemui Alvin, anak itu segera berlari dan tahu-tahu sudah tiba di seberang jalan raya, melambaikan tangannya agar Alvin mengikutinya. Tanpa pikir panjang, Alvin segera melangkahkan kakinya menyeberangi jalan raya, tanpa menoleh ke kanan kirinya.
“ALVIN!!!” ada yang meneriakkan namanya, tidak hanya satu orang, namun dua orang. Belum sempat Alvin berbalik untuk mengetahui siapa yang memanggilnya, sebuah tubuh sudah menubruknya dan mendorongnya ke pinggir jalan. Sebelum tahu lebih banyak apa yang terjadi, semua sudah gelap. 

*** 

“Sekarang denger tante, Sivia, Ray, kalian ga akan tante laporin, tapi…” suara itu terdengar samar dan rasanya sangat jauh dari telinga Alvin.
“Tante, Alvin udah sadar.” Ada suara lain, kali ini lebih jelas seiring dengan mulai membukanya mata Alvin.
Yang pertama Alvin lihat adalah wajah Sivia yang setengah tersenyum setengah khawatir, dia bersorak kecil saat Alvin tersenyum menyapanya.
“Ini di mana ?” Tanya Alvin pelan.
“Di rumah sakit, tadi waktu Rio dorong kamu, kalian nabrak trotoar, untung gapapa, Cuma luka kecil.” Suara yang menjawab adalah milik seorang wanita paruh baya yang baru Alvin sadari adalah Bu Ira.
“Rio ?” Tanya Alvin heran.
“Iya, tadi kamu hampir ketabrak mobil waktu nyebrang ngejar Ray, terus Rio dorong kamu ke pinggir jalan.” Jawab Bu Ira lagi menjelaskan.
Alvin membelalakkan matanya jelas sangat heran. Rio menolongnya ? musuh besarnya menolongnya ?
Tampaknya kejutan untuk Alvin tidak hanya sampai situ, seorang anak laik-laki sudah muncul menyeruak antara Sivia dan Bu Ira untuk bicara dengannya, “maafin Ray ya kak. Gara-gara ngejar Ray, kakak jadi begini.” Ucap anak itu.
Alvin menatap anak itu, jadi namanya Ray, “gapapa. Tapi kamu siapa ?” ucapnya.
“Dia adik aku, aku pernah bilang kan sama kamu kalau aku sama adik aku lagi liburan di rumah tante Ira.” Kali ini Sivia yang menjawab.
“Gue… ga… ngerti…” ucap Alvin terbata-bata, terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia ungkapkan.
Bu Ira terlihat menghela nafas, lalu dia mulai bercerita, “Sivia dan Ray adalah penyihir.” Ucapnya.
“Itu saya udah tahu, saya percaya.” Potong Alvin seraya memandang Sivia dengan tatapan minta maaf yang dibalas Sivia dengan senyuman senang.
“Sivia dan Ray sekolah di sekolah penyihir, orang tua mereka sedang bertugas di pedalaman sekarang, mereka dititipkan pada ibu untuk beberapa bulan, kebetulan sekali sekarang mereka sedang liburan dari sekolah mereka.” Bu Ira melanjutkan bercerita.
“Sivia selalu ikut ibu ke sekolah, di sekolah dia selalu merhatiin kamu, dia bilang dia mau bantuin kamu, sampai akhirnya dia maksa ibu buat masukkin dia ke sekolah supaya bisa bertemen sama kamu. Kamu inget kan waktu pertama kali ketemu Sivia di perpustakaan ?” ucap Bu Ira diakhiri dengan pertanyaan.
Alvin mengangguk, “buku itu…”
Bu Ira menaikkan tangan kanannya meminta agar ia tidak disela, “Ibu menuruti kemauan Sivia, dia berteman dengan kamu dan ngebantu kamu dari Rio menggunakan ilmu sihirnya. Rupanya Sivia memilih untuk memberitahu kamu tentang siapa dia sebenernya, tapi kamu ga percaya. Sivia kesel terus pulang ke rumah, dia cerita sama Ray, adiknya. Ray berpendapat untuk menunjukkan buku diary Sivia ke kamu dan membawa kamu ke Sivia, tapi malah terjadi seperti ini. Kamu hampir ketabrak, Rio menolong kamu dan kepala kalian membentur trotoar.”
“Tapi tadi ga Cuma suara Rio yang manggil saya, ada suara lain.” Alvin memberitahu.
“Itu suara aku, aku ngikutin Ray, dan waktu kamu ketabrak, aku pake sihir aku buat berentiin mobil itu.” Kali ini Sivia yang menjelaskan.
Bu Ira kembali menghela nafas, “masalahnya Alvin, Sivia dan Ray ga boleh ngasih tau kalau mereka penyihir selain kepada keluarganya, dan kamu udah tau.” Katanya.
“Terus gimana ?” Tanya Alvin, entah kenapa perasaannya tidak enak.
“Penyihir dibawah 17 tahun yang sudah ketahuan harus menghapus ingatannya dari orang yang sudah tahu tentang dirinya, jadi Sivia dan Ray harus menghapus ingatan kamu tentang mereka.” Jawab Bu Ira.
“Tapi saya ga mau lupa sama Sivia.” Kata Alvin, “juga Ray.” Tambahnya.
Sivia menundukkan kepala sehinga Alvin tidak dapat melihat wajahnya, tapi guncangan kecil pada bahu anak itu cukup membuat Alvin sadar bahwa dia menangis.
“Itu harus dilakukan, atau kalau tidak, Sivia dan Ray akan dihukum dan dihapus ingatannya selama ini, mereka ga akan kenal orang tua mereka lagi dan hidup sebagai orang biasa.” Bu Ira menerangkan, “tentunya kamu ga mau Sivia dan Ray lupa sama orang tua mereka kan ?” tambahnya.
Alvin seperti dicabik-cabik sekarang, “jadi… kapan ingatan saya dihapus ?” ucapnya pelan.
“Sekarang.” Jawab Bu Ira langsung.
“Alvin, buku ini buat kamu.” Tiba-tiba Sivia sudah tidak menunduk lagi, dia menyodorkan buku yang tadi sempat Alvin terima dari Ray.
“Buat gue ?” Tanya Alvin kaget.
Sivia mengangguk, “walaupun nanti kamu udah dihapus, kamu bakal… liat nanti aja, kamu bakal ngerti.” Kata Sivia.
Alvin menerima buku itu dari Sivia, “kamu temen terbaik yang pernah aku punya, Siv. Walaupun bisa dibilang kamu satu-satunya temen yang aku punya.” Kata Alvin.
“Kamu juga.” Balas Sivia, dia tersenyum.
“Kak Alvin, sekali lagi maafin Ray ya. Kalau udah waktunya kita ketemu lagi ya.” Ray juga mengucapkan sebuah salam perpisahan untuk Alvin.
“Iya, Ray, nanti kita ketemu lagi ya.” Balas Alvin.
“Sudah siap ?” Tanya Bu Ira.
Tiba-tiba Alvin ingat sesuatu yang harus dia tanyakan, “di mana Rio ?”
“Dia ada di ranjang sebelah, belum sadar. Begitu ingatan kamu dihapus, ingatan Rio dan semua orang yang mengenal Sivia juga akan hilang.” Jawab Bu Ira menjelaskan.
“Tapi…” Alvin mulai gelisah di tempat tidurnya.
Bu Ira tersenyum menenangkan, “Dampak kehadiran Sivia ga akan hilang, tenang aja, Rio ga akan kembali jadi jahat sama kamu, dia tetap akan ingat sudah baik sama kamu. Dia tetep akan inget kalau dia menyelamatkan kamu.”
Alvin tersenyum, “kalau begitu, saya sudah siap.” Ujarnya mantap.
Bu Ira menatap Sivia dan Ray bergantian, yang ditatap mulai mengucapkan sesuatu dari mulutnya. Alvin mulai merasa ada yang aneh dengan kepalanya, sebelmu bayangan Sivia dan Ray hilang, dia berbisik, “terima kasih.” Yang ia yakin pasti bisa Sivia dengar. 

*** 

Alvin membuka matanya perlahan. Sesuatu di bawah punggungnya mengganjal tidurnya, dia meraih benda itu dan mendapati sebuah buku.
“Alvin, lo udah sadar ?” sebuah suara dari ranjang sebelah mengagetkan Alvin. Alvin menengok ke sebelah kirinya dan mendapati sebuah tirai pembatas antara ranjangnya dengan ranjang orang itu.
Alvin diam sebentar sebelum menjawab, “Rio ?” ucpanya.
“Iya. Lo gapapa ?” jawab dan Tanya Rio.
“Gapapa.” Jawab Alvin. “Lo ?” tanyanya.
“Gapapa.” Jawab Rio.
Alvin diam cukup lama sebelum ingat apa yang terjadi, dia diselamatkan oleh Rio saat menyeberang jalan, “Yo, makasih ya.” Ucapnya.
“Gapapa. Gue juga mau minta maaf selama ini udah jailin lo. Lo mau kan maafin gue ?” Balas Rio.
“Setelah yang lo lakuin sama gue tadi ? pastinya gue maafin lo.” Jawab Alvin.
“Makasih, Vin.” Jawab Rio.
Mereka menyudahi percakapan tanpa saling pandang itu. Pikiran Alvin sekarang tertuju pada bagaimana ia bisa sampai di sini dan bagaimana Rio bisa menjadi baik padanya, tapi tiap kali ia berusaha mengingatnya kepalanya mulai terasa sakit, jadi dia tidak mencoba lagi. Dia kini memusatkan pikirannya pada buku yang ada dalam genggamannya.
“Buku aneh.” Ucapnya saat menutup sampul belangkang buku itu, setelah berusaha membaca semua halaman. Buku itu berisi bahasa dan tulisan yang tidak ia kenal, dan ilustrasi gambar di tiap halamannya.
Sejenak Alvin ingin membuang buku itu di tempat sampah di samping tempat tidurnya, tapi entah mengapa ia tidak sanggup, ia justru kembali membuka buku itu, menikmati perasaan menyenangkan yang ia sendiri tidak tahu apa namanya. 

*** 

8 tahun kemudian…
“Gue XII IA 3, Yo. Lo kelas mana ?” ucap seorang laki-laki yang memegang sebuah buku saat melihat namanya di sebuah kertas pembagian kelas.
“Bentar.” Yang dipanggil Yo masih sibuk meneliti daftar dihadapannya, tak berapa lama dia berseru senang, “sama, Vin.” Ucapnya.
“Ya ampun dari kelas 4 SD sampe sekarang kenapa lo selalu sekelas sama gue sih ?” ucap si laki-laki pertama, Alvin, pura-pura kesal.
“Oke Vin kalau gitu.” Balas laki-laki kedua, Rio dengan nada ngambek.
“Hehe senyum dong. Masa jagoan karate dibecandain dikit ngambek.” Goda Alvin.
“Bacot.” Balas Rio tersenyum kecil.
Dua sahabat itu melangkah bersama menuju kelas baru mereka dengan semua mata perempuan menatap mereka. Siapa yang tidak kenal mereka. Rio si jago karate yang sudah memenangkan banyak lomba. Di sebelahnya Alvin, top scorer tim futsal SMA mereka yang sudah membawa banyak piala untuk sekolah. Di tambah paras tampan yang mereka miliki, siapa yang tidak akan melihat mereka.
“Rioooooo!!!!!!” teriakan yang sudah sangat mereka hafal tiba-tiba terdengar.
“Aduh mak lampir.” Keluh Rio kecil.
“Apa lo bilang ?” orang yang tadi berteriak sudah muncul di depan mereka, menatap Rio dengan penuh amarah, sambil bertolak pinggang.
“Aduh Ify… baru juga masuk kenapa teriak-teriak sih ?” ucap Rio.
“Kenapa lo bilang ? kenapa ? harusnya gue yang tanya kenapa lo ga dateng di acara perpi ? lo PJ kan yo ? gara-gara ulah lo gue yang harus ngatur semuanya.” Omelan Ify sudah mulai keluar.
Rio terlihat menelan ludah.
“Mmm, Yo, gue mau ke kelas dulu, nyari bangku buat kita, ntar yang enak udah keburu diambil. Tenang aja. Kita sebangku kan. Tempat lo gue tek. Dah.” Ucap Alvin cepat sebelum berlari meninggalkan bahaya yang sebentar lagi akan terjadi.
Rio memberikan pandangan mengancam pada Alvin, seolah ingin menyusulnya, namun ditahan Ify.
Alvin tertawa kecil sambil berlari, masih sesekali menengok ke belakang.
BRUK!!! Saking seringnya menengok ke belakang, Alvin tidak menyadari jalan di depannya dan dia menabrak seorang perempuan. Dia dan perempuan itu terjatuh.
“Aw. Sorry.” Ucapnya.
Perempuan itu menghiraukan permintaan maaf Alvin, pandangannya jatuh pada buku yang terlepas dari tangan Alvin saat mereka terjatuh. Dia mengambil buku itu dan menunduk memandangnya untuk beberapa saat. Tak lama ia mendongak dan bertanya, “ini punya kamu ?”
“ehm… iya.” Jawab Alvin. Menyodorkan tangan untuk mengambil buku itu.
Bukannya mengembalikan bukunya, perempuan itu justru membuka buku itu, mengucapkan sesuatu dengan bisikan, setelah itu mengembalikannya pada Alvin.
Alvin menerima buku itu dan membukanya. Serentak dia membelalakkan matanya saat melihat ilustrasi gambar di buku itu bergerak. Dia menatap perempuan yang ditabraknya dengan pandangan ingin tahu.
Perempuan itu tersenyum, “Kenalkan lagi, aku Sivia, penyihir yang baru aja berulang tahun yang ke-17.”
Tanpa komando ingatan-ingatan bermunculan di kepala Alvin, tiba-tiba saja dia ingat apa yang dia lupakan, “hai lagi Sivia.” Balasnya. 

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar